KAYA HATI
Sahabat, Umat Islam selalu dilanda kebingungan ketika mensikapi soal pilihan antara Kaya Hati & Kaya Harta. Seakan-akan itu adalah dua hal yang saling bertentangan dan tidak dapat dimiliki kedua-duanya secara bersamaan. Orang yang miskin, selalu berujar biar miskin asal kaya hati. dan itu dijadikannya dalih untuk membiarkan dirinya tidak berikhtiar dengan maksimal serta tidak mencari ilmu yang dapat membawa peningkatan kesejahteraan hidupnya. Demikian juga yang kaya harta, terlalu memandang harta sebagai segalanya. Sehingga apapun dia lakukan demi mengejar harta. Serta berupaya mati-matian untuk mempertahankan status quo sebagai orang kaya. Sehingga enggan bahkan haram baginya untuk membantu mensejahterakan sanak saudaranya ataupun masyarakat miskin pada umumnya. Mudah-mudahan ulasan berikut ini dapat menambah wawasan kita bersama agar dapat bersikap dengan tepat mengenai kekayaan, Biarlah Kita Kaya Harta Asal Kaya Hati. Right....
Allah swt berfirman :
"(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi. Orang (lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui."(QS. al-Baqoroh (2):273)
Orang kaya pastikah selalu merasa cukup? Belum tentu....
Betapa banyak orang kaya namun masih merasa kekurangan. Hatinya tidak merasa puas dengan apa yang diberi Sang Pemberi Rizki. Pandang matanya masih jauh menerawang melihat apa yang belum diraih dengan melupakan nikmat yang sudah diperoleh. Hatinya masih terasa hampa karena fokus hatinya adalah kekurangan yang belum dia dapatkan.
Sebenarnya kaya hati ialah kaya yang hakiki. Tidak ada lagi kekayaan di atas kaya hati. Kalau hati sudah kaya, maka kekayaan akan dirasai di mana-mana dan dalam apa jua. Keadaan Orang yang kaya hati, kalau mereka diberi kelebihan kaya harta, ramai orang boleh menumpang dan mendapat manfaat dari kekayaannya. Fakir miskin terbela, orang susah dibantu, orang yang memerlukan diberi, dan orang yang berhutang diselesaikan hutangnya .
Orang yang kaya wang ringgit dan harta benda suatu saat bisa jadi jatuh miskin dan papa bahkan boleh jatuh muflis atau bangkrut. Tetapi orang yang kaya hati akan tetap kaya selama-lamanya.
Coba kita perhatikan nasehat suri tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar.
Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa.
Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Inilah nasehat dari suri tauladan kita. Nasehat ini sungguh berharga. Dari sini seorang insan bisa merenungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia bukanlah jalan untuk meraih kebahagiaan yang hakiki. Orang kaya yang fakir hatinya akan selalu merasa kurang puas. Jika diberi selembah gunung berupa emas, ia pun masih mencari lembah yang kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, kekayaan senyatanya adalah hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya Qona’ah. Itulah yang disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya.
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dicamkan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah orang yang selalu qona’ah (merasa puas) dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian Allah yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya.
Sedangkan orang yang disifati dengan miskin hati adalah kebalikan dari orang pertama tadi. Orang seperti ini tidak pernah qona’ah (merasa pus) terhadap apa yang diberi. Bahkan ia terus berusaha keras untuk menambah dan terus menambah dengan cara apa pun (entah cara halal maupun haram). Jika ia tidak menggapai apa yang ia cari, ia pun merasa amat sedih. Dialah seakan-akan orang yang fakir, yang miskin harta karena ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diberi. Oran inilah orang yang tidak kaya pada hakikatnya.
Intinya, orang yang kaya hati berawal dari sikap selalu ridho dan menerima segala ketentuan Allah Ta’ala. Ia tahu dan yakin bahwa apa yang Allah beri, itulah yang terbaik dan akan senatiasa terus ada. Sikap inilah yang membuatnya enggan untuk menambah apa yang ia cari.”
Orang yang kaya hati merasa cukup dengan Tuhan. Dia merasa kaya dengan Tuhan. Kalau dunia dan harta ada di tangan, dia susah hati kerana ini bererti tanggungjawab yang berat terhadap agama dan masyarakat yang perlu dipikul. Dia takut kalau-kalau tanggungjawab itu tidak dapat dilaksanakan. Kalau harta itu dapat diberi kepada orang yang memerlukan dan dapat dikorbankan ke jalan Allah, maka terhibur jiwanya dan lapang dadanya. Kalau ini tidak dapat dilakukan maka susah hatinya. Harta dan dunianya di tangan tetapi tidak di hati. Kalau dunia dan harta tidak dimiliki, senang hatinya kerana tanggungjawabnya ringan.
Dia tenang dengan ujian dan kesusahan. Dia tidak digugat oleh hal-hal dunia yang menimpanya sama ada yang berbentuk nikmat dan kesenangan mahupun yang berbentuk ujian dan kesusahan. Dunianya tidak dapat melalaikannya dari Tuhan dan dari tanggungjawabnya.
Orang yang kaya hati tidak merasa inferiority complex atau hina diri dengan orang kaya atau raja, orang cerdik pandai, orang yang berkuasa dan sebagainya. Dia memandang semua manusia semuanya setaraf sahaja. Pada dia, martabat manusia diukur mengikut iman dan taqwanya dan bukan dengan ukuran dunia.
Namun bukan berarti kita tidak boleh kaya harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari sini bukan berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Allah berfirman :
"Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." (QS.11:61)
artinya membangun kehidupan atau peradaban yang baik,benar dan Islami.
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi (perak, aluminium, minyak,atom dll) yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfa’at bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya ALLAH mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal ALLAH tidak dilihatnya. Sesungguhnya ALLAH Maha Kuat lagi Maha Perkasa."(QS.57:25)
artinya umat Islam haruslah mendirikan industri, membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan pendidikan akhirnya memakmurkan umat Islam serta memperkuat pertahanan agama dan umat.
Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta pada Allah dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”[Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/41]
sumber : http://www.naqsdna.com/2011/09/kaya-hati-kaya-harta.html
Sahabat, Umat Islam selalu dilanda kebingungan ketika mensikapi soal pilihan antara Kaya Hati & Kaya Harta. Seakan-akan itu adalah dua hal yang saling bertentangan dan tidak dapat dimiliki kedua-duanya secara bersamaan. Orang yang miskin, selalu berujar biar miskin asal kaya hati. dan itu dijadikannya dalih untuk membiarkan dirinya tidak berikhtiar dengan maksimal serta tidak mencari ilmu yang dapat membawa peningkatan kesejahteraan hidupnya. Demikian juga yang kaya harta, terlalu memandang harta sebagai segalanya. Sehingga apapun dia lakukan demi mengejar harta. Serta berupaya mati-matian untuk mempertahankan status quo sebagai orang kaya. Sehingga enggan bahkan haram baginya untuk membantu mensejahterakan sanak saudaranya ataupun masyarakat miskin pada umumnya. Mudah-mudahan ulasan berikut ini dapat menambah wawasan kita bersama agar dapat bersikap dengan tepat mengenai kekayaan, Biarlah Kita Kaya Harta Asal Kaya Hati. Right....
Allah swt berfirman :
"(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi. Orang (lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui."(QS. al-Baqoroh (2):273)
Orang kaya pastikah selalu merasa cukup? Belum tentu....
Betapa banyak orang kaya namun masih merasa kekurangan. Hatinya tidak merasa puas dengan apa yang diberi Sang Pemberi Rizki. Pandang matanya masih jauh menerawang melihat apa yang belum diraih dengan melupakan nikmat yang sudah diperoleh. Hatinya masih terasa hampa karena fokus hatinya adalah kekurangan yang belum dia dapatkan.
Sebenarnya kaya hati ialah kaya yang hakiki. Tidak ada lagi kekayaan di atas kaya hati. Kalau hati sudah kaya, maka kekayaan akan dirasai di mana-mana dan dalam apa jua. Keadaan Orang yang kaya hati, kalau mereka diberi kelebihan kaya harta, ramai orang boleh menumpang dan mendapat manfaat dari kekayaannya. Fakir miskin terbela, orang susah dibantu, orang yang memerlukan diberi, dan orang yang berhutang diselesaikan hutangnya .
Orang yang kaya wang ringgit dan harta benda suatu saat bisa jadi jatuh miskin dan papa bahkan boleh jatuh muflis atau bangkrut. Tetapi orang yang kaya hati akan tetap kaya selama-lamanya.
Coba kita perhatikan nasehat suri tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَالَ
لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرّ
أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى
قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ
: إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar.
Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa.
Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Inilah nasehat dari suri tauladan kita. Nasehat ini sungguh berharga. Dari sini seorang insan bisa merenungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia bukanlah jalan untuk meraih kebahagiaan yang hakiki. Orang kaya yang fakir hatinya akan selalu merasa kurang puas. Jika diberi selembah gunung berupa emas, ia pun masih mencari lembah yang kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, kekayaan senyatanya adalah hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya Qona’ah. Itulah yang disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya.
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dicamkan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah orang yang selalu qona’ah (merasa puas) dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian Allah yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya.
Sedangkan orang yang disifati dengan miskin hati adalah kebalikan dari orang pertama tadi. Orang seperti ini tidak pernah qona’ah (merasa pus) terhadap apa yang diberi. Bahkan ia terus berusaha keras untuk menambah dan terus menambah dengan cara apa pun (entah cara halal maupun haram). Jika ia tidak menggapai apa yang ia cari, ia pun merasa amat sedih. Dialah seakan-akan orang yang fakir, yang miskin harta karena ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diberi. Oran inilah orang yang tidak kaya pada hakikatnya.
Intinya, orang yang kaya hati berawal dari sikap selalu ridho dan menerima segala ketentuan Allah Ta’ala. Ia tahu dan yakin bahwa apa yang Allah beri, itulah yang terbaik dan akan senatiasa terus ada. Sikap inilah yang membuatnya enggan untuk menambah apa yang ia cari.”
Orang yang kaya hati merasa cukup dengan Tuhan. Dia merasa kaya dengan Tuhan. Kalau dunia dan harta ada di tangan, dia susah hati kerana ini bererti tanggungjawab yang berat terhadap agama dan masyarakat yang perlu dipikul. Dia takut kalau-kalau tanggungjawab itu tidak dapat dilaksanakan. Kalau harta itu dapat diberi kepada orang yang memerlukan dan dapat dikorbankan ke jalan Allah, maka terhibur jiwanya dan lapang dadanya. Kalau ini tidak dapat dilakukan maka susah hatinya. Harta dan dunianya di tangan tetapi tidak di hati. Kalau dunia dan harta tidak dimiliki, senang hatinya kerana tanggungjawabnya ringan.
Dia tenang dengan ujian dan kesusahan. Dia tidak digugat oleh hal-hal dunia yang menimpanya sama ada yang berbentuk nikmat dan kesenangan mahupun yang berbentuk ujian dan kesusahan. Dunianya tidak dapat melalaikannya dari Tuhan dan dari tanggungjawabnya.
Orang yang kaya hati tidak merasa inferiority complex atau hina diri dengan orang kaya atau raja, orang cerdik pandai, orang yang berkuasa dan sebagainya. Dia memandang semua manusia semuanya setaraf sahaja. Pada dia, martabat manusia diukur mengikut iman dan taqwanya dan bukan dengan ukuran dunia.
Namun bukan berarti kita tidak boleh kaya harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ
“Tidak
apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang
bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia (kelapangan jiwa) itu
bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)Dari sini bukan berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh sangat beruntung orang yang
telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya
merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)
Allah berfirman :
"Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." (QS.11:61)
artinya membangun kehidupan atau peradaban yang baik,benar dan Islami.
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi (perak, aluminium, minyak,atom dll) yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfa’at bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya ALLAH mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal ALLAH tidak dilihatnya. Sesungguhnya ALLAH Maha Kuat lagi Maha Perkasa."(QS.57:25)
artinya umat Islam haruslah mendirikan industri, membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan pendidikan akhirnya memakmurkan umat Islam serta memperkuat pertahanan agama dan umat.
Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta pada Allah dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”[Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/41]
sumber : http://www.naqsdna.com/2011/09/kaya-hati-kaya-harta.html
0 Komentar untuk "pengertian kaya hati"