Blog pribadi berisi tips dan cara, serta Tugas" Kuliah

Insa Alloh Kami Dapat Membantu

Insa Alloh Kami Dapat Membantu

makalah ijtihad



BAB I
 PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Allah SWT telah menurunkan agama Islam kepada umat manusia dengan perantaraan nabi-Nya Muhammad SAW. Agama Islam yang merupakan agama universal mengandung aturan-aturan hukum yang langsung dari Allah SWTagar manusia selamat, baik di dunia maupun di akherat. Agama (Islam) beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad Saw.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Qur’an dikenal dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu Pada masa Rasulullah SAW, segala permasalahan yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan demikian, jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat final. Pada masa ini, sumber hukum yang digunakan adalah dua, yaitu al-Qur’andan Hadits Nabi yang merupakan empirisasi. Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, meluasnya wilayah kekuasaan Islam, rihlahnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya sahabat yang syahid di medan laga, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum. Terkadang, masalah (hukum) yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat mengenal teknik Nabi berijtihad
Setelah periode sahabat berlalu, pemecahan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya; maslahah-mursalah atau istishlah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas (Imam Syafi’i), istishab (Imam Ahmad bin Hambal) serta lainnya.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa dan bagaimana ijtihad?
b.      Apa dan bagaimana istihsan?
c.       Apa dan bagaimana istishab?
d.      Apa dan bagaimana maslahah?
C.    Tujuan Penulisan
a.       Untuk mengetahui tentang ijtihad
b.      Untuk mengetahui tentang istihsan
c.       Untuk mengetahui tentang istishab
d.      Untuk mengetahui tentang maslahah




















BAB II
PEMBAHASAN

1.      IJTIHAD
a.      Pengertian Ijtihad
Secara bahasa, kata ijtihad berasal dari kata jahada dengan mengikuti wazan ifti’al yang menunjukan arti mubalaghoh (berlebih) dalam perbuatan, yaitu “mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan”. Sedangakan secara istilah pengertian ijtihad yang banyak dibicarakan dalam buku ushul fiqh adalah “pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’”. Ijtihad dalam istilah ahli ushul fiqh inilah yang banyak dikenal dalam masyarakat.
Dengan kata lain ijtihad atau jihad intelektual adalah upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi yang baru pula.
Apabila kasus yang hendak diketahui hukumnya telah ada dalil yang sharih (jelas) dan qath’i dari segi sumbernya dan pengertianya yang menunjukan atas hukum syar’inya, maka tidak ada peluang untuk berijtihad di dalamnya. Yang wajib adalah melaksanakan pengertian yang ditunjuki nash tersebut. Sebab sepanjang dalil itu qath’i kedatanganya dan keluarnya dari Allah san Rasul-Nya bukanlah tempat suatu pembahasan dan penumpahan jerih payah.
Pada materi 29 dari Lembaga Struktur Mahkamah Ahliyyah (Mesir) disebutkan, bahwasanya : “Jika tidak ditemukan nash yang jelas dalam undang-undang maka hakim memutuskan sesuai dengan tuntutan keadilan”.
b.      Syarat-syarat Mujtahid
Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para ulama ushul ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu :
a)      Menguasai bahasa arab
Di kalangan ulama ushul telah ada kesepakatan tentang mutlaknya seorang mujtahid mengetahui (menguasai) bahasa arab dengan berbagai aspeknya, seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain. Persyaratan ini sangat penting karena orientasi pertama seorang mujtahid adalah memahami nash-nash Alquran dan hadist yang notabene keduanya berbahasa arab.
 Dalam masalah penguasaan bahasa arab, al-Gazali memberikan batasan tentang kadar yang harus diketahui oleh mujtahid, yakni mampu mengetahui khitab (pembicaraan) bangsa arab dan adat kebiasaan mereka dalam mempergunakan bahasa arab.
b)       Mengetahui nash-nash Alquran
Seorang mujtahid harus mengetahui hukum-hukum syar’iyyah yang terdapat dalam Alquran dan ayat-ayat yang menyebutkan hukum-hukum tersebut, serta cara-cara mengambil atau memetik hukum itu dari ayatnya. Berdasarkan inilah mujtahid mengistimbatkan hukum.
Akan tetapi, apakah seorang mujtahid harus hafal seluruh Alquran yang terdiri atas 30 juz dan 114 surat tersebut? Di kalangan ahli ijtihad terdapat perbedaan pendapat tentang keharusan semacam itu. Imam syafi’i, konon diberitakan sebagai salah satu ulama yang mensyaratkan mujtahid harus hafal seluruh Alquran. Sebagian ulama lain tidak mensyaratkan keharusan semacam itu, akan tetapi menganggap cukup hanya dengan mengetahui ayat-ayat hukum sehingga kapan dan dimana perlu mujtahid dapat merujuk kepadanya. Imam Gazali salah seorang dari kalangan madzab syafi’i yang tidak mensyaratkan mujtahid harus hafal seluruh Alquran.
c)       Mengetahui tentang sunnah
Seorang mujtahid harus mengetahui hukum-hukum syara’ yang disebut oleh sunnah nabi, sekiranya mujtahid mampu menghadirkan sunnah yang menyebutkan hukum pada tiap-tiap bab dari perbuatan mukallaf, mengetahui peringkat sanadnya, dari segi keshahihanya  atau kedhaifanya dalam periwayatan.
Persyaratan ini dipandang penting bagi mujtahid antara lain karena mengingat fungsi hadist (temasukdi dalamnya hadist-hadist hukum) sebagai penjelas (mubayyin) Alquran.
d)      Mengetahui segi-segi qiyas
Mujtahid harus mengetahui tentang ‘illat dan hikmah pembentukan hukm yang karenanya hukum disyari’atkan. Mengetahui jalur-jalur yang dipergunakan oleh Syari’ untuk mengetahui ‘illat hukumnya. Mujtahid juga harus mengetahui terhadap ihwal manusia dan muamalah mereka, sehingga mujtahid dapat mengetahui suatu kasus yang tidak ada nashnya yang terbukti ‘illat hukumnya. Dan juga harus mengetahui tentang kemaslahatan manusia dan adat istiadat mereka, serta suatu yang menjadi perantara kepada kebaikan dan keburukan mereka.
c.       Macam-macam atau tingkatan mujtahid
Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid. Namun, mereka membedakan derajat mujtahid ke dalam beberapa martabat dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah. Beberapa tingkatan mujtahid itu adalah :
Ø  Mujtahid Mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari’at langsung dari sumbernya yang terpokok ( Alquran dan Sunnah) dan dalam mengistimbatkan hukum mujtahid mempunyai dasar-dasar istimbat sendiri, tidak mengikuti istimbat orang lain. Mustahid mustaqil ini lazim disebut dengan istilah mujtahid mutlak.
Ø  Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam mengistimbatkan hukum mengikuti (memilih) ushul istimbat imam madzab tertentu, walaupun dalam masalah-masalah furu’ dia berbeda pendapat dengan imamnya.
Ø   Mujtahid Madzab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzabnya baik dalam masalah ushul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan ijtihad, ijtihadnya terbatas dalam masalah yang ketentuan hukumnya tidak dia peroleh dari imam madzab yang di anutnya.
Ø  Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum asal), akan tetapi dia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang di pandang paling kuat.
Ø  Mujtahid Mustadil, yaitu ulama yang tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada, akan tetapi dia mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangkan mana yang patut dipegang ( di ikuti) tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu.
d.       Contoh ijtihad
v  Ketika keadaan umat Islam sibuk memerangi orang-orang yang pada melalaikan membayar zakat, para qori’ banyak yang meninggal dunia dan Umar khawatir Alquran akan hilang bersama kematian para penghafal Alquran. Maka Abu bakar disarankan agar menulis dan mendewankan Alquran. Beliau menolak saran itu dengan mengatakan : “apakah aku harus melakikan sesuatu yang tidak di kerjakan oleh Rosulullah SAW?” lalu beliau mengutus menghadap Zaid bin Tsabit dan mengemukakan saran Umar tersebut. Seperti halnya Abu Bakar, Zaid pun menghindarinya dan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Abu Bakar. Dalam pertemuan itu Umar mengemukakan alasan bahwa perbuatan seperti itu tidak mengundang bahaya sedikitpun. Bahkan mengandung kebaikan bagi islam dan kaum muslimin sendiri. Akhirnya terjadilah persepakatan dan terus di bentuk panitia yang terdiri atas para penghafal Alquran yang terpercaya untuk melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama.
v  Dalam surat al-maidah: 38 Allah memerintahkan memotong tangan pencuri perempuan dan laki-laki sebagai balasan atas tindakanya menentang hukum Allah. Pada pemerintahan Umar pernah terjadi bahaya kelaparan, sehingga banyak pencuri. Atas keadaan yang demikian itu Umar tidak menghukum pencuri yang tertangkap dengan hukuman had. Karena beliau berpendapat bahwa kemaslahatan yang diharapkan akibat pemberian hukuman tidak akan terealisir beserta adanya bencana kelaparan yang menyeret manusia kepada makan secara tidak halal.
v  Pembatasan umur untuk melangsungkan perkawinan, kitab-kitab fiqh klasik tidak memberikan batasan umur untuk melakukan perkawinan. Tetapi dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan  KHI Pasal 15 Buku I Hukum perkawinan, secara jelas mengatur umur perkawinan untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Ketentuan ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
2.      ISTIHSAN
a.      Pengertian Istihsan
Istihsan dari segi bahasa ialah: berasal dari kata kerja bahasa Arab ٕﻴﺴﺘﺤﺴﻦ  -   ﺍﺴﺘﺤﺴﻦ menjadi  ﺍﺴﺘﺤﺴﺎﻨﺎ  yang berarti mencari kebaikan.
ﻋﺪﺍ ﻠﺸﻲ ﺀ ﺤﺴﻨﺎ ﻮﻫﻮﻤﺸﺘﻖ ﻤﻦ ﺤﺴﻦ
Artinya:
“Sesuatu yang dianggap baik, istihsan itu berasal dari kata “hasana” yang berarti baik atau indah.”
Di kalangan ulama Syafi’iyah, tidak ditemukan definisi istihsan, karena sejak semula mereka tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Dalam masalah ini Imam Syafi’I mengatakan:
ﻤﻦ ﺍ ﺴﺘﺤﺴﻦ ﻔﻘﺪ ﺸﺮﻉ
Artinya:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan, sesungguhnya ia telah membuat-buat syara.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istihsan menurut istilah ulama ushul ialah:
ﺒﺎ ﻨﻪ ﺍ ﻠﻌﺪ ﻮﻞ ﺒﺎ ﻠﻤﺴﺄ ﻠﺔ ﻋﻦ ﺤﻜﻢ ﻨﻈﺎ ﺌﺮﻫﺎ ﺍ ﻠﻰ ﺤﻜﻢ ﺍ ﺨﺮﻠﻮﺠﻪ ﺍ ﻘﻮ ﻰ ﻤﻨﻪ
Artinya:
“Istihsan itu, berpindah dari suatu hukum yang sudah diberikan kepada hukum lain yang sebandingnya karena adanya suatu sebab yang dipandang lebih kuat/baik.”
Imam Al-Ghazali (dari kalangan Syafi’iyah), seperti yang dikemukakan di atas, secara tegas menolak istilah istihsan, tetapi secara substansial ia menerima konsep istihsan tersebut. Dalam kaitannya dengan ini, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa istihsan yang dikemukakan Imam Al-Karakhi (tokoh ushul fiqih Hanafiyyah), ada empat bentuk, yaitu:
1)      Meninggalkan qiyas al-jali dan mengambil qiyas al-kahfi karena ada indikasi yang menguatkannya;
2)      Meninggalkan qiyas karena mengikuti pendapat sahabat;
3)      Meninggalkan qiyas karena ada hadis yang lebih tepat;
4)       Meninggalkan qiyas karena adat kebiasaan (‘urf) menghendakinya.
Dari berbagai definisi istihsan yang dikemukakan ulama mazhab di atas, maka dapat disimpulkan bahwa esensi dari istihsan itu adalah:
v  Menarjih qiyas al-kahfi dari qiyas al-jali, karena ada dalil yang mendukungnya.
v   Memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli atau kaidah umum, didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan:
Ahli ushul dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyah, dan Hanabillah dalam perbedaan definisi istihsan itu, sepakat dalam pengertian yang mendasar tentang istihsan, yaitu:
·         Berpindah dari suatu ketentuan dalam beberapa peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum lain, mendahulukan suatu ketentuan hukum dari ketentuan hukum lain, menyisihkan/ meninggalkan suatu ketentuan hukum mengecualikan sebagian hukum dari ketentuan hukum umum yang mencakupnya, ataupun menakhsiskan sebagian satuan hukum dari hukum umum;
·         Perpindahan dan seterusnya itu, haruslah bersandar pada suatu dalil syara’, baik dari nashnya atau pengertian tersiratnya, atau maslahat ataupun adat kebiasaan.
·         Perpindahan itu kadang-kadang terjadi dari ketentuan hukum nash yang umum, dari ketentuan hukum qiyas dan kadang-kadang dari ketentuan hukum yang menjadi konsekuensi dari penerapan kaidah syara’ yang kulli.
Istihsan menurut istilah ulama ushul yang memegangnya ialah berpindah dari suatu ketentuan hukum yang menjadi konsekuensi dari suatu dalil syara’ terhadap suatu peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum lain terhadapnya, karena adanya dalil syara’ yang juga menuntut perpindahan tersebut, yang disebut sebagai sanad istihsan. Maka sebenarnya istihsan itu adalah mengunggulkan suatu dalil dari dalil yang menentangnya disebabkan adanya murajjih (faktor yang mengunggulkannya) yang diakui.
b.      Dasar-Dasar Istihsan
Dasar-dasar istihsan terdapat dalam Al-Quran dan Hadis Rasulullah SAW., antara lain:
Dasarnya dalam Al-Quran yang artinya:
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 18)
Dasarnya dalam Hadis:
ﻋﻦ ﺃﻨﺲ ﺮﻀﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻘﺎﻞ ׃ ﻘﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻟﻢ ׃ ﺨﻴﺮﺪ ﻴﻨﻜﻢ ﺃﻴﺴﺮﻩ ﻮﺨﻴﺮﺍﻟﻌﺒﺎ ﺪ ﺓ ﺍ ﻟﻔﻘﻪ٠
Artinya:
“Anas RA, berkata, “Rasulullah SAW. Bersabda, ‘Sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya; dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya.” (HR. Ibnu Abdul Barr)
c.       Macam-Macam Istihsan
Suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya di dalam Al-Quran dan Sunah, menurut pendapat mujtahid berdasarkan qiyas ada dua hukumnya yang bertentangan, yang pertama ditunjuk oleh qiyas jalli dan kedua ditunjuk oleh qiyas khafi. Namun, menurut pendapat mujtahid yang ditunjuk oleh qiyas khafi itulah yang lebih kuat karena adanya alasan yang ditemui mujtahid lalu meninggalkan qiyas jalli berpindah pada qiyas khafi itulah yang dinamakan istihsan.
Dari uraian di atas didapatkan bahwa istihsan ada dua macam:
1.      Memindahkan hukum dari qiyas jalli pada qiyas khafi, contohnya
Ø  Dalam ketentuan fiqih bahwa jual-beli tanah pekarangan yang tidak dicantumkan dalam perjanjian tentang hak musil (membuang air), hak syirb (memasukkan air) dan hak murur (hak melintasi tanah milik orang lain) maka semua hak itu tidak termasuk dalam perjanjian jual-beli.
Ø  Kalau terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli mengenai jumlah harga, umpamanya penjual mengatakan Rp 100,00 sedang pembeli menatakan Rp 90,00 maka yang diambil sumpahnya sebagai alat bukti adalah pembeli karena pembeli berada pada posisi yang ingkar terhadap jumlah harga. Berdasarkan qiyas jalli, setiap orang yang ingkar diambil sumpahnya.
Ø  Menurut ketentuan fiqih bahwa air liur binatang buas yang dagingnya haram dimakan, seperti harimau, singa, dan sebagainya termasuk najis.
2.      Perpindahan hukum dari hukum yang bersifat umum pada hukum pengecualian, contohnya:
·         Islam melarang memperjualbelikan sesuatu yang tidak ada pada saat perjanjian dibuat.
·         Menurut ketentuan fiqih bahwa orang yang menerima tidak dapat dituntut untuk mengganti kerugian akibat rusaknya benda yang diamanatkan kecuali disebabkan kesengajaan hingga benda tersebut rusak.
·         Para fuqaha sependapat bahwa orang yang tidak cakap tidak boleh membelanjakan harta kekayaannya sendiri dan kalau ia bertindak maka tindakannya tidak sah. Namun dikecualikan kalau orang yang tidak cakap mewakafkan harta kekayaannya kepada dirinya sendiri berdasarkan istihsan karena ia sendiri yang menikmati manfaat benda yang diwakafkan.
Ulama Hanafiyah membagi istihsan menjadi dua macam, yaitu:
§  Istihsan qiyas; yaitu ada dua illat yang terdapat dalam qiyas yang salah satu darinya dijadikan dasar istihsan karena dipandang lebih baik daripada yang lain.
Contoh:
Burung buas dipandang najis dan haram dimakan dagingnya karena diqiyaskan dengan binatang buas. Karena itu pula air sisa minumannya termasuk najis sebagaimana air sisa minuman binatang buas. Akan tetapi, penetapan istihsan tidak menjadikannya sebagai najis, meskipun air sisa minuman binatang buas tetap dijadikannya najis karena air tersebut dipandang bercampur dengan air liur binatang buas. Ini karena binatang buas minum dengan cara lidahnya yang menjilat air, sedangkan burung buas hanya paruhnya yang menyedot air, sehingga air liurnya tidak tersisa pada air tersebut.
·         Istihsan yang menolak qiyas; yaitu yang bertentangan dengan illa-illat qiyas, yang dapat pula ditinjau dari tiga bagian, yaitu:
·         Istihsan Sunah; yaitu suatu penetapan istihsan yang menolak qiyas karena berdasarkan suatu hadis.
Contoh:
Seseorang yang berpuasa, lalu makan atau minum karena lupa, maka penetapan qiyas mewajibkan berbuka karena disamakan dengan makan atau minum di waktu ia sadar. Namun, penetapan istihsan membolehkan melanjutkan puasanya berdasarkan hadis yang artinya:
“Bersabda Rasulullah SAW., “Barang siapa yang lupa sehingga ia makan atau minum padahal ia berpuasa maka hendaklah ia melanjutkan puasanya; bahwasannya Allah telah memberinya makanan dan minuman.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
3.      Istihsan Ijma’; yaitu suatu penetapan istihsan yang menolak qiyas karena berdasarkan ijma’.
Contoh:
Aqad seseorang yang memesan barang-barang dengan tukangnya tidak sah menurut penetapan qiyas karena disamakan dengan jual-beli yang tidak hadir barangnya. Tetapi istihsan menetapkan sebagai aqad yang sah karena perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat banyak, berarti disepakati kebolehannya.
4.      Istihsan Dharurat; yaitu penetapan istihsan yang bertentangan dengan qiyas karena pertimbangan darurat.
Contoh:
Menjual kotorang binatang hukumnya haram menurut penetapan qiyas karena disamakan dengan haram memakannya. Tetapi penetapan istihsan membolehkannya karena pertimbangan darurat, yaitu dapat memenuhi sebagian kebutuhan yang mendesak dan dapat pula dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk tanaman.
d.      Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian ulama Hanabillah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka kemukakan adalah:
a.       Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185 yang
Artinya:
“…Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu…” (QS. Al-Baqarah: 185)
b.      Rasulullah dalam riwayat Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
ﻤﺎ ﺮﺍ ﻩ ﺍ ﻠﻤﺴﻠﻤﻮﻦ ﺤﺴﻨﺎ ﻔﻬﻮﻋﻨﺪ ﺍ ﷲ ﺤﺴﻦ
Artinya:
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga baik di hadapan Allah.” (HR. Ahmad ibnu Hanbal dari Abdullah bin Mas’ud)
c.       Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadis terdapat berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia.
Adapun istihsan berdasarkan ‘urf dan maslahah, seluruh ulama mazhab menerima ‘urf dan maslahah sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Sedangkan istihsan berdasarkan keadaan darurat, mengandung pengertian melakukan pengecualian hukum terhadap masalah yang sifatnya darurat. Hal ini juga didukung oleh nash dan ijma’, serta diterima oleh seluruh mazhab fiqih.
Imam syafi’i mengingkari istihsan. Perkataan beliau yang terkenal dalam soal ini adalah: “Barang siapa mengakui istihsan, berarti ia telah membuat syari’at.” Imam Syafi’I mendukung pendapat tersebut dengan beberapa dalil berikut ini:
Ø  Istihsan adalah pendapat hawa nafsu. Maka ia bukanlah pokok (dasar bagi hukum-hukum syari’ah.
Ø  Allah berfirman dalam Quran Surat An-Nisa ayat 59, yang menjelaskan kepada kita bahwa Allah menyuruh kita taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya serta kepada Ulil Amri. Dan jika terjadi perselisihan pendapat tentang sesuatu hendaknya dikembalikan kepada Allah yang ada dalam Al-Quran dan kepada Sunnah Rasul-Nya. Sedangkan istihsan dengan pikiran tidaklah mengembalikan kepada Allah dan juga Rasul-Nya.
Ø  Rasulullah SAW dalam membentuk hukum tidak berpegang pada pendapat dan perasaannya. Padahal beliau adalah orang yang mempunyai akal paling tinggi, tetapi beliau dalam menetapkan hukum suatu masalah selalu menanti turunnya wahyu dari langit, baik berupa kitab maupun Sunah.
Ø  Dalam pembentukan hukum, berpegang pada akal dan pikiran saja, akan membuktikan pintu pembentukan hukum bagi orang yang tidak mempunyai keahlian berijtihad yang semata-mata berpegang kepada pendapat dan perasaannya. Dalam hal ini Asy-Syafi’I berkata, “Apakah kalian sudah merasa takut atas banyaknya ahli pikir yang tidak mengetahui ushul daripada mereka yang mengetahui ushul….” (Al-Umm, juz VII, halaman 272).






3.      ISTISHAB
1.      Pengertian Istishab
Istishhab secara etimologi adalah isim masdar dari istashaba yastashhibu istishhaban diambil dari “استفعال من الصّحبة ” yang berarti thalab as-shuhbah atau mencari hubungan atau adanya saling keterkaitan.
Sedangkan istishhab secara terminologi, beberapa ulama mengeluarkan pendapatnya, sebagai berikut:
v  Ibnu Qoyyim Aj-Jauziy mengistilahkan :
استدامة اثبات ما كان ثابتا او نفي ما كان منفيّا
”Tetapnya sebuah ketentuan yang sebelumnya sudah menjadi suatu ketentuan atau tetapnya sebuah larangan yang sebelumnya sudah menjadi larangan.“
v  Imam Asy-Syaukani mengistilahkan :
الاستصحاب هو بقاء الامر ما لم يوجد ما يغيّره
”Tetapnya sesuatu perkara selama tidak ada dalil yang merubahnya.” Istilah ini bisa dipahami dengan makna : apa yang sudah ditetapkan pada masa lalu pada dasarnya merupakan sebagai sebuah ketetapan pula pada masa yang akan datang.”
v  Ibnu Hazm membuat definisi ishtishhab :
الاستصحاب هو بقاء حكم الأصل الثّابت بالنصوص حتّى يقوم الدّليل منها على التّغيير
” Tetapnya hukum asal yang ditetapkan oleh nushush sehingga ada dalil dari nushush tersebut yang merubahnya “
2.      Pembagian Ishtishab
Ada beberapa pendapat ulama mengenai pembagian Istishab, di antaranya berikut ini:
1)      Muhammad Abu Zahroh membagi Istishhab menjadi 4 bagian :
Ø  Istishab al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut : tidak adanya kewajiban melaksanakan syari’at bagi manusia, sehingga ada dalil yang menunjukan dia wajib melaksanakan kewajiban tersebut,. Maka apabila dia masih kecil maka dalilnya adalah ketika dia sudah baligh.
Ø  Ishtishab ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih bisa dipahami yaitu bahwa nash menetapkan suatu hukum dan akal pun membenarkan (menguatkan ) sehingga ada dalil yang menghilangkan hukum tersebut. Seperti dalam contoh : seperti dalam pernikahan bahwa pernikahan itu akan tetap sah ketika belum ada dalil yang menunjukan telah berpisah.
Ø  Istishab al-hukmi bisa dipahami apabila hukum itu menunjukan pada dua terma yaitu boleh atau dilarang, maka itu tetap di bolehkan sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya. Seperti dalam sebuah ayat Allah Swt, berfirman :
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah: 29)
Maka setiap apa yang ada di muka bumi ini pada asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang melarangnya.
Ø  Istishab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu, seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya sifat suci bagi air selama belum ada najis yang merubahnya baik itu warna, rasa atau baunya.
2)      Ibnu Qoyim aj-Jauziy membagi menjadi tiga bagian :
Dua dari tiga pembagian itu sudah tercakup oleh yang dibagi oleh Muhammad Abu Zahrah pada no 1 dan 4, ada satu yang beda yaitu : Ishtishhab hukmi al-Ijma’ fi Mahalli an-Naza’ dimana pada suatu keadaan mereka ( sahabat ) sepakat kemudian keadaan itu berubah, maka hukum yang lama itu selaras dengan keadaan yang baru, sehingga ada dalil yang menunjukan ada hukum yang menghususkan bagi keadaan tersebut.
Seperti : orang yang bertayamum melihat air ketika masih melaksanakan shalat, maka shalatnya tetap sah ditetapkan dengan menggunakan istishhab ijma yang menetapkan sahnya shalatnya orang yang bertayamum sehingga ada dalil bahwa melihat air membatalkan shalatnya orang yang bertayamum.

3.      Dasar Hukum Istishab
1        Dalil Naqli :
a.       Al-Quran
Ayat yang digunakan dalam aplikasi istishab yaitu dengan memperhatikan (istiqra) ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum syara dan itu tetap selama tidak ada dalil yang merubahnya.
Seperti haramnya alkohol di tetapkan oleh al-quran yang menjelaskan haramnya khomer, apabila sudah berubah sifatnya menjadi al-khol ( cuka ) maka itu tidak haram lagi karena sudah hilang sifat memabukannya.
Allah SWT. berfirman:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” ( QS. Al-Ma’idah : 90 )
a.       As-Sunnah
Dari Abi Hurairah Rasulullah Saw. Bersabda : “Apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah keluar meninggalkan mesjid sehingga terdengar suara, atau keluar angin.” ( Hr. Muslim )
b.      Dalil ‘Aqli :
Secara naluriah akal kita bisa menghukumi segala sesuatu boleh atau tidak, ada dan tiada dengan melihat pada asal mulanya. selama belum ada dalil yang mengingkari sebaliknya, maka itu tetap di hukumi seperti asalnya, seperti bahwa manusia terlahir kedunia ini selamanya di sifati hidup sebelum ada bukti yang jelas bahwa dia telah meninggal.
4.      Perbedaan Pendapat Tentang Hujjatul Istishab
Para ahli ushul terbagi menjadi beberapa madzhab madzhab :
Ø  Jumhur diantaranya : malikiyyah, hanabilah, sebagian besar syafi’iyyah, dan sebagian hanafiyyah. Berpendapat bahwa istishhab sebagai hujjah secara mutlaq baik itu nafyi atau itsbat.
Ø  Sebagian syafi’iyyah, sebagian besar hanabilah dan mutakallimin seperti husein al-Bishri. Mereka berpendapat bahwa istishhab bukan hujjah secara mutlak baik itu dalam nafyi atau itsbat.
Ø  Para pengikut hanafiyyah al-mu’ashir mereka berpendapat : bahwa istishhab sebagai hujjah liddaf’I la lil itsbat.
Ø   Al-Baqalani berpendapat bahwa istishhab itu hujjah bagi mujtahid akan tetapi tidak boleh digunakan dalam perkara yang di perdebatkan.
Ø   Abu Ishaq menukil dari Imam Syafi’i berpendapat bahwa istishhab hanya boleh dijadikan sebagai penguat dari dalil, tidak untuk yang lain.
Ø  Abu manshur al-Bagdadi dari sebagian syafi’iyyah berpendapat bahwa mustashhib jika tujuannya melarang apa yang sebenarnya telah dilarang maka itu boleh, akan tetapi bila tujuannya itsbat berbeda dengan pandangan orang yang memungkinkan menggunakan istihhab al-hal dalam melarang maka apa yang di itsbatkannya itu tidak sah ( salah ).
5.      Kaidah-Kaidah Yang Membangun Istishab
a         Al-Qur’an:
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 29)
Maka bisa di ambil sebuah kesimpulan bahwa setiap apa yang ada di muka ini pada asalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya.
b        Hadits Nabi SAW.
Dari Abi Hurairah Rasulullah Saw. Bersabda : Apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah keluar meninggalkan mesjid sehingga terdengar suara, atau keluar angin. (Hr. Muslim)
Atas dasar hadits tersebut, maka apabila seseorang ragu telah buang angin atau tidak, wudhu’nya di anggap belum batal sepanjang ia belum terasanya keluar angina tau mendengar suara.
6.      Aplikasi Ulama Fiqh dengan Istishab
v  Ibnu Abi Laila ( 74-148 H)
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila Al-Anshari seorang Hakim dan Faqih di Kufah pada masa Umayyah sampai Abbasiyah beliau adalah orang yang berfatwa dengan ra’yu sebelum Abu Hanifah
Ibnu Qudamah meriwayatkan bahwasanya Abu Laila berkata tidak ada zakat untuk madu dengan alasan tidak ada dalil yang kuat yang menjelaskan wajibnya zakat madu. Dari sana kita mengetahuai metode pendekatan yang dilakukan oleh Abu Laila adalah dengan cara ishtishhab yaitu al-Bara`ah al-Ashliyah (pada asalnya tidak ada hukum) dalam menetapkan menentukan suatu hukum maka selama tidak ada dalil shahih yang menerangkan wajibnya zakat maka pada madu itu tetap tidak ada wajib zakat.
v  Abu Hanifah ( 81-150 H )
Imam al-Kurkhi dan al-Sarkhosy mengatakan bahwa Abu Hanifah dan pengikutnya ( hanafiyah ) menjadikan sebuah qo’idah sebagai rujukan yaitu ” ma Tsabata bi al-Yaqin la Yazulu bi asy-Syak “ suatu yang ditetapkan dengan yakin tidak bisa hilang dengan suatu yang diragukan.
Seperti yang diriwayatkan dari al-Kurdi : dikisahkan salah seorang datang kepada Abu Hanifah kemudian dia bertanya kepada Abu Hanifah : aku tidak tahu apakah aku sudah menolak istriku atau tidak ? maka Abu Hanifah menjawab : kamu tidak men-talaq istri kamu sehingga, kamu benar-benar yakin telah men-talaqnya.
Dan imam As-Sarkhosy meriwayatkan bahwa imam Abu Hanifah berkata : barang siapa yang ragu apakah dia berhadats maka dia memiliki wudhunya dan apabila ragu apakah punya wudlu atau tidak maka dia adalah berhadats. Dari kedua contoh diatas menunjukan bahwa imam Abu Hanifah mengamalkan kaidah al-Yakin la Yu’aridlu bi as-Syak yang merupakan salah satu kaidah yang selaras dengan methode istishhab.
v  Imam Malik ( 93-179 H )
Dalam kitab al-Mudawwanah dituliskan : imam Malik berkata ” tidak boleh dibagikan harta warisan orang yang hilang sehingga ada kabar tentang kematiannya atau setelah mencapai masa yang tidak mungkin dia masih hidup, maka harta warisan itu dibagikan hari itu yang jadi ditetapkannya bahwa dia sudah meninggal.
Dan imam Malik meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw. : barang siapa ragu dalam jumlah raka’at shalat maka dia harus menetapkan dengan yakin yaitu mengambil yang sedikit.
Akan tetapi kita mendapatkan bahwa imam Malik dalam beberapa masalah beliau berfatwa berbeda dari apa yang telah di tetapkannya dengan methode istishhab yaitu mengambil yang lebih kecil (sedikit ) Imam Sahnun meriwayatkan : aku bertanya ” kalau ada suami yang men-talaq istrinya kemudian dia tidak tahu apakah dia men-talaqnya yang pertama, kedua atau ketiga.Bagaimanakah pendapat malik ? imam Malik menjawab : tidak halal baginya sehingga ada orang lain yang menikahinya terlebih dahulu. Dan pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur yang mengambil yang lebih kecil.
v  Imam Asy-Syafi’i ( 150-204 H )
Imam asy-Syafi’I pernah mengamalkan ishtishhab yaitu beliau pernah berkata : apabila seseorang melakukan perjalanan dan dia membawa air maka dia ragu apakah sudah ada najis yang tercambur dengan air tersebut dengan tidak yakin, maka air itu tetap dalam kesuciannya. Dia boleh berwudhu dan minum dari air tersebut sehingga dia yakin ada najis yang sudah bercampur dengan air tersebut.
Dan imam asy-Syafi’I pernah berkata : kalau seseorang ragu apakah keluar mani atau tidak? Maka dia tidak wajib mandi sehingga dia yakin, akan tetapi dalam menjaga kehati-hatian dianjurkan mandi.
4.      MASLAHAH MURSALAH
a.       Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut bahasa berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan diantaranya :
ü  Imam Ar-Razi mena’rifkan bahwa maslahah mursalah ialah perbuatan yang  bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya. 
ü  Imam Al-ghazali mena’rifkan bahwa maslahah mursalah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak mudarat. 
ü  Menurut Imam Muhammad Hasbih As-Siddiqi, maslahah mursalah ialah memelihara tujuan dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk.
Ketiga ta’rif diatas mempunyai tujuan yang sama yaitu, maslahah mursalah memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih maslahah.
b.      Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
v  Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan.
v  Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh.
v  Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh Syar’i.
v  Maslahah itu bukan maslahah yang tidak  benar.
c.       Macam-Macam Maslahah
a         Maslahah Dharuriah
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
b        Maslahah Hajjiyah
Maslahah hajjiyah adalah semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan.
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalah dan bidang jinayat.
c         Maslahah Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak. Tahsiniyah ini juga masuk dalam lapangan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat.
Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai pakaian-pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga dan terutama oleh agama. 
d.      Kehujjahan dan Objek Maslahah Mursalah
Kehujjahan Maslahah Mursalah
v  Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul diantaranya :
·         Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama-ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Malikiyah, seperti Ibnu Hajib dan ahli zahir.
·         Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama Malik dan sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.
·         Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah, sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.
Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan. Sebagaimana Allah berfirman :
“Tidaklah semata-mata Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk kebaikan seluruh alam”. (Al-Anbiya 107)
v  Objek Maslahah Mursalah
Dengan memperhatikan penjelasan macam-macam maslahah diatas dapat diketahui bahwa lapangan maslahah mursalah selain berlandaskan pada hukum syara’ secara umum, juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lain. Lapangan tersebut merupakan pilihan utama untuk mencapai kemaslahatan. Dengan demikian, segi ibadah tidak termasuk dalam lapangan tersebut.
Yang dimaksud dengan segi peribadatan adalah segala sesuatu yang tidak memberi kesempatan kepada akal untuk mencari kemaslahatan juznya dari setiap hukum yang ada di dalamnya. Di antaranya, ketentuan syari’at tentang ukuran had kifarat, ketentuan waris, ketentuan jumlah bulan dalam iddah wanita yang ditinggal mati suaminya atau diceraikan.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa maslahah mursalah itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar.
e.       Contoh-Contoh Maslahah Mursalah
ü  Tindakan Abu Bakar terhadap orang-orang yang ingkar membayar zakat, itu adalah demi kemaslahatan.
ü  Mensyaratkan adanya surat kawin, untuk syahnya gugatan dalam soal perkawinan.
ü  Menulis huruf Al-Qur’an kepada huruf latin.
ü  Membuang barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya barang, karena ada gelombang besar yang menjadikan kapal oleng. Demi kemaslahatan penumpang dan menolak bahaya.
ü  Dalam Al-Qur’an tidak ada perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari hafalan dan tulisan, tetapi para sahabat melakukannya.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dengan kata lain ijtihad atau jihad intelektual adalah upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi yang baru pula.
v  Untuk menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad.
v  Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para ulama ushul ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu :
a.       Menguasai bahasa arab
b.      Mengetahui nash-nash Alquran
c.       Mengetahui tentang sunnah
d.      Mengetahui segi-segi qiyas
Maslahah mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat) dan memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih maslahah.
Obyek maslahah mursalah berlanddaskan pada hukum syara’ secara umum juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lain. Secara ringkas maslahah mursalah itu juga difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar.
B.     Saran
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, serta masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan kami, makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya pagi para pembaca.
0 Komentar untuk "makalah ijtihad"
Back To Top