BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Emosi
Kata emosi berasal dari
bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini
menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Beberapa
tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut
Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow
(sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB
Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan),
Rage(kemarahan), Love (cinta).
Istilah “Kecerdasan Emosional” pertama kali
dilontarkan pada tahun 1990 oleh dua orang psikolog yakni Peter Salovey dan
John Mayer . Daniel Goleman, emosi adalah suatu perasaan dan
fikiran yang khas, keadaan psikologis dan biologis yang merupakan
dorongan untuk bereaksi atau bertindak karena ada nya rangsangan baik dari
dalam maupun dari luar individu, dimana hal tersebut bisa berupa; marah, sedih,
bahagia, takut, jengkel, malu, terkejut, cinta, benci, puas yang secara
keseluruhan merupakan respon atas stimulus yang di terima. Emosi merupakan komponen paling penting dalam
bahasan psikologi. Emosi masuk dalam komponen afektif manusia. Emosi merupakan
pusat penggerak di samping motivasi, yang mendasari manusia bertingkah laku.
Menurut Crow & crow (1958)
(dalam Sunarto, 2002:149) emosi adalah “An emotion, is an affective
experience that accompanies generalized inner adjustment and mental
physiological stirred up states in the individual, and that shows it self in
his overt behavior.”
Seperti yang telah diuraikan diatas,
bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.
Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau
bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics
pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup
yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan
kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan;
nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu
dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi.
Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan
mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 :
xvi).
Schönpflug/Schönpflug (1983)
menandai keadaan tergugah tersebut melalui beberapa hal yaitu: (1) pengalaman
subjektif individu yang mengalami, (2) ekspresi verbal, (3) ekspresi nonverbal,
(4) kegiatan individu yang terlihat, dan (5) aktivitas fisiologis. Kelima hal
tersebut akan menyatu dalam keadaan individu tergugah yang disebut aktivasi.
Atkinson et al. (1996) memaparkan
lebih spesifik bahwa emosi terdiri atas beberapa komponen yang tidak
terpisahkan satu sama lain, yaitu: (1) pengalaman subjektif tentang emosi, (2)
respon tubuh internal terutama yang berkaitan dengan sistem saraf otonom, (3)
segi kognisi dari emosi dan situasi yang berkaitan dengan emosi, (4) ekspresi
wajah, (5) reaksi emosi, dan (6) kecenderungan bertindak.
Jadi,
kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang
manusiawi, kecerdasan emosi menuntut pemilikan perasaan, untuk belajar
mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya
dengan terpat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan
sehari-hari.
B.
Kondisi Emosional
Berdasarkan
aktivitasnya, tingkah laku emosional dapat dibagi menjadi empat macam,yaitu:
(1)Marah, orang
bergerak menentang sumber frustasi
(2)Takut,orang
bergerak meninggalkan sumber frustasi
(3)Cinta, orang
bergerak menuju sumber kesenangan
(4)Depresi,orang
menghentikan resfons-resfons terbukanya dan mengalihkan emosi kedalam dirinya
sendiri (Mahmud,1990:167).
Dari hasil penelitiannya, John B.
Watson (dalam Mahmud, 1990) menemukan bahwa tiga dari keempat respons emosional
tersebut terdapat pada anak-anak, yaitu:
ü Takut
Pada dasarnya, rasa
takut itu bermacam-macam.Ada yang timbul karena anak kecil sering ditakut-takuti
atau karena berlakunya berbagai pantangan di rumah. Akan tetapi, ada juga rasa
takut “naluriah” yang terpendam dalam hati sanubari setiap insan .seperti, rasa
takut akan kegelapan , takut berada di tempat sepi tanpa teman atau yang
lainnya.
ü Marah
Pada umumnya, luapan
kemarahan lebih sering terlihat ketimbang rasa takut.kemarahan selalu kita
lihat berhubungan dengan keadaan tertentu.kemarahan bisa juga timbul
sehubungan dengan keadaan yang sebetulnya tidak lazim untuk menimbulkan
kemarahan.
Kemarahan merupakan
emosi yang amat sukar untuk menerima dan mengungkapkannya. Rasamarah merupakan
menunjukkan bahwa perasaan kita tersinggung oleh seseorang, bahwa seseorang
sudah tidak baik. Pada waktu kita tidak mau mengakui perasaan marah atau tidak
mau mengungkapkannya, perasaan marah itu mengumpal atau berkumpul.jika kita
memendamnya, perasaan marah itu lama kelamaan akan menghilangkan tenaga
dan semangat kita, dan perasaan itupun akan meledak dan membuat kita sendiri
dan orang lain terkejut. Perasaan marah merupakan bagian dari kemanusiaan
kita,dan bagian dari lelasi kita dengan orang lain.
ü Cinta
Cinta merupakan emosi
yang membawa kebahagiaan yang terbesar dan perasaan puas yang sangat dalam.
Perasaan cinta dapat dialami secara mendalam dan mempengaruhi hidup kita. apa
yang disebut dengan “jatuh cinta” menggambarkan apa yang dialami seseorang
ketika sedang dikuasai emosi cinta yang hebat.
Biehler (1972)
membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu 12-15 tahun
dan usia 15-18 tahun.
Ciri- ciri
emosional remaja berusia 12-15 tahun:
1. Pada
usia ini seorang siswa /anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
2. Siswa
mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya
diri.
3. Ledakan-ledakan
kemarahan mungkin bias terjadi.
4. Seorang
remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya
sendiri.
5. Siswa-siswa
di SMP mulai mengamati guru-guru dan orang tua mereka.
Ciri-ciri
emosional remaja usia 15-18 tahun
1. Pemberontakan
remaja merupakan pernyataan-pernyataan dari perubahan yang universal dari masa
kanak-kanak ke dewasa.
2. Karena
bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja mengalami konflik dengan orang
tuanya.
3. Sering
melamun memikirkan masa depan.
C.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
Goleman
(1997) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
individu yaitu: (a) Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah
pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat
masih bayi melalui ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa
anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan
emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian
hari. (b) Lingkungan non keluarga. Hal ini yang terkait adalah lingkungan
masyarakat dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan
perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam
suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi
yang menyertai keadaan orang lain (Goleman, 1997)
Menurut
Le Dove (Goleman, 1997) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
antara lain: (a) Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling
berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya.
Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut
juga neo konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi
emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang
menentukan kecerdasan emosi seseorang. (1) Konteks. Bagian ini berupa bagian
berlipat-lipat kira-kira 3 milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam
otak. Konteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis
mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk
mengatasinya. Konteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar
peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu. (2)
System limbic. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh
didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan
emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya
proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu ada amygdala
yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak. (b) Psikis.
Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat
dipupuk dan diperkuat dalam diri individu.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang
yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di bagian otak yaitu
konteks dan sistem limbic, secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan
lingkungan non keluarga.
Menurut
Dinkmeyer (1965) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak adalah
faktor kondisi fisik dan kesehatan, tingkat intelegensi, lingkungan sosial, dan
keluarga. Anak yang memiliki kesehatan yang kurang baik dan sering lelah cenderung
menunjukkan reaksi emosional yang berlebihan. Anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang menerapkan disiplin yang berlebihan cenderung lebih emosional.
Pola asuh orang tua berpengaruh terhadap kecerdasan emosi anak dimana anak yang
dimanja, diabaikan atau dikontrol dengan ketat (overprotective) dalam keluarga
cenderung menunjukkan reaksi emosional yang negatif (Dinkmeyer, 1965).
Dari factor gen dan lingkungan
tersebut kesempatan belajar merupakan faktor yang lebih penting. Karena belajar
merupakan sesuatu yang positif dan sekaligus merupakan tindakan preventif.
Maksudnya adalah bahwa apabila reaksi emosional yang tidak diinginkan
dipelajari, kemudian membaur kedalam pola emosi anak, akan semakin sulit
mengubahnya dengan bertambah usia anak, bahkan reaksi emosional tersebut akan
tertanam kukuh pada masa dewasa dan untuk mengubahnya diperlukan bantuan ahli.
Menurut Goleman (Nggermanto, 2002),
kecerdasan emosi dapat dikembangkan, lebih menantang, dan lebih prospek
dibandingkan kecerdasan akademik sebab kecerdasan emosi memberi kontribusi
lebih besar bagi kesuksesan seseorang. Menurut Agustian (2007) faktor-faktor
yang berpengaruh dalam peningkatan kecerdasan emosi yaitu:
a.
Factor
psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam
diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola,
mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar
termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan
emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional. Bagian otak
yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam
hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan
impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan
puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga
mampu mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya
yaitu puasa sunah Senin
Kamis.
b.
Factor
pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan
menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan
pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi
emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan.
Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan,
keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan
begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan
hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang
jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
c.
Factor
pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu
untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai
bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan
tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Sistem
pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik
saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama
sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk
pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik
individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan
mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi,
sebagai bagian dari
0 Komentar untuk "makalah kecerdasan emosi"