Blog pribadi berisi tips dan cara, serta Tugas" Kuliah

Insa Alloh Kami Dapat Membantu

Insa Alloh Kami Dapat Membantu

makalah hadits persaudaraan (adabun Nabi)

MakalahMata Kuliah  Hadits II


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang
Islam menganjurkan untuk menyambung hubungan dan bersatu serta mengharamkan pemutusan hubungan, saling menjauhi, dan semua perkara yang menyebabkan lahirnya perpecahan. Karenanya Islam menganjurkan untuk menyambung silaturahim dan memperingatkan agar jangan sampai ada seorang muslim yang memutuskannya.
Persaudaraan merupakan hal yang umum, persaudaraan yang timbul karena saling memperkuat ikatan–ikatan persaudaraan dan sebagai fakor untuk mencapainya kesejahteraan masayarakat Islam. Setiap manusia memiliki kewajibannya dengan adanya rasa cinta, penghargaan, penghormatan dan pelaksanaan berbagai kewajiban – kewajiban yang harus dilaksanakan. Ukhuwah Islamiyah, persaudaraan Islam telah digariskan oleh Allah SWT.Dalam AlQur’an dan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya dan benar-benar diamalkan.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa hadist yang membahas tentang persaudaraan sesama muslim?
2.      Apa hadits yang membahas tentang memelihara silatur rahim?
3.      Apa hadits yang membahas tentang larangan memutus silatur rahim?
C.    Tujuan penulisan
1.      Menjelaskan hadits tentang persaudaraan sesama muslim
2.      Menjelaskan hadits tentang memelihara silatur rahim
3.      Menjelaskan hadits tentang larangan memutus silatur Rahim









BAB II
PEMBAHASAN

A.    PERSAUDARAAN SESAMA MUSLIM  (ADABUN NABI : 23 & 25 )
  1. Teks Hadits
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال :قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : اَلْمُسْلِمُ اَخُوَاْلُمُسْلِمِ  لَا يَظْلِمُهُ  وَلَا يُسْلِمُهُ وَ مْن كَا نَ فِيْ حَا جَةِ اَ خِيْهِ  كاَ نَ الَلَهُ فِيْ حَا جَتِهِ وَ مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ وَ مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. (رواه البخا ري و مسلم ابو داود و انسائ و اترمذي)
  1. Terjemahan
Dari Abdullah bin ‘Umar r.a. berkata, Rasulullah Saw bersabda, ‘Orang Muslim itu saudara orang Muslim lainnya, tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya.  Barangsiapa yang (mencukupi) kebutuhan saudaranya, maka Allah akan (mencukupkan) kebutuhannya pula, dan barangsiapa yang meringankan beban kesedihan seorang Muslim, maka Allah akan meringankan beban kesedihan hari Kiamat darinya. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi (aib) nya kelak pada hari Kiamat. (Diriwayatkan Al-Bukhari , Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi).
  1. Uraian
            Aslama fulanun fulanan , si  Fulan mengantar si Fulan kepada kehancuran , tidak melindunginya dari ancaman musuhnya. Kata ini lebih luas konotasi penggunaannya. Segala yang ditujukan kepada sesuatu , namun lebih banyak berkonotasi pada kehancuran.  Kurbah, kesedihan yang menggerogoti jiwa.[1][2] Dikatakan aslama fulanun fulanan (si fulan menyerahkan si fulan), artinya dia menjerumuskannya dalam kebinasaan dan tidak melindunginya dari musuh.  Kalimat ini bersifat umum, mencakup semua sikap tidak peduli dengan keadaan orang lain. Namun, lebih banyak digunakan untuk sesuatu yang menyebabkan kebinasaan.  Al muslimu akhuwal muslimin,  seorang muslim adalah saudara seorang muslim yang lain. Ini adalah bentuk ukhuwah (persaudaraan) dalam Islam. Apabila ada dua hal yang mempunyai kesamaan, maka dinamakan bersaudara. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang yang merdeka, budak, orang dewasa, dan anak-anak. [2][3]
La yazhlimuhu ( tidak menzhaliminya  ) . Ini adalah kalimat berita yang bermakna perintah . Hal itu dikarenakan kezhaliman seorang muslim terhadap muslim lainnya adalah haram. Sedangkan perkataan “tidak menyerahkannya”, yakni tidak membiarkannya bersama orang yang mengganggunya dan tidak pula membiarkan pada sesuatu yang menyakitinya.[3][4]
            Maksud dari persaudaraan orang Muslim dengan orang Muslim lainnya berarti kokohnya pertalian antara mereka seperti layaknya persaudaraan saudara-saudara sekandung yang mengakibatkan terpupuknya rasa mencintai, saling tolong-menolong dan upaya memberikan yang baik dan mencegah yang dapat mendatangkan mudharat. Sebagai konsekuensinya, tidak menzhaliminya dan tidak pula membiarkannya begitu saja. Menzhaliminya berarti mengabaikan haknya baik menyangkut keamanan jiwa, harta benda maupun kehormatan, didasari unsur kesengajaan atau tidak. [4][5] Perbuatan zhalim hukumnya mutlak haram, dan Al-qur’an sendiri dalam beberapa ayatnya telah melarang perbutan zhalim itu. Rasulullah juga telah menjelaskan masalah ini,
حَدِيْثُ عَبْدِ اللَهِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ اللُهُ عَنْهُمَا . عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَهُ عَلَيْهِ وَ سَّلَّمَ، قَالَ : الّظٌّلْمُ ظُلمَا تٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. (رواه البخاري و مسلم)
Abdullah bin ‘Umar meriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw bersabda, “ kezhaliman itu adalah kegelapan pada hari Kiamat.  (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).[5][6]
            Sedangkan membiarkannya adalah  menghinakannya dan membiarkannya diancam musuh atau diperlakukan keji olehnya.
Menolongnya sebagai orang yang berbuat zhalim adalah dengan mencegahnya dari kezhaliman yang ia lakukan. Sabdanya : “ Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya….”, adalah perintah untuk lebih mengutamakan kemashlahatan umum yang menyangkut masalah keuangan, keilmuan atau pengajaran kesopanan. Pernyataan diatas menegaskan kembali bahwa waktu yang dipergunakan seseorang untuk mencari nafkah untuk menopang kepentingan orang lain, tidak akan hilang begitu saja. Tetapi yang Maha Kuasa dan Yang Maha Mengetahui, yang memegang segala simpanan langit dan bumi akan selalu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Seseorang yang berusaha memenuhi kebutuhannya dengan jalan memenuhi kebutuhan orang lain, berarti telah mendalami inti makna yang terkandung dalam keumuman firman Allah:
Jika kamu menolong (agama) Allah , Niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.[6][7])Q.S.Muhammad:7)
Sayyid Qutb mengatakan,"Bagaimana orang-orang beriman menolong Allah sehingga mereka menegakkan persyaratan dan mendapatkan apa yang disyaratkan bagi mereka berupa kemenangan dan diteguhkan kedudukan ?" Beliau melanjutkan,"Sesungguhnya mereka memurnikan Allah dalam hati mereka dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu baik syirik yang nyata maupun yang tersembunyi serta tidak menyisakan seseorang atau sesuatu pun bersama-Nya didalam dirinya. Dia menjadikan Allah lebih dicintai dari apapun yang dia cintai dan sukai serta meneguhkan hukum-Nya dalam keinginan, aktivitas, diam, saat sembunyi-sembunyi, terang-terangan maupun saat malunya, maka Allah akan menolongnya dalam diri mereka. Sesungguhnya Allah memiliki syariat dan manhaj kehidupan yang tegak diatas prinsip-prinsip, aturan-aturan, nilai-nilai dan tashawwur khusus bagi seluruh makhluk yang ada maupun bagi kehidupan. Dan pertolongan Allah akan terealisasi dengan menolong syariat dan manhaj-Nya dan berupaya untuk menegakkan hukumnya didalam seluruh kehidupan tanpa kecuali, inilah menolong Allah dalam realita kehidupan.[7][8]
Begitu juga dengan sabda Rasulullah berikutnya “ Barangsiapa yang meringankan kesedihan dari seorang Muslim….” Ini adalah anjuran untuk mencegah segala bentuk bencana yang hendak menancapkan kukunya di tanah kaum muslimin dalam kehidupan dunia ini.  Secara garis besar Anda berusaha untuk saudara-saudara Anda demi menghindarkan mereka dari  musibah atau paling tidak memperkecil musibah yang menimpanya.  Sebagai balasannya Allah memberikan jaminan bahwa kelak di hari Kiamat Allah akan mengangkat kesedihannya , dimana kesediahan pada hari Kiamat itu adalah kesediahan yang sangat menyakitkan karena sebelumnya tidak terbayangkan bentuk kesedihan itu lantaran kesedihan itu di dunia tidak ada bandingannya. [8][9]
Sedangkan bunyi hadits selanjutnya : “ Barangsiapa menutup  (aib) seorang muslim..” , adalah sebuah perintah untuk menutupi segala kekurangan saudaranya sesama Muslim , bila mengetahuinya . Zhahir dari pernyataan ini dapat ditangkap bahwa menutupi kekurangan itu menyangkut segaala bentuk kekurangan baik yang kecil ataupun besar yang memang sudah semestinya dijatuhi hukuman . Para ulama menjelaskan lebih rinci tetang hal ini : Jika ada seorang yang melihat orang lain tengah melakukan perbuatan dosa yang nantinya dikhawatirkan dapat membuka jalan kearah kemungkaran maka ia harus mencegahnya bagaimanapun caranya. Karena bila hanya didiamkan , maka ia telah terhitung berdosa lantaran tidak bernahi mungkar, sehingga pada waktu itu ia diibaratkan sebagai orang yang membantu seseorang melakukan tindakan dosa.  Firman Allah :
 Wahai orang-orang beriman janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan  (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan(mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qolaid (hewan kurban yang diberi tanda) dan jangan (pula) menganggu orang-orang yang mengunjungi baitul haram; mereka mencari karunia dan keridhoan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian (mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka)     . Dan tolong-menolonglah kamu (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Alllah sangat berat siksa-Nya.” (Q.S Al-Ma’idah:2)
Masalahnya akan menjadi lain bila perbuatan dosa itu baru ia ketahui setelah semuanya terjadi. Bila ternyata yang berbuat itu diketahui dari golongan orang-orang yang sudah identik dengan dosa , maka ia berkewajiban menyampaikan hal itu kepada penguasa setempat, dikhawatirkan nanti dari perbuatan seeorang saja akan berkembang menjadi sebuah kerusakan yang menyeluruh.[9][10]
B.     Memelihara Silaturahmi (Al-Lu’lu’ Wal Marjan : 1657)
a)      Teks Hadist
حَدِيْث انس بن ما لك رضي الله عنه , قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : من سره ان يبسط له رزقه, أو ينسا له في أثره, فليصل رحمه
b)     Terjemahan :
Anas bin Malik ra berkata, “ Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘ Siapapun yang ingin diluaskan rezekinya dan dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambung silaturahmi.’” ( HR Bukhari dan Muslim ).[10][18]
c)      Uraian :
Secara bahasa silaturahmi berasal dari kata shilah ar-rahim, shilah dan ar-rahim. Kata shilah berasal dari washala-yashilu-wasl(an)wa shilat(an), artinya adalah hubungan. Adapun ar-rahim atau ar-rahm, jamaknya arhâm, yakni rahim atau kerabat. Asalnya dari ar-rahmah (kasih sayang); ia digunakan untuk menyebut rahim atau kerabat karena orang-orang saling berkasih sayang, karena hubungan rahim atau kekerabatan itu. Rahim (sanak saudara) adalah setiap orang yang ada di antara kamu dan ada hubungan kerabat. [11][19]
Dalam kitab An-Nihayah di ulang-ulang dalam hadist sebutan silaturahim itu adalah sindirin  dari berlaku baik terhadap orang-orang yang terdekat dari orang-orang yang mempunyai hubungan keturunan, yang bersifat kasih sayang terhadap mereka, lemah lembut terhadapnya, dan pemeliharaan keadaan mereka : orang yang suka berbuat baik itu tetap bersikap demikian sekalipun orang lain memusuhinya dan berlaku jelek terhadapnya. Lawannya adalah pemutusan hubungan silaturahmi.[12][20]
Kata “يبسط “ diubah bentuknya dari ma’lum (kata kerja aktif dan pasif) yang maksudnya : Allah memurahkan baginya rezekinya . Lalu kata “ ان ينسا ” sama ketentuannya dengan yang diatas (yaitu diubah dari aktif menjadi pasif ), yang berarti Allah memperpanjang baginya umurnya (fi atsarihi). Kata “Atsarihi” itu dengan huruf Hamzah, lalu huruf “Tsa” bertitik tiga, kemudian huruf “ Ra’ ” , yang berarti ajalnya . Barangsiapa yang senang diperpanjang umurnya/ajalnya , maka hendaklah dia menyambung hubungan kasih sayangnya dengan keluarganya. [13][21]
Hadist ini juga diperkuat dengan ayat[14][22]:  
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dan memberi pengajaran kepada kalian agar dapat mengambil pelajaran.” ( Q.S An- Nahl : 90 )
            Ahmad meriwayatkan dari Aisyah r.a bersambung sanad-sanadnya hingga Rasulullah Saw. Bersabda :
صلة الرحم و حسن الجوار يعمران الديا ر ويزيدان فى الاعمار
“ Shilaturahmi, dan kebaikan hubungan bertetangga memakmurkan rumah tangga dan menambah umur.”[15][23]
            Hubungan kekeluargaan itu adalah salah satu macam bentuk perbuatan baik, sebagaimana telah ditafsirkan oleh beberapa hal oleh beberapa ulama. Jadi pemutusan silaturahmi itu adalah lawannya, dan itu termasuk meninggalkan perbuatan baik.  Adapun Hadist yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari sabda Rasulullah Saw. : Bukanlah disebut orang yang menyambung kekeluargaan orang yang sudah saling rukun, akan tetapi yang dikatakan orang yang menyambung kekeluargaan itu ialah orang yang sudah putus hubungan lalu dia menyambungnya lagi, maka menurut yang tersurat itu bahwa hubungan dikatakan disambung hanyalah bagi orang yang pernah putus hubungan kekeluargaannya ( putus silatur rahimnya ). Ini berdasarkan fi’il “quthi’at” dengan bentuk pasif ( majhul ), dan itu adalah suatu riwayat.[16][24]
            Kata Ibnu Arabi dalam “ Syarahnya “ : Adapun yang dimaksudkan itu adalah orang yang sempurna dalam hubungan kekeluargaan ; Sedangkan menurut kata At Thibi : Maknanya, bukanlah hakekat  orang yang melampaui batas dengan hubungannya itu terhadap orang yang bersikap baik terhadapnya, dengan perbuatan yang sama, akan tetapi orang yang menyambung hubungan keluarga itu adalah orang yang melebihi sikap baiknya terhadap temannya. [17][25]
C.    Haram Memutus Silaturrahim (Al-Lu’lu’ Wal Marjan: 1659)
a.      Teks Hadist
حَدِيْثُ أَبِيْ أَيُّوْب الْأَنْصَرِيْ, أَنَّ رَسُوْلُ اللَه صلي عليه و سلم قال : لاَ يَحِلُّ لِرِّجَلِ أَنْ يحجر أ خاه فوق ثلاث ليال. يلتقيان, فيعرض هاذا, و يعرض هاذا, ويعرض هاذا. وخيرهما الذي يبدأ بالسلام
b.      Terjemahan
 Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw, “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam. (Jika bertemu) yang ini berpaling dan yang ini juga berpaling, dan sebaik-baik dari keduanya adalah yang memulai salam.”  (HR Bukhari dan Muslim).[18][26]
c.       Uraian
Tidak halal menunjukkan haram. Oleh karena itu haram pemutusan hubungan orang muslim itu  lebih dari tiga hari. Pengertian sebaliknya menunjukkan boleh pemutusan hubungan tiga hari. Hikmah kebolehan pemutusan hubungan selama tiga hari itu ialah karena sesungguhnya condong kepada kemarahan, berakhlak buruk dan semacamnya. Lalu dimaafkan baginya pemutusan hubungan dengan saudaranya selama tiga hari, untuk menghilangkan kemarahan yang timbul karena hal itu akan meringankan manusia dan mencegah hal yang membahayakannya. Rasulullah saw, sudah menafsirkan pengertian “pemutusan hubungan” itu dengan sabdanya : Yaltaqiyah (mereka saling berjumpa) hingga akhirnya. Saling buang muka itu adalah yang biasa terjadi dari keadaan dua orang yang putus hubungan itu pada waktu berjumpa.[19][27]
            Dalam hadist tersebut terdapat petunjuk selesainya pemutusan hubungan baginya dengan menjawab salam. Demikian menurut pendapat mayoritas ulama, imam Malik dan Syafi’i. mereka mengemukakan dalil Hadist yang diriwayatkan oleh At Thabrani dari sanad Zaid bin Wahab paman Ibnu Mas’ud di tengah-tengah matan hadist mauquf. Matan Hadist (yang artinya) : Cara kembali yang baik ialah dia mendatangi temannya lalu dia memberi salam kepadanya.[20][28]
            Adapun pemutusan hubungan lebih dari tiga hari, maka menurut Ibnu Abdil Barri : Ulaa sudah sepakat (ijma’) bahwa tidak boleh pemutusan hubungan lebih dari tiga hari tiga malam. Terkadang putus hubungan secara baik baik itu lebih baik daripada saling bergaul yang menyakitkan hati teman.[21][29]
            Rasulullah Saw bersabda
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللَهِ صَلَّي اللَهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ , فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ.                                                           
 Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “tidak halal bagi seorang Muslim untuk memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari. Barangsiapa memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari lalu mati, niscaya ia masuk ke neraka.” (HR. Abu Dawud).[22][30]













BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
  1. Muslim yang satu dan yang lainnya adalah bersaudara .  Tidak layak seseorang  menyakiti saudaranya sendiri. Orang yang membahagiakan saudaranya di dunia, kelak di akhirat Allah akan menghilangkan kesedihannya.  Semua kebaikan adalah sedekah, tak perlu berpikir banyak untuk melakukan kebaikan, dengan membahagiakan saudara kita sendiri itu adalah lebih baik bagi kita.
  2. Memutus tali Shilaturahim dilarang oleh Rasul karena mengakibatkan pertengkaran diantara keluarga, sanak saudara ataupun kepada teman yang tidak ada kaitannya dengan keluarga. Memutus silaturahim merupakan perbuatan yang melampaui batas dan menyambungnya kembali akan membuat erat shilatur Rahim itu sendiri. Bagi yang ingin di panjangkan umurnya dan di luaskan rezekinya maka sambunglah shilatur Rahim tersebut, namun yang dimaksud dengan panjang umur disini ialah tidak adanya kerusakan dari orang-orang yang berbuat baik itu dalam pemahamannya dan akalinya ( pengertiannya ).
  3. Salah satu ciri dari terputusnya hubungan silaturahim adalah jika seseorang bertemu dengan saudaranya, keduanya akan saling memalingkan wajah. Diperbolehkan untuk tidak tegur sapa dengan saudara dalam waktu tiga hari karena rusaknya hubungan silaturahim, sehingga ia dapat menghilangkan kemarahan yang timbul dalam dirinya terhadap saudaranya.
B.     Saran
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan tentunya masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu penyusun berharap kepada para pembaca untuk bersedia memberikan kritik ataupun saran yang sifatnya konstruktif agar bisa lebih baik lagi dalam menyusun makalah yang serupa dimasa yang akan datang.



[1][2] Ibid,.h.64
[2][3] Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani.Fathul Baari,(Yogyakarta: Darul Ilmi,2000).,h.118                                                                                                                                                 
[3][4] [3][4] Ibid.,h.118
[4][5] Abdul Qadir Ahmad Atha’.,Op.Cit.h.64
[5][6] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi.,Op.Cit.h.1119
[6][7] Abdul Qadir Ahmad Atha’,Op.Cit.,h.64
[7][8] Sayyid Quthb, Fi zilalil Qur’an,(Jakarta: Robbani Press, 2008)..jilid.11.h.340
[8][9] Abdul Qadir Ahmad Atha’.,Op.Cit.,h.65
[9][10] Ibid.,h.66
[10][18] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi.Op.Cit.h.1114
[11][19] Ash. Shan’ani ,Op.Cit.h.67
[12][20] ‘Izzudin Baliq,Minhajul Muslimin,( Semarang: Daarul Ihya Indonesia,1985),.h.871
[13][21] Ash. Shan’ani ,Op.Cit.,h. 680
[14][22] Maulana Muhammad Yusuf al-Kandahlawi, Muntakhab A Hadits,(Jakarta: Ash-Shaff, 2007).,h.488

[15][23]Ash. Shan’ani ,Op.Cit.,h. 681

[16][24] Ibid.,h.682
[17][25] Ibid.,h.683
[18][26] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi,Op.Cit.,h.1115
[19][27] Ibid.,h.684
[20][28] Ibid.,h.685
[21][29] Ibid.,h.686
[22][30] Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi .,Op.Cit.,h.524
 


0 Komentar untuk "makalah hadits persaudaraan (adabun Nabi)"
Back To Top