Pembaruan dunia islam
A. Hakikat
Makna Pembaruan Islam
Dalam kosakata “Islam”,
term pembaruan digunakan kata tajdid, kemudian muncul berbagai istilah yang
dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu modernisme,
reformisme, puritanis-me, revivalisme, dan fundamentalisme.
Di samping kata tajdid,
ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan,
yaitu kata islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai “pembaharuan”, dan
islah sebagai “perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan
suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan
Islam beserta praktek-prakteknya dalam komunitas kaum muslimin.
Berkaitan hal tersebut,
maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau
fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan
untuk mengubah, memodifikasi, ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip
Islam supaya sesuai dengan selera jaman, melainkan lebih berkaitan dengan
penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan
kebutuhan perkembangan, serta semangat jaman. Terkait dengan ini, maka dapat
dipahami bahwa pembaruan merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam
perkembangan sosial.
Senada dengan hal di
atas, Din Syamsuddin mengatakan bahwa pembaruan Islam merupakan rasionalisasi
pemahaman Islam dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan.
Sebagai salah satu pendekatan pembaruan Islam, rasionalisasi mengandung arti
sebagai upaya menemukan substansi dan penanggalan lambang-lambang, sedangkan
kontekstualisasi mengandung arti sebagai upaya pengaitan substansi tersebut
dengan pelataran sosial-budaya tertentu dan penggunaan lambang-lambang tersebut
untuk membungkus kembali substansi tersebut. Dengan ungkapan lain bahwa
rasionalisasi dan kontekstualisasi dapat disebut sebagai proses substansi
(pemaknaan secara hakiki etika dan moralitas) Islam ke dalam proses kebudayaan
dengan melakukan desimbolisasi (penanggalan lambang-lambang) budaya asal (baca:
Arab), dan pengalokasian nilai-nilai tersebut ke dalam budaya baru (lokal).
Sebagai proses substansiasi, pembaruan Islam melibatkan pendekatan
substantivistik, bukan formalistik terhadap Islam.
B. Landasan
Bagi Pembaharuan Islam
Sebagaimana diuraikan
di awal tulisan ini bahwa pembaruan Islam merupakan suatu keharusan bagi upaya
aktualisasi dan kontekstualisasi Islam. Berkaitan dengan hal ini, maka
persoalan yang perlu dijawab adalah hal-hal apa saja yang dapat dijadikan
pijakan (landasan) atau pemberi legitimasi bagi gerakan pembaruan Islam
(tajdid). Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi upaya
pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan
historis.
1. Landasan
Teologis
Menurut Achmad Jainuri
dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan pengalaman sejarah kaum
muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis yang mendorong munculnya
berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam). Selanjutnya masih menurut Achmad
Jainuri bahwa landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan,
yaitu :
Pertama, keyakinan
bahwa Islam adalah agama universal (univer-salisme Islam). Sebagai agama
universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin, memberikan rahmat bagi
seluruh alam. Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup
semua aspek kehidupan, mengatur seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik
berhubungan dengan habl min Allah (hubungan dengan sang khalik), habl min
al-nas (hubungan dengan sesama umat manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan
dengan alam lingkungan). Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah
hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di
akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan duniawi
dan ukhrawi secara bersama-sama.
Konsep universalisme
Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap waktu, tempat,
dan semua jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun non Arab dalam tingkat
yang sama, dengan tidak membatasi diri pada suatu bahasa, tempat, masa, atau
kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai universalisme itu tidak
bisa dibatasi oleh formalisme dalam bentuk apapun.
Universalisme Islam
juga memiliki makna bahwa Islam telah memberikan dasar-dasar yang sesuai dengan
perkembangan umat manusia. Namun demikian, tidak semua ajaran yang sifatnya
universal itu diformulasikan secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh
karenanya, diperlukan upaya untuk menginterpretasikannya agar sesuai dengan
segala tuntutan perkembangan sehingga konsep universalitas Islam yang mencakup
semua bidang kehidupan dan semua jaman dapat diwujudkan, atau diperlukan upaya
rasionalisasi ajaran Islam.
Senada dengan hal di
atas, Din Syamsudin mengatakan bahwa watak universalisme Islam meniscayakan
adanya pemahaman selalu baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan manusia
yang selalu berubah. Islam yang universal shalih li kulli zaman wa
makan menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam dalam konteks dinamika
kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari upaya menemukan titik temu
antara hakikat Islam dan semangat jaman. Hakikat Islam yang rahmah li
al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan semangat jaman, yaitu
kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya juga
dikatakan bahwa pencapaian cita-cita kerahma-tan dan kesemestaan sangat
tergantung kepada penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong
kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Din Samsudin mengatakan bahwa
keuniversalan mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal justru
karena mampu menampilkan ide dan lembaga modern serta menawarkan etika
modernisasi.
Kedua, keyakinan bahwa
Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah Swt, atau finalitas fungsi
kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul Allah. Dalam keyakinan umat Islam,
terpatri suatu doktrin bahwa Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan
Tuhan bagi umat manusia; yang berarti pasca Islam sudah tidak ada lagi agama
yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang
dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi
segalanya dan mencakup sekalian agama yang diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an
adalah kitab yang lengkap, sempurna, dan mencakup segala-galanya; tidak ada
satupun persoalan yang terlupakan dalam al-Qur’an. Keyakinan yang sama juga
terhadap keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi akhir jaman (khatam
al-anbiya’), yang tidak akan lahir (diutus) lagi seorang pun Nabi setelah Nabi
Muhammad Saw, dan risalah yang dibawa Muhammad diyakini sebagai risalah yang
lengkap dan sempurna.
Menurut Achmad Jainuri
bahwa keyakinan akan Muhammad sebagai Nabi penutup hendaknya dipahami bahwa
berhentinya fungsi kenabian bukan berarti terputusnya petunjuk Tuhan kepada
umat manusia. Kondisi ini mengacu pada ide bahwa setelah fungsi ke-Nabi-an
Muhammad selesai, secara fungsional, peran ulama dipandang sangat penting untuk
memelihara dinamika ajaran Islam. Hal ini dipandang tidaklah berlebihan karena
ulama adalah pewaris para nabi (al’ulama’ waratsah al-anbiya’). Dari kalangan
ulama itulah muncul para mujaddid yang secara fungsional memelihara dinamika
ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw sebagai pengemban risalah terakhir
dari Tuhan. Dengan perkataan lain bahwa kontinuitas petunjuk agama Wahyu dari Nabi
Adam hingga Muhammad melalui para Nabi, sedangkan dari Muhammad ke penerusnya
melalui para mujaddid yang secara institusional dimanifestasikan dalam berbagai
ragam pemikiran serta gerakan tajdid.
2. Landasan
Normatif
Landasan normatif yang
dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari teks-teks nash,
baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan
pijakan bagi pelak-sanaan tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung
muatan bagi keharusan melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dluha: 4.
“Sesungguhnya yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat
lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa
yang ada pada suatu kaum sehingga mengubah apa yang ada dalam diri mereka
sendiri….”
Dari ayat di atas,
nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari situasi rendah menjadi mulia
dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif dan berikhtiar mengubah
sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya. Dengan demikian, maka
kekuatan-kekuatan pembaru dalam masyarakat harus selalu ada karena dengan
itulah masyarakat dapat melakukan mekanisme penyesuaian dengan derap langkah
dinamika sejarah.
Sementara itu, dalam
hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis yang menyatakan bahwa “Allah
akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan
memperbarui (pema-haman) agamanya”. Menurut Achmad Jainuri, dikalangan para
pakar terdapat perbedaan interpretasi mengenai kata ‘ala ra’si kulli mi’ati
sanah (setiap awal abad) ini berkaitan dengan saat munculnya sang
mujaddid. Sebagian lain mengkaitkan dengan tanggal kematian. Hal ini sesuai
dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam yang biasanya hanya menunjuk
tanggal kematian seseorang. Jika arti kata tersebut dikaitkan dengan tanggal
kelahiran, maka sulit dipahami karena sebagian mereka yang disebutkan
dalam daftar literatur sejarah Islam telah meninggal dunia pada awal abad,
yang berarti bahwa mereka belum melakukan pembaruan. Atas dasar ini, maka sebagian
lagi memahami dalam pengertian yang lebih longgar dan menyatakan bahwa yang
penting mujaddid yang bersangkutan hidup dalam abad yang dimaksud. Terlepas
dari adanya perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai awal abad), yang
jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif dalam teks hadis
Nabi.
3. Landasan
Historis
Di awal
perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan pengikutnya masih terbatas
pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan Madinah, Islam diterima dan
dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya berkata: “sami’na wa atha’na”.
Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun geografis menyebar
luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran
Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu
fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat
abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan
segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia yang
cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad XII-XIII M, di masa inilah, ilmu
pengetahuan ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang agama
maupun dalam bidang non agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim
dihasilkan. Mereka telah bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga
terbina apa yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan Islam.
Setelah melalui kurun
waktu lebih kurang lima abad sampai ke puncak kejayaannya, sejarah kemajuan
Islam mengalami kemandekan; Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami
kemunduran. Masa demi masa kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad
dinyatakan tertutup digantikan dengan taklid yang merajalela sampai
menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang terdalam pada abad ke XVIII. Meskipun demikian,
upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana dalam suasana seperti digambarkan
di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke abad XIV M) Ibn Taimiyah telah
tampil membendung-nya (melakukan pembaruan).
Pembaruan yang
dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga sasaran utama yaitu,
sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme, teologi asy’ariyah yang
cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang
sebagai menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu
dibarengi seruan kepada umat Islam agar kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah
serta memahaminya. Dalam perkembangan sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca
Ibnu Taimiyah terus mengalami dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami
beberapa variasi corak dan penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks
waktu, tempat, dan problem yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu sendiri
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-modern dan
gerakan pembaharuan pada masa modern.
Gerakan pembaharuan
pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil bentuknya terutama pada abad XVII
dan XVIII M. Sementara itu, gerakan modern terutama dimulai pada saat jatuhnya
Mesir di tangan Napoleon Bonaparte (1798-1801 M), yang kemudian menginsafkan
umat Islam tentang rendahnya kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta
memunculkan kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan.
Walaupun gerakan
pembaruan Islam secara garis besarnya terbagi dalam dua batasan dekade yaitu
pra-modern (abad XVII dan XVIII M) dan modern (mulai abad XIX M), tetapi
sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa gerakan pembaruan yang
dilancarkan pada abad tersebut pada dasarnya menunjukkan karakteristik yang
sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah yang dipandang sebagai bapak tajdid,
yaitu gerakan-gerakan pembaruan tersebut mengedepankan rekontruksi sosio-moral
masyarakat Islam sekaligus melakukan koreksi sufisme yang terlalu menekankan
individu dan mengabaikan masyarakat.
Adanya karakteristik
yang sama pada gerakan-gerakan pembaruan Islam, baik pra-modern maupun modern
tersebut, dapat dilihat misalnya pada abad XVII M. Syaikh Ahmad Sirhindi telah
meletakan dasar teori reformasi yang sama dengan Ibnu Taimiyah, juga menekankan
pelaksanaan ajaran syariah dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian gerakan
wahabiah pada abad XVIII M yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab dipandang
lebih radikal dan tidak mengenal kompromi terhadap semua pengaruh yang “non
Islam” terhadap amal ibadah. Gerakan-gerakan serupa juga muncul di kawasan
dunia Islam lainnya. Shah Waliyullah di India abad XVIII M, juga melakukan hal
yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad dalam sikapnya terhadap
ajaran sufi yang menyimpang. Namun, yang membedakannya dengan pendahulunya,
gerakan Shah Waliyullah juga memasuki dunia kehidupan sosial politik, di mana
ia menentang ketidakadilan sosial ekonomi yang menimpa rakyat, mengkritik beban
pajak yang ditanggung oleh kaum petani, serta menyerukan kaum muslimin untuk
menegakkan sebuah negara teritorial di India yang menyatu ke dalam bentuk
sebuah kekaisaran yang bersifat internasional.
Gerakan pembaruan
pra-modern dengan dasar “kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijtihad”
sebagaimana di atas, juga me-warnai gerakan pembaruan pada era modern (abad XIX
dan XX M). Sebagai misal, gerakan pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh
Muhammad Abduh, yang dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian
Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan
khufarat); kedua, pembaruan sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan
kembali doktrin Islam sejalan dengan semangat pemikiran modern; keempat,
pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh dan serangan-serangan Eropa.
Apa yang dilakukan oleh
Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik yang sama dengan era sebelumnya,
yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa yang dilakukan Abduh hanya sebagai
salah satu contoh, tentunya dapat ditemukan juga dalam gerakan dan pemikiran
yang dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan dengan
kesinambungan karakteristik gerakan pem-baruan Islam baik pra-modern dan
modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang atau tema yang
digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada penerapan ketat
al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad; ketiga, penegasan
kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an yang berbeda dengan cara-cara
sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.
Uraian di atas
menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan teologis dan normatif,
secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua landasan tersebut (teologis
dan normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid (pembaruan Islam) memiliki akar
historis yang kuat sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam
kini dan yang akan datang.
C. Perkembangan
Ajaran Islam Pada Masa Pembaharuan
Salah satu pelopor
pembaharuan dalam dunia islam barat adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah
sangat berpengaruh di Abad KE-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahabiyah
(1703-1787) yang berasal dari Nejed, Saudi Arabia. Pemikiranya adalah upaya
memperbaiki keadan umat Islam dan merupakan reaksi dari paham tauhid yang
terdapat dikalangan Umat Islam saat itu. Dimana paham-paham tauhid mereka telah
tercampur dengan ajaran-ajaran lain sejak abad ke-13.
Adapun aliran yang
menyeleweng, pada saat itu orang-orang yang sering meminta pertolongan atau
bantuan kepada makam-makam Syeh yang telah meninggal. Adapula yang meminta
pertolongan untuk menyelesaikan masalah sehari hari, meminta anak, jodoh bahkan
ada yang meminta kekayaan. Paham ini menurut paham wahabiyah termasuk syirik
karena permohonan dan doa tidak lagi di panjatkan kepada Allah.
Masalah Tauhid
merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatianya pada persoalan
ini.
Adapun pokok-pokok
pemikiranya adalah:
1. Yang
harus disembah hanyalah Allah dan orang-orang yang menyembah selain Allah
dinyatakan Musyrik.
2. Kebanyakan
orang islam bukan lagi penganut paham Tauhid yang sebenarnya karena mereka
meminta pertolongan kepada selain Allah, melainkan kepada Syeh, Wali atau
kekuatan gaib. Orang Islam yang berprilaku demikian juga dikatakan musyrik.
3. Menyebut
nama Nabi, Syeh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan
syirik.
4. Meminta
syafaat selain kepada Allah juga syirik.
5. Bernazar
kepada selain Allah juga syirik.
6. Memperoleh
pengetahuan selain dari Al-qur’an, Hadis dan Qiyas merupakan kekufuran.
7. Tidak
mempercayai kepada Qada’ dan Qadar juga mmerupakan kekufuran.
8. Menafsirkan
Al-qur’an dengan Ta’wil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk mnegembalikan
kemurnian Tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi dengan tujuan
mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain yang membawa kepada paham syirik,
mereka berusaha menghapuskan paham ini. Pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang
mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke-19
adalah:
· Hanya
Al qur’an dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajran Islam. Dan pendapat
ulama’ bukanlah sumber, menurut paham wahabiyah.
· Taklid
kepada ulama’ tidak dibeanarkan.
· Pintu
ijtihad senantiasa terbuka tidak tertutup.
Muhammd Abdul Wahab
merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikiranya. Ia mendapat
dukungan dari Muhammad Ibnu Su’ud dan putranya Abdul Aziz. Paham-pahamnya
tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga ditahun 1773 M mereka
mendapat mayoritas di Riyadh. Pada tahun 1787 Muhammad Abdul Wahab meninggal,
namun ajaran-ajaranya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal
dengan nama Wahabiyah.
D. Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Islam dan Pemikiranya
1. Jamaludin
Al afgani (Iran, 1838-turki, 1897)
Salah satu sumbangan
terpenting di dunia Islam diberikan oleh Sayyid Jamaludin Al Afgani. Gagasanya
mengilhami kaum muslim di Turki, Iran, Mesir dan India. Meskipun sangat anti
imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tidak
melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasan
untuk mendirikan sebuah Universitas yang husus mengajarkan ilmu pengetahuan
yang modern di Turki mengahdapai tantangan yang kuat dari para ulama’. Pada
ahkirnya ia diusir dari Negara tersebut.
2. Muhamada
Abduh (Mesir 1849-1905) dan Muhamad Rasyid Rida (Suriah 1865-1935)
Guru dan murid tresebut
mengunjungi beberapa negara Eropa dan amat terkesan dengan pengalaman mereka
disana. Rasyid Rida mendapat pendidikan Islam tradisisonal dan menguasai bahasa
asing ( prancis dan turki) yang menjadi jalan masuknya untuk mempelajari ilmu
pengetahuan secara umum. Oleh karena itu, tidak sulit bagi Rida untuk bergabung
dengan gerakan pembaruan Al Afgani dan Muhamad Abduh dan diantaranya melalui
penerbitan jurnal Al Urwah Al Wustha yang diterbitkan diparis dan disebarkan
dimesir. Muhamd Abduh sebagaimana Muhamad Abdul Wahab dan Jamaluddin Al Afgani,
berpendapat bahwa masuknya bermacam bid’ah kedalam ajran Islam membuat umat
Islam lupa akan ajran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah itulah yang
menjauhkan masarakat Islam dari jalan yang sebenarnya.
3. Toha
Husain (Mesir selatan 1889-1973)
Beliau adalah seorang
sejarawan dan filusuf yang sangat mendukung gagasan Muhamad Ali Pasya. Ia
merupakan pendukungg modernism yang gigih. Pengadopsian terhadap ilmu
pengetahuan modern tidak hanya penting dari sudut nilai praktis (kegunaan) nya
saja, tetapi juga sebagai perwujudan suatu kebudayaan yang amat tinggi.
Pendanganya dianggap sekularis karena mengunggulkan ilmu pengetahuan.
4. Sayyid
Qutub (Mesir 1906-1966) dan Yusuf Al qardawi
Al Qardawi menekankan
perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi yag dimaksud bukan
berarti upaya pembaratan dan memiliki batasan pada pemanfaatan ilmu pengetahuan
modern serta penerapan teknologiny, Islam tidak menolaknya bahkan mendukungnya.
Pandangan al Qardawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas kaum muslmin.
Secara umum dunia Islam relative terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan dan
teknologi sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan ini kelak
terbukti dan tetap bertahan hingga kini dikalangan muslim. Akan tetapi,
dikalangan pemikir yang ,mempelajari sejarah dan filsafat ilmu
pengetahuan, gagasan seperti ini tidak cukup memuaskan mereka.
5. Sirsayid
Ahmad Khan (India 18817-1898)
Sirsayid Ahmad Khan
adalah pemikir yang menyerukan saintifikasi masyarakat muslim. Seperti Al
afgani, ia menyerukan kaum muslim untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Akan
tetapi, berbeda dengna al Afgani ia melihat adanya kekuatan yang membebaskan dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kekuatan pembebas itu antara lain,
penjelasan mengenai suatu peeristiwa dengan sebab-sebab yang bersifat fisik
materiil. Di barat nilai-nilai ini telah membebaskan orang dari tahayul dan
cengkraman kekuasaan gereja. Kini dengan semangat yang sama Ahmad Khan merasa
wajib membeabaskan kaum muslim dengan melenyapkan unsur yang tidak ilmiah dari
pemahaman terhadap Al qur’an. Ia amat serius dengan upaya ini, antara lain:
menciptakan sendiri metode baru penafsiran Al qur’an. Hasilnya adalah teologi
yang memilki karakter atau sifat ilmiah dalam tafsir Al qur’an.
6. Sir
Muhamad Iqbal (Punjab 1873-1938)
Generasi awal ke-20
adalah Sir Muhamdad Iqbal marupakan seorang muslim pertama di anak benua India
yang sempat mendalami pemikiran barat modern dan memilki latar belakang yang
bercorak tradisisonal islam. Kedua hal ini muncul dari karya utama di tahun
1930 yang berjudul the reconstruction of religious thought in
islam (pembangunan kembali pemikiran keagamaan dalam Islam)
E. Tujuan
Pembaharuan dalam Islam
Berbicara mengenai
tujuan pembaruan Islam, maka tidak dapat dilepaskan dari misi yang diemban oleh
gerakan tersebut. Menurut Achmad Jainuri bahwa pembaruan Islam memiliki dua
misi ganda, yaitu misi purifikasi, dan misi implementasi ajaran Islam di tengah
tantangan jaman.
Bertitik-tolak dari
kedua misi di atas, maka tujuan pokok dari pembaruan Islam adalah: Pertama,
purifikasi ajaran Islam, yaitu mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan
pada jaman awal Islam sebagaimana dipraktekkan pada masa Nabi. Jaman Nabi
sebagaimana digambarkan oleh Sayyid Qutb sebagai periode yang hebat, suatu
puncak yang luar-biasa dan cemerlang dan merupakan masa yang dapat terulang.
Terjadinya banyak penyimpangan dari ajaran pokok Islam pasca Nabi bukan karena
kurang sempurnanya Islam, tetapi karena kurang mampunya untuk menangkap Islam
sesuai semangat jaman; serta dalam konteks ini, banyaknya unsur-unsur luar yang
masuk dan bertentangan dengan Islam sehingga diperlukan adanya upaya untuk
mengembalikan atau memurnikan kembali sesuai dengan orisinalitas Islam. Upaya
ini dapat dilakukan dengan membentengi keyakinan akidah Islam, serta berbagai
bentuk ritual dari pengaruh sesat.
Kedua, menjawab
tantangan jaman. Islam diyakini sebagai agama universal, yaitu agama yang di
dalamnya terkandung berbagai konsep tuntutan dan pedoman bagi segala aspek
kehidupan umat manusia, sekaligus bahwa Islam senantiasa sesuai dengan semangat
jaman. Dengan berlandaskan pada universalitas ajaran Islam itu, maka gerakan
pembaruan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasi-kan ajaran Islam
sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan umat manusia.
F. Ijtihad
Sebagai Kunci Pembaharuan Islam
Untuk mewujudkan kedua
tujuan di atas, maka ijtihad dapat dipandang sebagai metode pokok untuk
berjalannya gerakan pembaruan Islam (tajdid). Statemen ini tentunya tidak
terlalu berlebihan karena pada dasarnya pembaruan Islam akan bermuara kepada
aktualisasi, rasionalisasi, dan kontekstualisasi ajaran Islam di tengah kehidupan
sosial, dan semua itu memerlukan upaya ijtihady.
Aktualisasi di sini
berkaitan dengan bagaimana agar pelaksanaan kehidupan umat tidak menyimpang
dari ajaran Islam sekaligus bagaimana agar makna universalitas Islam dapat
terwujud dan teraktualisasikan dalam semangat jaman sehingga dalam kehidupan
sosial, Islam tidak dijadikan sebagai alasan terjadinya kemunduran dan
kelemahan, bahkan kehancuran. Padahal, hal itu sebenarnya disebab-kan
ketidakmampuannya menerjemahkan Islam dalam tatanan kehidupan yang terus
berkembang.
Dalam konteks
sejarahnya bahwa ijtihad telah memberikan sumbangan besar dalam perkembangan
pemikiran umat Islam, khususnya dalam upaya menghadapi persoalan kehidupan
sosial. Tentu ijtihad dalam konteks ini bukan dibatasi dalam hal hukum
(syari’ah) semata yang selama ini banyak dipahami, melainkan yang terpenting
bagaimana ijtihad dimaknai sebagai upaya untuk menilai “ulang” terhadap
berbagai warisan keagamaan yang ada, serta adanya kebebasan untuk menafsirkan
kembali sesuai dengan pemikiran modern.36 Semangat untuk terus menghidupkan
ijtihad merupakan salah satu tema pokok yang selalu digelorakan oleh para
pembaru (mujaddidun).
bagi yang mau File nya silahkan download KLIK DOwnload
bagi yang mau File nya silahkan download KLIK DOwnload
Tag :
SKI
0 Komentar untuk "Artikel Pembaruan Dunia Islam"