BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bersamaan
dengan perputaran dunia, modernisasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dari
hari ke hari semakin berkembang, akhir-akhir ini kita melihat banyak generasi
Islam yang sudah tidak mengenal para tokoh Islam yang sangat berpengaruh
terhadap kemajuan dunia pendidikan. Mereka kadang meremehkan dengan mengatakan,
”Di mana tokoh Islam”? Hal ini terjadi karena mereka kurang mengenal terhadap
beberapa tokoh Islam yang berhasil mencetak generasi yang tidak kalah hebat
dengan tokoh pendidikan non-Muslim dalam mencetak generasi berakhlak
al-karimah, disiplin, terhormat, serta bermanfaat untuk kepentingan agama,
nusa, dan bangsa.
Ibnu Sina nama lengkapnya adalah Abu Ali Husein Ibn Abdillah
Ibn Sina, atau disebut juga dengan nama Syaikh al-Rais Abu ‘Ali al-Husein bin
Abdullah Ibnu Sina, dan Negara-negara barat namanya lebih dikenal dengan
sebutan Avicena. Ia dilahirkan di Persia pada bulan Syafar 370 H/980 M. Namun
orang Turki, Persia dan Arab mengklaim Ibnu Sina sebagai bangsanya. Hal ini
dikarenakan ibunya berkebangsaan Turki, sedangkan ayahnya peranakan Arab.
Oleh karena itu, dalam makalah ini saya akan
membahas tentang : Meneladani tokoh muslim Al-Ghozali dan Ibnu Sina”
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana kehidupan dan biografi Imam Al-Ghozali dan
ibnu sina?
2. Bagaimana kepribadian Ibnu Sina?
3. Bagaimana ikhtibar ketokohan Ibnu Sina?
C. Tujuan
a.
Untuk mengetahui kehidupan dan biografi Imam Al-Ghozali dan ibnu sina.
b.
Untuk mengetahui kepribadian Ibnu Sina.
c.
Untuk mengetahui ikhtibar ketokohan Ibnu Sina.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
IMAM
AL-GHOZALI
1.
Kehidupan
dan Kepribadian al-Ghazali
Imam
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
al-Thûsî. Ia lahir di daerah Thus sebuah kota di Khurasan, Persia tahun 450 H/
1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool yang selalu memintal dan menjualnya
sendiri di kota itu. Dalam melafalkan namanya, terdapat dua pendapat. Ada yang
mengatakannya dengan ungkapan al-Ghazzali – dengan tasydid huruf zaynya dan
dibaca panjang—yang merupakan nisbah kepada al-Ghazzali. Ada juga yang
mengatakannya dengan al-Ghazali –dengan dibaca ringan huruf zaynya. Dengan
demikian perkataan yang berkaitan dengan nama itu memiliki dua nisbah, yaitu
terhadap pekerjaan membuat kain wool (al-Ghazzal) dan nisbah kepada Ghazalah
sebuah kampung di daerah Thus bagi orang yang membacanya dengan dibaca ringan
hurup zaynya.
Ayah
Imam al-Ghazali bernama Muhammad. Ia sangat menaruh perhatian pada pendidikan
anak-anaknya. Ia tidak ingin kedua anaknya –Ahmad dan al-Ghazali—miskin dari
ilmu seperti keadaannya. Oleh karena itu, menjelang akhir hayatnya ia
menitipkan kedua anaknya kepada sahabatnya untuk dididik sampai habis harta
warisannya. Sang ayah meninggal dunia ketika al-Ghazali masih kecil. Setelah
itu ia dididik oleh ibunya. Kasih sayang ibunyalah yang mendorongnya untuk
menuntut ilmu kepada sahabat ayahnya. Sesuai dengan pesan, sahabat ayahnya
mendidik al-Ghazali dan saudaranya sampai habis harta warisannya, dan berhasil
melaksanakan tugasnya dengan memberikan bekal ilmu kepada al-Ghazali dan
saudaranya terutama ilmu tashawuf. Dalam sejarah, kedua putra Muhammad itu
menjadi ulama besar. Imam Al-Ghazali dengan julukan Hujjatul-Islam, Zain al-Din
dan Mujaddid (Pembaharu) , sedangkan Ahmad dengan julukan Majid al-Din.
Di
samping ayahnya menaruh perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya, al-Ghazali
sendiri memiliki kecerdasan yang luar biasa disertai dengan bakat dan minatnya.
Bakat dan minatnya kelihatan pada kemauannya yang kuat untuk belajar dan
kecintaannya pada ilmu. Dalam sejarah pendidikan dan pengembaraan
intelektualnya, kelihatan pula kebesaran bakat dan minatnya pada pendidikan.
Hal
tersebut terbukti setelah dilepas oleh sahabat ayahnya, ia langsung menjalankan
pesan gurunya untuk tetap menuntut ilmu sesuai dengan kemampuan yang ada.
Kehausannya untuk mencari ilmu ia gambarkan dalam salah satu karyanya
al-Munqidz min al-Dhalal, dimana menurutnya bahwa kehausannya untuk mencari
hakikat kebenaran merupakan anugrah dari Allah SWT. Atas dorongan itulah al-Ghazali
melakukan pengembaraan dari mulai jarak yang dekat sampai yang jauh untuk
mencari ilmu.
Pada
mulanya ia berguru kepada Ahmad bin Muhammad al-Râdzikani di Thus sampai usia
belasan tahun. Dengan al-Radzikani ia belajar fiqh. Sesudah itu ia mulai merantau
untuk menuntut ilmu di daerah Jurjan kepada Abu Nashr al-Isma’ili. Setelah
selesai belajar di Jurjan, ia kembali lagi ke Thus untuk menetap selama tiga
tahun. Waktu kepulangannya kembali ke Thus, ia pergunakan untuk mempelajari
tashawuf dan memperaktekkannya di bawah bimbingan Yusuf al-Nassaj.
Selanjutnya
dalam usia dua puluh tahun, ia pergi belajar ke Naisabur, berguru kepada Abu
al-Ma’ali ‘Abd al-Malik Ibn Abi Muhammad al-Juwaini, Imam al-Haramain, seorang
ulama terkenal di madrasah Nizham al-Muluk. Di madrasah itu ia mempelajari
teologi, filsafat, hukum, logika, retorika, ilmu pengetahuan alam dan tashawuf.
Dalam belajar, ia terkenal rajin dan pintar, sehingga dalam waktu yang singkat
ia memperlihatkan kemampuannya sebagai seorang ‘alim yang cemerlang. Tak heran
kalau guru dan teman-temannya sangat mengaguminya, dan gurunya sendiri
menggambarkannya sebagai seorang alim yang luas dan dalam ilmunya serta pintar
dalam mengamalkannya. Walaupun demikian ia tetap menaruh hormat pada gurunya
dan tidak menampakkan sedikitpun kesombongan.
Selain
memiliki kecerdasan dan kemampuan intelektual yang hebat, Imam al-Ghazali juga
dikenal memiliki kepribadian yang sangat baik. Ia adalah seorang yang memiliki
akhlak yang terpuji. Segala tutur kata dan perbuatannya selalu menyejukkan
orang lain. Ia tidak keras, tetapi tegas dan teguh pendirian, walaupun
–sebagaimana disebutkan dalam berbagai literatur—ia sempat berada dalam
masa-masa kebimbangan dan keraguan terutama berkaitan dengan usahanya mencari
kebenaran hakiki pada saat ia bersentuhan dengan filsafat dan teologi. Ia
adalah seorang yang tekun beribadah dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Ia
memiliki sifat-sifat terpuji seperti sabar, tawakkal, qanaah dan lain-lain. Ia
bukan seorang yang cepat atau suka marah, tetapi ia mampu mengendalikan dirinya
apabila menghadapi masalah.
Imam
Al-Ghazali sangat memperhatikan dan menekankan usaha pembentukan kesalehan
individu dengan menempuh jalan tashawuf melalui bentuk-bentuk pengamalan
latihan spiritual (maqamat) dan selalu menjaga kondisi kejiwaannya dengan
senantiasa berserah diri kepada Yang Maha Kuasa (ahwal).Tujuannya tiada lain
supaya bisa dekat kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, lebih jauh lagi bisa
mencapai derajat musyahadah dan ma’rifat kepada-Nya. Ia mempraktekkan hidup
zuhud dan menekankan pengamalan pola hidup ini, agar dalam menjalankan amaliah
ibadah kepadanya benar-benar bisa istiqamah tanpa banyak gangguan. Namun hal
itu buka berarti ia melarang untuk memiliki dunia.
“Imam
Al-Ghazali sangat menekankan agar manusia senantiasa menjaga kebersihan hati
atau ruhaninya. Karena dengan keadaan itulah seseorang bisa melaksanakan ajaran
Allah secara sempurna dan bisa melahirkan perilaku yang terpuji.”
Melalui
jalan dan metode tashawuf lah hal itu bisa tercapai. Dengan mengutip penjelasan
Imam al-Ghazali tentang pentingnya upaya menjaga kesucian hati (qalbu) sebagai
salah satu cara bertashawuf ini, Riva’i Siregar mengatakan:
“Inti
Tashawuf al-Ghazali adalah jalan menuju Allah atau ma’rifatullah. Oleh karena
itu, serial al-maqamat dan al-ahwal pada dasarnya adalah rincian dari metode
pencapaian pengetahuan mistis. Menurut al-Ghazali, sarana ma’rifat seorang sufi
adalah qalbu, bukan perasaan dan tidak pula akal budi. Dalam konsepsi ini,
qalbu bukanlah segumpal daging yang terletak pada bagian kiri dada manusia,
tetapi ia merupakan semacam radar dan sebagai daya dan pletikan ruhaniah
ketuhanan, dan dialah hakikat realitas manusia. Qalbu bagaikan cermin,
sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang termuat di dalamnya. Maka
jika qalbu yang berfungsi sebagai cermin tidakbening, maka tidak akan dapat
memantulkan realitas-realitas ilmu. Supaya qalbu bisa selalu bening, caranya
hanya dengan jalan ketaatan kepada Allah dan kmampuan menguasai hawa nafsu.”
Di
samping pentingnya membentuk kesalehan individu melalui latihan spiritual
dengan fokus kesucian qalbu, al-Ghazali juga memiliki kepribadian yang sangat
memperhatiakn keadaan masyarakatnya. Ia menekankan pentingnya membangun
masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam. Masyarakat yang utama akan terwujud
apabila semua anggotanya memiliki akhlak yang terpuji.
Melalui
perjalanan keilmuan yang kemudian dipraktekkan dalam bentuk amaliah ibadah
denga bingkai riyadhah (latihan spiritual), kita melihat bahwa kehidupan
al-Ghazali dari mulai kecil sampai dewasanya, bahkan sampai nanti meninggalnya,
tidak terlepas dari ilmu dan amal. Hal ini merupakan satu suri tauladan bagi
semua orang. Bagi seorang muta’allim, ia memberi contoh bagaimana bahwa dalam
menuntut ilmu harus memiliki kesungguhan dan ketabahan yang didasari niat yang
ikhlas.
Kecerdasan
yang didukung ketekunan dalam belajar menjadikannya seorang muta’allim yang
berhasil dalam belajarnya. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu agama. Bagi
seorang ‘alim, ia merupakan tauladan dalam hal mengamalkan ilmunya. Ia tidak
susah untuk mengajrakan ilmunya kepada semua orang. Ia mengajar dengan penuh
keikhlasan dan kesabaran. Tidak hanya dengan cara mengajar, ia mengajarkan
ilmunya dengan menuliskannya dalam berbagai karyanya sebagaimana yang akan
terlihat nanti pada bagian berikutnya.
Walaupun
kehidupan dan pengembaraan hidupnya –terutama pengembaraan intelektual dan
spiritualnya—penuh dengan liku, namun al-Ghazali dapat dikatakan berhasil dalam
menjalankan misi hidupnya sebagai seorang hamba yang dalam banyak hal diakui
dan dijadikan teladan oleh umat manusia sampai sekarang. Ia dapat memberikan
sumbangan yang besar bagi pengembangan agama dan pendidikan umatnya, khususnya
dalam hal pembentukan akhlak yang mulia, terutama pada masanya, dimana pada
masa itu ia menyaksikan kemerosotan akhlak yang dialami hampir semua lapisan
masyarakat. Perjalanan hidup al-Ghazali diakhir dengan wafatnya ia pada pada
tahun 505 H/ 1111 M di kota kelahirannya sendiri (Thus). Ia meninggal setelah
melakukan satu perjuangan besar bagi umat manusia yang sangat tinggi nilainya
khususnya dalam bidang ilmu dan akhlak.
2. Karir Intelektual Imam
al-Ghazali
Yang dimaksud dengan karir intelektual
al-Ghazali di sini adalah perjalanan al-Ghazali dalam menuntut ilmu dan lebih lanjut
mengamalkannya dalam berbagai bentuk kegiatan pendidikan dalam arti
transformasi ilmu, baik melalui lembaga resmi, maupun secara pribadi. Pada
bagian sebelumnya, sebagian sudah diuraikan riwayat hidup al-Ghazali termasuk
yang berkaitan dengan kegiatan mencari ilmu walaupun dalam bentuk yang sangat
singkat.
Salah satu hal yang berkaitan dengan karir
intelektual al-Ghazali adalah banyaknya orang yang menjadi gurunya dalam
berbagai bidang ilmu. Al-Ghazali telah belajar kepada banyak guru sejak kecil
sampai dewasa, bahkan sampai sebelum ia menjelang menjadi guru besar di
madrasah Nizhamiyah. Diantara guru-guru al-Ghazali yang terkenal ialah:
ü
Ahmad bin Muhammad al-Thûsi, Abu Hamid
al-Radzikâni.
ü
Abu al-Ma’âli ‘Abd al-Malik bin ‘abd Allah Yusuf
bin Muhammad al-Juwaini.
ü
Abi Sahal Muhammad bin ‘Abd Allah al-Hafshî.
ü
Abi al-Fityân ‘Umar bin Abi al-Hasan al-Rawâsi
al-Dihsatâni.
ü
Abu ‘ali al-Fadhl bin Muhammad al-Fâramadi
al-Kharasâni.
ü
Abu Thâlib Muhammad bin ‘ali bin’ Athiyah
al-Hâritsi al-Makky.
ü
Abu ‘Abd Allah al-Hâritsi bin Asad al-Mahâsibi.
ü
Abu al-qâsim al-Junaidi bin Muhammad ibn
al-Junaidi al-Khazari.
ü
Dalf bin Jahdar al-Syibli.
ü
Thaifur bin ‘Isa bin Adam bin ‘Isa bin ‘ali
al-Busthâmi
Dari beberapa nama tersebut kebanyakan adalah
guru al-Ghazali dalam bidang tashawuf, dan memang al-Ghazali lebih banyak
dikenal sebagai seorang shufi, walaupun sebenarnya ia menguasai juga berbagai
bidang lainnya, seperti fiqh dan ushul fiqhnya, hadis, teologi dan filsafat.
Al-Ghazali lebih dikenal sebagai seorang shufi karena setelah melakukan
pengembaraan intelektual dan spiritual yang dalam perjalanan panjang tersebut
ia sempat mengalami kebimbangan, maka akhirnya ia memilih tashawuf sebagai
pijakan utama dalam mencari dan menemukan kebenaran. Ia pernah menyerang para
filosof yang bahkan dalam beberapa hal menaganggap kufur karena beberapa
pendapatnya dianggap keluar dari ajaran al-quran.
Secara lebih kongkrit, karir intelektual
al-Ghazali mulai terlihat sebenarnya sewaktu ia masih menuntut ilmu. Pada saat
yang bersamaan, ia banyak mengajarkan ilmunya kepada teman-temannya, karena
teman-tem,annya mengakui bahwa al-Ghazali merupakan salah seorang yang memiliki
berbagai kelebihan dibidang keilmuan. Al-Ghazali sudah menjadi dosen pada saat
ia masih sebagai mahasiswa.
Setelah berakhir sejarah al-Ghazali sebagai
pelajar, maka mulai pulalah babak baru dari sejarah pendidikan dan karir
intelektualnya. Waktu di madrasah Nizham al-Muluk ia sudah dipercaya oleh Imam
Haramain sebagai pembantu (asisten)nya. Akan tetapi karirnya dibidang ini baru
menanjak setelah ia perki ke ‘Askar. Kota ‘askar merupakan tempat kediaman
perdana menteri Nizham al-Muluk, pembesar-pembesar kerajaan, pemimpin dan ulama
dari berbagai disiplin ilmu. Di “askar ia pernah diundang untuk berdiskusi
ilmiah dengan sekelompok ulama di hadapan perdana menteri. Di dalam diskusi
itu, perdana menteri melihat keluasan dan kedalam ilmu al-Ghazali disbanding
dengan ulama yang lainnya. Setelah penampilannya yang baik itu, perdana menteri
menaruh simpati kepadanya. Ia disambut dan diberi penghargaan sebagai alim yang
dihormati. Di istana ia diberi kehormatan untuk memberi pengajian dua mingguan
kepada para pembesar kerajan Saljuk. Pengajian itu tidak saja bermanfaat bagi
para pembesar kerajaan, tetapi juga bagi masyarakat Islam pada umumnya, karena
hasil pengajian tersebut disebar luaskan.
Pada tahun 481 H/ 1091 M, al-Ghazali diserahi
tugas mengajar pada Jami;ah (universitas) yang didirikan Nizhâm al-Muluk di
Baghdad. Tahun 484 H/ 1094 M ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang syari’ah
Islam pada ja,I’ah Baghdad tersebut, padahal usanya saat itu masih sangat muda,
tiga puluh empat tahun. Setelah menjadi guru, ia diserahi jabatan sebagai
pimpinan jami’ah tersebut.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru besar
dan pimpinan (rektor), al-Ghazali memperoleh sukses. Sukses tersebut antara
lain diperolehnya berkat kepemimpinannya yang baik dan kepintarannya dalam
mengamalkan ilmu. Ia dikagumi oleh para mahasiswa, ulama, pimpinan dan pembesar
dinasti Saljuk. Sukses yang diraihnya itu menarik simpati dan perhatian para
pembesar dinasti Saljuk untuk meminta nasihatnya dalam masalah agama dan
negara. Sejak itu mulailah ia berpengaruh dalam dinasti saljuk.
Pengaruh al-Ghazali pada masa kekuasaan raja
Malik Syah atau masa pemerintahan Nizhâm al-Muluk sebanding dengan pengaruh
yang didapat oleh para pembesar istana lainnya, bahkan lebih. Ia dapat
mempengaruhi jalannya pemerintahan menurut aliran pikirannya, serta ikut
menentukan kebijakan dibidang agama, pendidikan, budaya dan politik. Ia semakin
berpengaruh dalam dinasti, sehingga tidak ada satupun urusan negara yang dapat
diputuskan tanpa persetujuannya. Ia merupakan guru istana dan mufti besar yang
hidup di bawah perlindungan penguasa-penguasa keluarga Saljuk.
Berdasarkan uraian di atas, karir intelektual
al-Ghazali tidak bisa lepas dari dunia pendidikan, terutama yang berkaitan
dengan pembinaan akhlak. Al-Ghazali telah memainkan peranan yang sangat penting
bagi pembentukan kesadaran spiritual para penguasa Saljuk, masyarakat muslim
saat itu dan bahkan sampai sekarang juga. Walaupun demikian, kebesaran dan
karir intelektual al-Ghazali tesebut, tidak membuatnya merasa mendapatkan
segala-galanya. Ia tetap merasa belum dapat menemukan jalan yang sebenarnya
untuk mencari dan menemukan kebenara yang hakiki. Setelah beberapa tahun
mengajar dan menjadi pimpinan di Baghdad, ia pergi meninggalkan Baghdad untuk
menunaikan ibadah haji dan melanjutkan perjalanan ke Syam. Setelah itu ia
kembali lagi ke daerah asalnya yaitu daerah Thus untuk menjalani kehidupan baru
melalui jlan tashawwuf yang diyakininya merupakan jalan terbaik menemukan
kebenaran sampai terus melaksanakan kegiatan mengajarnya.
Kesimpulannya, Imam
al-Ghazali adalah seorang yang gigih dalam menuntut ilmu dan menyebarkan ilmu
pengetahuan. Kita sepatutnya mencontohi beliau dalam kedua bidang tersebut.
Beliau telah memberi sumbangan yang besar dalam tamaddun ilmu. Karya-karyanya
menjadi rujukan sehingga ke hari ini. Seharusnya kita semua ingat bahawa
kaedah-kaedah pengajaran yang diamalkan di seluruh dunia kini adalah berpunca
daripada al-Quran dan sunnah
B. IBNU SINA
1. Biografi Ibnu Sina
Ibnu Sina adalah seorang ilmuwan
Muslim yang terkenal di dunia. Ia seorang ilmuwan dengan pemikiran-pemikiran
yang cerdas mendasari ilmu kedokteran modern. Ia banyak disebut sebagai
"Bapak Kedokteran Modern." George Sarton menyebutnya sebagai
"Ilmuwan Paling Terkenal dari Islam dan Salah Satu yang Paling Terkenal
Pada Semua Bidang Tempat, dan Waktu". Ia lahir pada zaman keemasan
peradaban Islam, sehingga ia disebut sebagai tokoh Islam dunia.
Ibnu Sina juga seorang penulis yang produktif,
sebagian besar karyanya membahas tentang filsafat dan pengobatan. Ia adalah
satu-satunya filsafat besar dalam Islam yang berhasil membangun sistem
filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi
tradisi filsafat muslim hingga beberapa abad. Karyanya yang paling terkenal
adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal
juga sebagai Qanun yang digunakan sebagai Referensi di bidang
kedokteran selama berabad-abad.
Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin
‘Abdullāh bin Sīnā. Ibnu Sina lahir pada 980 M di Afsyahnah daerah dekat
Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia). Ia berasal dari
keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah
terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Orang tuanya adalah seorang pegawai tinggi
pada pemerintahan Dinasti Saman. Ia dibesarkan di Bukharaja serta belajar
falsafah dan ilmu-ilmu agama Islam.
Saat berusia 10 tahun dia banyak mempelajari
ilmu agama Islam dan berhasil menghafal Al-Qur'an. Ia dibimbing oleh Abu
Abdellah Natili, dalam mempelajari ilmu logika untuk mempelajari buku Isagoge
dan Prophyry, Eucliddan Al-Magest Ptolemus. Setelah itu dia juga
mendalami ilmu agama dan Metaphysics Plato dan Arsitoteles.
Suatu ketika dia mengalami masalah saat belajar
ilmu Metaphysics dari Arisstoteles. Empat Puluh kali dia membacanya
sampai hafal setiap kata yang tertulis dalam buku tersebut, namun dia tidak
dapat mengerti artinya. Sampai suatu hari setelah dia membaca Agradhu kitab
ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua
persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia
mendapat kunci bagi segala ilmu Metaphysics.
Setelah berhasil mendalami ilmu-ilmu alam dan
ketuhanan, Ibnu Sina merasa tertarik untuk mempelajari ilmu kedokteran. Ia
mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya. Meskipun secara teori dia belum
matang, tetapi ia banyak melakukan keberhasilan dalam mengobati orang-orang
sakit. Setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Allah agar
diberikan petunjuk, maka didalam tidurnya Allah memberikan pemecahan terhadap
kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapinya.
Suatu ketika saat Amir Nuh Bin Nasr sedang
menderita sakit keras. Mendengar tentang kehebatan yang dimiliki oleh Ibnu
Sina, akhirnya dia diminta datang ke Istana untuk mengobati Amir Nuh Bin Nasr
sehingga kesehatannya pulih kembali. Sejak itu, Ibnu Sina menjadi akrab dengan
Amir Nuh Bin Nasr yang mempunyai sebuah perpustakaan yang mempunyai koleksi
buku yang sangan lengkap di daerah itu. Sehingga membuat Ibnu Sina mendapat
akses untuk mengunjungi perpustakaan istana yang terlengkap yaitu Kutub
Khana.
Berkat perpustakaan tersebut, Ibnu Sina
mendapatkan banyak ilmu pengetahuan untuk bahan-bahan penemuannya. Pada suatu
hari perpustakaan tersebut terbakar dan orang-orang setempat menuduh Ibnu Sina
bahwa dirinya sengaja membakar perpustakaan tersebut, dengan alasan agar orang
lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu.
Ibnu Sina lahir di zaman keemasan Peradaban
Islam. Pada zaman tersebut ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks
ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India. Teks Yunani dari zaman Plato,
sesudahnya hingga zaman Aristoteles secara intensif banyak diterjemahkan dan
dikembangkan lebih maju oleh para ilmuwan Islam.
Pengembangan ini terutama dilakukan oleh
perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi. Pengembangan ilmu pengetahuan di masa
ini meliputi matematika, astronomi, Aljabar, Trigonometri, dan ilmu pengobatan.
Pada zaman Dinasti Samayid dibagian timur Persian wilayah Khurasan dan Dinasti
Buyid dibagian barat Iran dan Persian memberi suasana yang mendukung bagi
perkembangan keilmuan dan budaya. Di zaman Dinasti Samaniyah, Bukhara dan
Baghdad menjadi pusat budaya dan ilmu pengetahun dunia Islam.
Saat berusia 22 tahun, ayah Ibnu Sina meninggal
dunia. Pemerintahan Samanid menuju keruntuhan. Masalah yang terjadi dalam
pemerintahan tersebut akhirnya membuatnya harus meninggalkan Bukhara. Pertama
ia pindah ke Gurganj, ia tinggal selama 10 tahun di Gurganj. Kemudia ia pindah
dari Gurganj ke Nasa, kemudian pindah lagi ke Baward, dan terus
berpindah-pindah tempat untuk mempelajari ilmu baru dan mengamalkannya.
Shams al-Ma’äli Qäbtis, seorang penyair dan
sarjana, yang mana Ibnu Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana
sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ia
sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan,
dekat Laut Kaspi, ia bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman
didekat rumahnya sendiri di mana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi.
Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini, dan permulaan
dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di
Hyrcania.
2.
Kepribadian
Ibnu Sina
ü Ibnu Sina merupakan seorang
yang tekun dalam mempelajari ilmu. Beliau pernah membaca buku metafizik
karangan Aristotle sebanyak 40 kali.
ü Ibnu Sina seorang yang taat
beragama. Beliau sering berdoa kepada Allah SWT terutama apabila beliau
menghadapi kebuntuan untuk menyelesaikan masalah. Beliau sering pergi ke masjid
untuk memohon petunjuk daripada Allah SWT.
ü Seorang yang pintar. Beliau
berjaya menguasai pelbagai ilmu naqliah (ilmu agama) ketika beriusia lapan
belas tahun.
ü Seorang yang berinovatif. Ibnu
Sina banyak melakukan penyelidikan dan menghasilkan karya dalam pelbagai ilmu
terutama dalam bidang perubatan.
3.
Iktibar Yang Di Peroleh Daripada Ketokohan Ibnu
Sina
ü Hendaklah sentiasa
bersungguh-sungguh menuntut ilmu.
ü Sebagai seorang pelajar
mestilah rajin membaca, menyelidik ,membuat kajian
dan menganalisis ilmu.
ü Sentiasa berfikiran kreatif
dan inovatif bagi menghasilkan sesuatu yang baru
ü
Sentiasa mendukumentasikan hasil kajian
untuk rujukan orang lain .
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
Imam
Al-Ghozali memiliki kecerdasan yang luar biasa disertai dengan bakat dan
minatnya. Bakat dan minatnya kelihatan pada kemauannya yang kuat untuk belajar
dan kecintaannya pada ilmu. Dalam sejarah pendidikan dan pengembaraan
intelektualnya, kelihatan pula kebesaran bakat dan minatnya pada pendidikan.
Ibnu
Sina Seorang yang berinovatif. Ibnu Sina banyak melakukan penyelidikan dan
menghasilkan karya dalam pelbagai ilmu terutama dalam bidang perubatan. Seorang
yang pintar. Beliau berjaya menguasai pelbagai ilmu naqliah (ilmu agama)
ketika beriusia lapan belas tahun.
Hendaklah sentiasa bersungguh-sungguh menuntut
ilmu.
Sebagai seorang pelajar mestilah rajin membaca,
menyelidik ,membuat kajian dan menganalisis ilmu. Sentiasa berfikiran kreatif
dan inovatif bagi menghasilkan sesuatu yang baruSentiasa mendukumentasikan
hasil kajian untuk rujukan orang lain .
B.
Saran
Sebagai orang muslim kita wajib meneladani tokoh muslim dan mengambil
ikhtibar dari segi akhlak mulia terutama
dari Al-Ghozali dan Ibnu Sina.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Tag :
makalah
0 Komentar untuk "MAKALAH AKHLAK TERPUJI MENELADANI AL-GHOZALI DAN IBNU SINA"