BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT
telah menurunkan agama Islam kepada umat manusia dengan perantaraan nabi-Nya
Muhammad SAW. Agama Islam yang merupakan agama universal mengandung
aturan-aturan hukum yang langsung dari Allah SWTagar manusia selamat, baik di
dunia maupun di akherat. Agama (Islam) beserta aturan-aturan (hukum) yang
dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan
Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul
terakhir adalah Muhammad Saw.
Wahyu yang
diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum
yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Qur’an dikenal
dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu Pada masa Rasulullah
SAW, segala permasalahan yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada
beliau. Dengan demikian, jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu
bersifat final. Pada masa ini, sumber hukum yang digunakan adalah dua, yaitu
al-Qur’andan Hadits Nabi yang merupakan empirisasi. Seiring dengan wafatnya
Nabi Muhammad SAW, meluasnya wilayah kekuasaan Islam, rihlahnya para sahabat
Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya sahabat yang syahid di medan laga, maka
umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum. Terkadang, masalah (hukum)
yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan
dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi
tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah
menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala
itu karena para sahabat mengenal teknik Nabi berijtihad
Setelah
periode sahabat berlalu, pemecahan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh
umat Islam tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para
sahabat. Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu
berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an,
as-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama
dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya;
maslahah-mursalah atau istishlah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas
(Imam Syafi’i), istishab (Imam Ahmad bin Hambal) serta lainnya.
B. Rumusan Masalah
a. Apa dan
bagaimana ijtihad?
b. Apa dan
bagaimana istihsan?
c. Apa dan
bagaimana istishab?
d. Apa dan
bagaimana maslahah?
C. Tujuan
Penulisan
a. Untuk
mengetahui tentang ijtihad
b. Untuk
mengetahui tentang istihsan
c. Untuk
mengetahui tentang istishab
d. Untuk
mengetahui tentang maslahah
BAB II
PEMBAHASAN
1. IJTIHAD
a.
Pengertian
Ijtihad
Secara bahasa, kata ijtihad berasal
dari kata jahada dengan mengikuti wazan ifti’al yang
menunjukan arti mubalaghoh (berlebih) dalam perbuatan, yaitu
“mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan”. Sedangakan secara
istilah pengertian ijtihad yang banyak dibicarakan dalam buku ushul fiqh adalah
“pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk
memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’”. Ijtihad dalam istilah ahli
ushul fiqh inilah yang banyak dikenal dalam masyarakat.
Dengan kata lain ijtihad atau jihad
intelektual adalah upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan
di masa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk mengubah aturan tersebut
dengan memperluas atau membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang
sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya
dengan suatu solusi yang baru pula.
Apabila kasus yang hendak diketahui
hukumnya telah ada dalil yang sharih (jelas) dan qath’i dari segi sumbernya dan
pengertianya yang menunjukan atas hukum syar’inya, maka tidak ada peluang untuk
berijtihad di dalamnya. Yang wajib adalah melaksanakan pengertian yang
ditunjuki nash tersebut. Sebab sepanjang dalil itu qath’i kedatanganya dan
keluarnya dari Allah san Rasul-Nya bukanlah tempat suatu pembahasan dan
penumpahan jerih payah.
Pada materi 29 dari Lembaga Struktur
Mahkamah Ahliyyah (Mesir) disebutkan, bahwasanya : “Jika tidak ditemukan nash
yang jelas dalam undang-undang maka hakim memutuskan sesuai dengan tuntutan
keadilan”.
b.
Syarat-syarat
Mujtahid
Adapun syarat-syarat ijtihad yang
hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para ulama ushul ialah syarat-syarat
yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu :
a)
Menguasai
bahasa arab
Di kalangan ulama ushul telah ada
kesepakatan tentang mutlaknya seorang mujtahid mengetahui (menguasai) bahasa
arab dengan berbagai aspeknya, seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain.
Persyaratan ini sangat penting karena orientasi pertama seorang mujtahid adalah
memahami nash-nash Alquran dan hadist yang notabene keduanya berbahasa arab.
Dalam masalah penguasaan bahasa
arab, al-Gazali memberikan batasan tentang kadar yang harus diketahui oleh
mujtahid, yakni mampu mengetahui khitab (pembicaraan) bangsa arab dan adat
kebiasaan mereka dalam mempergunakan bahasa arab.
b)
Mengetahui nash-nash Alquran
Seorang mujtahid harus mengetahui
hukum-hukum syar’iyyah yang terdapat dalam Alquran dan ayat-ayat yang
menyebutkan hukum-hukum tersebut, serta cara-cara mengambil atau memetik hukum
itu dari ayatnya. Berdasarkan inilah mujtahid mengistimbatkan hukum.
Akan tetapi, apakah seorang mujtahid
harus hafal seluruh Alquran yang terdiri atas 30 juz dan 114 surat tersebut? Di
kalangan ahli ijtihad terdapat perbedaan pendapat tentang keharusan semacam
itu. Imam syafi’i, konon diberitakan sebagai salah satu ulama yang mensyaratkan
mujtahid harus hafal seluruh Alquran. Sebagian ulama lain tidak mensyaratkan
keharusan semacam itu, akan tetapi menganggap cukup hanya dengan mengetahui
ayat-ayat hukum sehingga kapan dan dimana perlu mujtahid dapat merujuk
kepadanya. Imam Gazali salah seorang dari kalangan madzab syafi’i yang tidak
mensyaratkan mujtahid harus hafal seluruh Alquran.
c) Mengetahui
tentang sunnah
Seorang mujtahid harus mengetahui
hukum-hukum syara’ yang disebut oleh sunnah nabi, sekiranya mujtahid mampu
menghadirkan sunnah yang menyebutkan hukum pada tiap-tiap bab dari perbuatan
mukallaf, mengetahui peringkat sanadnya, dari segi keshahihanya atau
kedhaifanya dalam periwayatan.
Persyaratan ini dipandang penting bagi mujtahid antara
lain karena mengingat fungsi hadist (temasukdi dalamnya hadist-hadist hukum)
sebagai penjelas (mubayyin) Alquran.
d) Mengetahui
segi-segi qiyas
Mujtahid harus mengetahui tentang
‘illat dan hikmah pembentukan hukm yang karenanya hukum disyari’atkan.
Mengetahui jalur-jalur yang dipergunakan oleh Syari’ untuk mengetahui ‘illat
hukumnya. Mujtahid juga harus mengetahui terhadap ihwal manusia dan muamalah
mereka, sehingga mujtahid dapat mengetahui suatu kasus yang tidak ada nashnya
yang terbukti ‘illat hukumnya. Dan juga harus mengetahui tentang kemaslahatan
manusia dan adat istiadat mereka, serta suatu yang menjadi perantara kepada
kebaikan dan keburukan mereka.
c.
Macam-macam
atau tingkatan mujtahid
Menurut sarjana ushul fiqh, hanya
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang berhak menyandang
predikat mujtahid. Namun, mereka membedakan derajat mujtahid ke dalam beberapa
martabat dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah. Beberapa tingkatan
mujtahid itu adalah :
Ø
Mujtahid
Mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari’at langsung dari
sumbernya yang terpokok ( Alquran dan Sunnah) dan dalam mengistimbatkan hukum
mujtahid mempunyai dasar-dasar istimbat sendiri, tidak mengikuti istimbat orang
lain. Mustahid mustaqil ini lazim disebut dengan istilah mujtahid mutlak.
Ø
Mujtahid
Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam mengistimbatkan hukum mengikuti (memilih)
ushul istimbat imam madzab tertentu, walaupun dalam masalah-masalah furu’ dia
berbeda pendapat dengan imamnya.
Ø
Mujtahid Madzab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam
madzabnya baik dalam masalah ushul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan
ijtihad, ijtihadnya terbatas dalam masalah yang ketentuan hukumnya tidak dia
peroleh dari imam madzab yang di anutnya.
Ø
Mujtahid
Murajjih, yaitu mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi
hukum asal), akan tetapi dia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid
yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang di pandang paling
kuat.
Ø
Mujtahid
Mustadil, yaitu ulama yang tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat
yang ada, akan tetapi dia mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut
dan menerangkan mana yang patut dipegang ( di ikuti) tanpa melakukan tarjih
terlebih dahulu.
d. Contoh ijtihad
v Ketika keadaan umat Islam sibuk memerangi orang-orang
yang pada melalaikan membayar zakat, para qori’ banyak yang meninggal dunia dan
Umar khawatir Alquran akan hilang bersama kematian para penghafal Alquran. Maka
Abu bakar disarankan agar menulis dan mendewankan Alquran. Beliau menolak saran
itu dengan mengatakan : “apakah aku harus melakikan sesuatu yang tidak di
kerjakan oleh Rosulullah SAW?” lalu beliau mengutus menghadap Zaid bin
Tsabit dan mengemukakan saran Umar tersebut. Seperti halnya Abu Bakar,
Zaid pun menghindarinya dan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Abu
Bakar. Dalam pertemuan itu Umar mengemukakan alasan bahwa perbuatan seperti itu
tidak mengundang bahaya sedikitpun. Bahkan mengandung kebaikan bagi islam dan
kaum muslimin sendiri. Akhirnya terjadilah persepakatan dan terus di bentuk
panitia yang terdiri atas para penghafal Alquran yang terpercaya untuk
melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama.
v Dalam surat al-maidah: 38 Allah memerintahkan memotong
tangan pencuri perempuan dan laki-laki sebagai balasan atas tindakanya
menentang hukum Allah. Pada pemerintahan Umar pernah terjadi bahaya kelaparan,
sehingga banyak pencuri. Atas keadaan yang demikian itu Umar tidak menghukum pencuri
yang tertangkap dengan hukuman had. Karena beliau berpendapat bahwa
kemaslahatan yang diharapkan akibat pemberian hukuman tidak akan terealisir
beserta adanya bencana kelaparan yang menyeret manusia kepada makan secara
tidak halal.
v Pembatasan umur untuk melangsungkan perkawinan,
kitab-kitab fiqh klasik tidak memberikan batasan umur untuk melakukan
perkawinan. Tetapi dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan KHI Pasal 15 Buku I Hukum perkawinan, secara jelas
mengatur umur perkawinan untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
Ketentuan ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga.
2. ISTIHSAN
a.
Pengertian
Istihsan
Istihsan dari segi bahasa ialah: berasal dari kata
kerja bahasa Arab ٕﻴﺴﺘﺤﺴﻦ - ﺍﺴﺘﺤﺴﻦ menjadi
ﺍﺴﺘﺤﺴﺎﻨﺎ
yang berarti mencari kebaikan.
ﻋﺪﺍ ﻠﺸﻲ ﺀ ﺤﺴﻨﺎ
ﻮﻫﻮﻤﺸﺘﻖ ﻤﻦ ﺤﺴﻦ
Artinya:
“Sesuatu yang dianggap baik, istihsan itu
berasal dari kata “hasana” yang berarti baik atau indah.”
Di kalangan ulama Syafi’iyah, tidak
ditemukan definisi istihsan, karena sejak semula mereka tidak menerima istihsan
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Dalam masalah
ini Imam Syafi’I mengatakan:
ﻤﻦ ﺍ ﺴﺘﺤﺴﻦ ﻔﻘﺪ
ﺸﺮﻉ
Artinya:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan, sesungguhnya
ia telah membuat-buat syara.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istihsan
menurut istilah ulama ushul ialah:
ﺒﺎ ﻨﻪ ﺍ ﻠﻌﺪ ﻮﻞ
ﺒﺎ ﻠﻤﺴﺄ ﻠﺔ ﻋﻦ ﺤﻜﻢ ﻨﻈﺎ ﺌﺮﻫﺎ ﺍ ﻠﻰ ﺤﻜﻢ ﺍ ﺨﺮﻠﻮﺠﻪ ﺍ ﻘﻮ ﻰ ﻤﻨﻪ
Artinya:
“Istihsan itu, berpindah dari suatu hukum yang
sudah diberikan kepada hukum lain yang sebandingnya karena adanya suatu sebab
yang dipandang lebih kuat/baik.”
Imam Al-Ghazali (dari kalangan Syafi’iyah),
seperti yang dikemukakan di atas, secara tegas menolak istilah istihsan,
tetapi secara substansial ia menerima konsep istihsan tersebut. Dalam kaitannya
dengan ini, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa istihsan yang dikemukakan Imam Al-Karakhi
(tokoh ushul fiqih Hanafiyyah), ada empat bentuk, yaitu:
1)
Meninggalkan qiyas al-jali dan mengambil
qiyas al-kahfi karena ada indikasi yang menguatkannya;
2)
Meninggalkan qiyas karena mengikuti
pendapat sahabat;
3)
Meninggalkan qiyas karena ada hadis yang
lebih tepat;
4)
Meninggalkan qiyas karena adat
kebiasaan (‘urf) menghendakinya.
Dari berbagai definisi istihsan yang
dikemukakan ulama mazhab di atas, maka dapat disimpulkan bahwa esensi dari
istihsan itu adalah:
v Menarjih qiyas
al-kahfi dari qiyas al-jali, karena ada dalil yang mendukungnya.
v Memberlakukan pengecualian hukum juz’i
dari hukum kulli atau kaidah umum, didasarkan pada dalil khusus yang
mendukungnya.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat ditarik
kesimpulan:
Ahli ushul dari kalangan Hanafiyyah,
Malikiyah, dan Hanabillah dalam perbedaan definisi istihsan itu,
sepakat dalam pengertian yang mendasar tentang istihsan, yaitu:
·
Berpindah dari suatu ketentuan dalam beberapa
peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum lain, mendahulukan suatu ketentuan
hukum dari ketentuan hukum lain, menyisihkan/ meninggalkan suatu ketentuan
hukum mengecualikan sebagian hukum dari ketentuan hukum umum yang mencakupnya,
ataupun menakhsiskan sebagian satuan hukum dari hukum umum;
·
Perpindahan dan seterusnya itu, haruslah
bersandar pada suatu dalil syara’, baik dari nashnya atau pengertian
tersiratnya, atau maslahat ataupun adat kebiasaan.
·
Perpindahan itu kadang-kadang terjadi dari
ketentuan hukum nash yang umum, dari ketentuan hukum qiyas dan kadang-kadang
dari ketentuan hukum yang menjadi konsekuensi dari penerapan kaidah syara’ yang
kulli.
Istihsan menurut istilah ulama ushul yang memegangnya
ialah berpindah dari suatu ketentuan hukum yang menjadi konsekuensi dari suatu
dalil syara’ terhadap suatu peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum lain
terhadapnya, karena adanya dalil syara’ yang juga menuntut perpindahan tersebut,
yang disebut sebagai sanad istihsan. Maka sebenarnya istihsan itu
adalah mengunggulkan suatu dalil dari dalil yang menentangnya disebabkan adanya
murajjih (faktor yang mengunggulkannya) yang diakui.
b.
Dasar-Dasar
Istihsan
Dasar-dasar istihsan terdapat dalam
Al-Quran dan Hadis Rasulullah SAW., antara lain:
Dasarnya dalam Al-Quran yang artinya:
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa
yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi
Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar:
18)
Dasarnya dalam Hadis:
ﻋﻦ ﺃﻨﺲ ﺮﻀﻲ ﺍﷲ
ﻋﻨﻪ ﻘﺎﻞ ׃ ﻘﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﷲ
ﺼﻠﻰﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻟﻢ ׃ ﺨﻴﺮﺪ ﻴﻨﻜﻢ ﺃﻴﺴﺮﻩ
ﻮﺨﻴﺮﺍﻟﻌﺒﺎ ﺪ ﺓ ﺍ ﻟﻔﻘﻪ٠
Artinya:
“Anas RA, berkata, “Rasulullah SAW. Bersabda,
‘Sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya; dan sebaik-baik ibadah
adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya.” (HR. Ibnu
Abdul Barr)
c.
Macam-Macam
Istihsan
Suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya
di dalam Al-Quran dan Sunah, menurut pendapat mujtahid berdasarkan qiyas ada
dua hukumnya yang bertentangan, yang pertama ditunjuk oleh qiyas jalli dan
kedua ditunjuk oleh qiyas khafi. Namun, menurut pendapat mujtahid yang
ditunjuk oleh qiyas khafi itulah yang lebih kuat karena adanya alasan yang
ditemui mujtahid lalu meninggalkan qiyas jalli berpindah pada qiyas khafi
itulah yang dinamakan istihsan.
Dari uraian di atas didapatkan bahwa istihsan
ada dua macam:
1.
Memindahkan hukum dari qiyas jalli pada qiyas
khafi, contohnya
Ø Dalam ketentuan
fiqih bahwa jual-beli tanah pekarangan yang tidak dicantumkan dalam perjanjian
tentang hak musil (membuang air), hak syirb (memasukkan air) dan
hak murur (hak melintasi tanah milik orang lain) maka semua hak itu
tidak termasuk dalam perjanjian jual-beli.
Ø Kalau terjadi
perselisihan antara penjual dan pembeli mengenai jumlah harga, umpamanya
penjual mengatakan Rp 100,00 sedang pembeli menatakan Rp 90,00 maka yang
diambil sumpahnya sebagai alat bukti adalah pembeli karena pembeli berada pada
posisi yang ingkar terhadap jumlah harga. Berdasarkan qiyas jalli, setiap orang
yang ingkar diambil sumpahnya.
Ø Menurut
ketentuan fiqih bahwa air liur binatang buas yang dagingnya haram dimakan,
seperti harimau, singa, dan sebagainya termasuk najis.
2.
Perpindahan hukum dari hukum yang bersifat umum
pada hukum pengecualian, contohnya:
·
Islam melarang memperjualbelikan sesuatu yang
tidak ada pada saat perjanjian dibuat.
·
Menurut ketentuan fiqih bahwa orang yang
menerima tidak dapat dituntut untuk mengganti kerugian akibat rusaknya benda
yang diamanatkan kecuali disebabkan kesengajaan hingga benda tersebut rusak.
·
Para fuqaha sependapat bahwa orang yang tidak
cakap tidak boleh membelanjakan harta kekayaannya sendiri dan kalau ia
bertindak maka tindakannya tidak sah. Namun dikecualikan kalau orang yang tidak
cakap mewakafkan harta kekayaannya kepada dirinya sendiri berdasarkan istihsan
karena ia sendiri yang menikmati manfaat benda yang diwakafkan.
Ulama Hanafiyah membagi istihsan menjadi dua
macam, yaitu:
§ Istihsan
qiyas;
yaitu ada dua illat yang terdapat dalam qiyas yang salah satu darinya dijadikan
dasar istihsan karena dipandang lebih baik daripada yang lain.
Contoh:
Burung buas dipandang najis dan haram dimakan
dagingnya karena diqiyaskan dengan binatang buas. Karena itu pula air sisa
minumannya termasuk najis sebagaimana air sisa minuman binatang buas. Akan
tetapi, penetapan istihsan tidak menjadikannya sebagai najis, meskipun air sisa
minuman binatang buas tetap dijadikannya najis karena air tersebut dipandang
bercampur dengan air liur binatang buas. Ini karena binatang buas minum dengan
cara lidahnya yang menjilat air, sedangkan burung buas hanya paruhnya yang
menyedot air, sehingga air liurnya tidak tersisa pada air tersebut.
·
Istihsan yang menolak qiyas; yaitu yang bertentangan
dengan illa-illat qiyas, yang dapat pula ditinjau dari tiga bagian, yaitu:
·
Istihsan Sunah; yaitu suatu penetapan istihsan
yang menolak qiyas karena berdasarkan suatu hadis.
Contoh:
Seseorang yang berpuasa, lalu makan atau minum
karena lupa, maka penetapan qiyas mewajibkan berbuka karena disamakan dengan
makan atau minum di waktu ia sadar. Namun, penetapan istihsan membolehkan
melanjutkan puasanya berdasarkan hadis yang artinya:
“Bersabda Rasulullah SAW., “Barang siapa yang
lupa sehingga ia makan atau minum padahal ia berpuasa maka hendaklah ia
melanjutkan puasanya; bahwasannya Allah telah memberinya makanan dan minuman.” (HR. Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah).
3.
Istihsan Ijma’; yaitu suatu
penetapan istihsan yang menolak qiyas karena berdasarkan ijma’.
Contoh:
Aqad seseorang yang memesan barang-barang
dengan tukangnya tidak sah menurut penetapan qiyas karena disamakan dengan
jual-beli yang tidak hadir barangnya. Tetapi istihsan menetapkan sebagai aqad
yang sah karena perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat banyak, berarti
disepakati kebolehannya.
4.
Istihsan Dharurat; yaitu
penetapan istihsan yang bertentangan dengan qiyas karena pertimbangan darurat.
Contoh:
Menjual kotorang binatang hukumnya haram
menurut penetapan qiyas karena disamakan dengan haram memakannya. Tetapi
penetapan istihsan membolehkannya karena pertimbangan darurat, yaitu dapat
memenuhi sebagian kebutuhan yang mendesak dan dapat pula dimanfaatkan oleh
petani sebagai pupuk tanaman.
d.
Kehujjahan
Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh
dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan
hukum syara’.
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan
sebagian ulama Hanabillah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan
hukum syara’. Alasan mereka kemukakan adalah:
a.
Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan
kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 185 yang
Artinya:
“…Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan
tidak menghendaki kesukaran bagi kamu…” (QS. Al-Baqarah: 185)
b.
Rasulullah dalam riwayat Abdullah ibn Mas’ud
mengatakan:
ﻤﺎ ﺮﺍ ﻩ ﺍ
ﻠﻤﺴﻠﻤﻮﻦ ﺤﺴﻨﺎ ﻔﻬﻮﻋﻨﺪ ﺍ ﷲ ﺤﺴﻦ
Artinya:
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam,
maka ia juga baik di hadapan Allah.” (HR. Ahmad ibnu Hanbal dari Abdullah bin Mas’ud)
c.
Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadis
terdapat berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan
hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi
umat manusia, sedangkan syari’at islam ditujukan untuk menghasilkan dan
mencapai kemaslahatan manusia.
Adapun istihsan berdasarkan ‘urf
dan maslahah, seluruh ulama mazhab menerima ‘urf dan maslahah
sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Sedangkan istihsan berdasarkan
keadaan darurat, mengandung pengertian melakukan pengecualian hukum terhadap
masalah yang sifatnya darurat. Hal ini juga didukung oleh nash dan ijma’, serta
diterima oleh seluruh mazhab fiqih.
Imam syafi’i mengingkari istihsan. Perkataan
beliau yang terkenal dalam soal ini adalah: “Barang siapa mengakui istihsan,
berarti ia telah membuat syari’at.” Imam Syafi’I mendukung pendapat
tersebut dengan beberapa dalil berikut ini:
Ø Istihsan adalah
pendapat hawa nafsu. Maka ia bukanlah pokok (dasar bagi hukum-hukum syari’ah.
Ø Allah berfirman
dalam Quran Surat An-Nisa ayat 59, yang menjelaskan kepada kita bahwa Allah
menyuruh kita taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya serta kepada Ulil Amri. Dan
jika terjadi perselisihan pendapat tentang sesuatu hendaknya dikembalikan
kepada Allah yang ada dalam Al-Quran dan kepada Sunnah Rasul-Nya. Sedangkan
istihsan dengan pikiran tidaklah mengembalikan kepada Allah dan juga Rasul-Nya.
Ø Rasulullah SAW
dalam membentuk hukum tidak berpegang pada pendapat dan perasaannya. Padahal
beliau adalah orang yang mempunyai akal paling tinggi, tetapi beliau dalam
menetapkan hukum suatu masalah selalu menanti turunnya wahyu dari langit, baik
berupa kitab maupun Sunah.
Ø Dalam
pembentukan hukum, berpegang pada akal dan pikiran saja, akan membuktikan pintu
pembentukan hukum bagi orang yang tidak mempunyai keahlian berijtihad yang
semata-mata berpegang kepada pendapat dan perasaannya. Dalam hal ini
Asy-Syafi’I berkata, “Apakah kalian sudah merasa takut atas banyaknya ahli
pikir yang tidak mengetahui ushul daripada mereka yang mengetahui ushul….”
(Al-Umm, juz VII, halaman 272).
3.
ISTISHAB
1.
Pengertian Istishab
Istishhab secara etimologi adalah isim masdar
dari istashaba yastashhibu istishhaban diambil dari “استفعال من الصّحبة ” yang berarti thalab as-shuhbah
atau mencari hubungan atau adanya saling keterkaitan.
Sedangkan istishhab secara terminologi,
beberapa ulama mengeluarkan pendapatnya, sebagai berikut:
v Ibnu Qoyyim
Aj-Jauziy mengistilahkan :
استدامة اثبات
ما كان ثابتا او نفي ما كان منفيّا
”Tetapnya sebuah ketentuan yang sebelumnya
sudah menjadi suatu ketentuan atau tetapnya sebuah larangan yang sebelumnya
sudah menjadi larangan.“
v Imam
Asy-Syaukani mengistilahkan :
الاستصحاب هو
بقاء الامر ما لم يوجد ما يغيّره
”Tetapnya sesuatu perkara
selama tidak ada dalil yang merubahnya.” Istilah ini bisa dipahami dengan makna
: apa yang sudah ditetapkan pada masa lalu pada dasarnya merupakan sebagai
sebuah ketetapan pula pada masa yang akan datang.”
v Ibnu Hazm
membuat definisi ishtishhab :
الاستصحاب هو
بقاء حكم الأصل الثّابت بالنصوص حتّى يقوم الدّليل منها على التّغيير
” Tetapnya
hukum asal yang ditetapkan oleh nushush sehingga ada dalil dari nushush
tersebut yang merubahnya “
2.
Pembagian
Ishtishab
Ada beberapa pendapat
ulama mengenai pembagian Istishab, di
antaranya berikut ini:
1)
Muhammad Abu Zahroh
membagi Istishhab menjadi 4 bagian :
Ø Istishab
al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut :
tidak adanya kewajiban melaksanakan syari’at bagi manusia, sehingga ada dalil
yang menunjukan dia wajib melaksanakan kewajiban tersebut,. Maka apabila dia
masih kecil maka dalilnya adalah ketika dia sudah baligh.
Ø Ishtishab
ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih bisa dipahami yaitu bahwa nash menetapkan suatu
hukum dan akal pun membenarkan (menguatkan ) sehingga ada dalil yang
menghilangkan hukum tersebut. Seperti dalam contoh : seperti dalam pernikahan bahwa
pernikahan itu akan tetap sah ketika belum ada dalil yang menunjukan telah
berpisah.
Ø Istishab
al-hukmi bisa
dipahami apabila hukum itu menunjukan pada dua terma yaitu boleh atau dilarang,
maka itu tetap di bolehkan sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara
yang diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya. Seperti dalam sebuah ayat
Allah Swt, berfirman :
uqèd
“Ï%©!$#
šYn=y{
Nä3s9
$¨B
’Îû
ÇÚö‘F{$#
$YèŠÏJy_
§NèO
#“uqtGó™$#
’n<Î)
Ïä!$yJ¡¡9$#
£`ßg1§q|¡sù
yìö7y™
;Nºuq»yJy™
4
uqèdur
Èe@ä3Î
>äóÓx«
×LìÎ=tæ
ÇËÒÈ
Artinya: “Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui
segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah: 29)
Maka setiap apa yang ada
di muka bumi ini pada asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang melarangnya.
Ø
Istishab al-Washfi dipahami dengan menetapkan
sifat asal pada sesuatu, seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang
sehingga ada dalil yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya
sifat suci bagi air selama belum ada najis yang merubahnya baik itu warna, rasa
atau baunya.
2)
Ibnu Qoyim aj-Jauziy membagi menjadi tiga bagian :
Dua dari tiga pembagian itu sudah tercakup oleh yang dibagi oleh Muhammad
Abu Zahrah pada no 1 dan 4, ada satu yang beda yaitu : Ishtishhab hukmi
al-Ijma’ fi Mahalli an-Naza’ dimana pada suatu keadaan mereka ( sahabat )
sepakat kemudian keadaan itu berubah, maka hukum yang lama itu selaras dengan
keadaan yang baru, sehingga ada dalil yang menunjukan ada hukum yang
menghususkan bagi keadaan tersebut.
Seperti : orang yang bertayamum melihat air ketika masih melaksanakan
shalat, maka shalatnya tetap sah ditetapkan dengan menggunakan istishhab ijma
yang menetapkan sahnya shalatnya orang yang bertayamum sehingga ada dalil bahwa
melihat air membatalkan shalatnya orang yang bertayamum.
3.
Dasar Hukum Istishab
1
Dalil Naqli :
a.
Al-Quran
Ayat yang
digunakan dalam aplikasi istishab yaitu dengan memperhatikan (istiqra)
ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum syara dan itu tetap selama tidak ada
dalil yang merubahnya.
Seperti
haramnya alkohol di tetapkan oleh al-quran yang menjelaskan haramnya khomer,
apabila sudah berubah sifatnya menjadi al-khol ( cuka ) maka itu tidak haram
lagi karena sudah hilang sifat memabukannya.
Allah SWT. berfirman:
$pkš‰r'¯»tƒ
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
$yJ¯RÎ)
ãôJsƒø:$#
çŽÅ£øŠyJø9$#ur
Ü>$|ÁRF{$#ur
ãN»s9ø—F{$#ur
Ó§ô_Í‘
ô`ÏiB
È@yJtã
Ç`»sÜø‹¤±9$#
çnqç7Ï^tGô_$$sù
öNä3ª=yès9
tbqßsÎ=øÿè?
ÇÒÉÈ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” ( QS. Al-Ma’idah : 90 )
a.
As-Sunnah
Dari Abi
Hurairah Rasulullah Saw. Bersabda : “Apabila
salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah
keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah keluar meninggalkan mesjid sehingga
terdengar suara, atau keluar angin.” ( Hr. Muslim )
b.
Dalil ‘Aqli :
Secara naluriah
akal kita bisa menghukumi segala sesuatu boleh atau tidak, ada dan tiada dengan
melihat pada asal mulanya. selama belum ada dalil yang mengingkari sebaliknya,
maka itu tetap di hukumi seperti asalnya, seperti bahwa manusia terlahir
kedunia ini selamanya di sifati hidup sebelum ada bukti yang jelas bahwa dia
telah meninggal.
4.
Perbedaan
Pendapat Tentang Hujjatul Istishab
Ø Jumhur
diantaranya : malikiyyah, hanabilah, sebagian besar syafi’iyyah, dan sebagian
hanafiyyah. Berpendapat bahwa istishhab sebagai hujjah secara mutlaq baik itu
nafyi atau itsbat.
Ø Sebagian
syafi’iyyah, sebagian besar hanabilah dan mutakallimin seperti husein
al-Bishri. Mereka berpendapat bahwa istishhab bukan hujjah secara mutlak baik
itu dalam nafyi atau itsbat.
Ø Para pengikut
hanafiyyah al-mu’ashir mereka berpendapat : bahwa istishhab sebagai hujjah
liddaf’I la lil itsbat.
Ø Al-Baqalani berpendapat bahwa istishhab itu
hujjah bagi mujtahid akan tetapi tidak boleh digunakan dalam perkara yang di
perdebatkan.
Ø Abu Ishaq menukil dari Imam Syafi’i
berpendapat bahwa istishhab hanya boleh dijadikan sebagai penguat dari dalil,
tidak untuk yang lain.
Ø Abu manshur
al-Bagdadi dari sebagian syafi’iyyah berpendapat bahwa mustashhib jika
tujuannya melarang apa yang sebenarnya telah dilarang maka itu boleh, akan
tetapi bila tujuannya itsbat berbeda dengan pandangan orang yang memungkinkan
menggunakan istihhab al-hal dalam melarang maka apa yang di itsbatkannya itu
tidak sah ( salah ).
5.
Kaidah-Kaidah
Yang Membangun Istishab
a
Al-Qur’an:
uqèd
“Ï%©!$#
šYn=y{
Nä3s9
$¨B
’Îû
ÇÚö‘F{$#
$YèŠÏJy_
§NèO
#“uqtGó™$#
’n<Î)
Ïä!$yJ¡¡9$#
£`ßg1§q|¡sù
yìö7y™
;Nºuq»yJy™
4
uqèdur
Èe@ä3Î
>äóÓx«
×LìÎ=tæ
ÇËÒÈ
Artinya: “Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui
segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 29)
Maka bisa di ambil sebuah kesimpulan bahwa
setiap apa yang ada di muka ini pada asalnya adalah boleh selama tidak ada
dalil yang melarangnya.
b
Hadits Nabi SAW.
Dari Abi
Hurairah
Rasulullah Saw. Bersabda : Apabila salah seorang diantara kamu merasakan
sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah keluar sesuatu atau tidak, maka
janganlah keluar meninggalkan mesjid sehingga terdengar suara, atau keluar
angin. (Hr. Muslim)
Atas dasar
hadits tersebut, maka apabila seseorang ragu telah buang angin atau tidak,
wudhu’nya di anggap belum batal sepanjang ia belum terasanya keluar angina tau
mendengar suara.
6.
Aplikasi Ulama Fiqh dengan Istishab
v Ibnu Abi Laila ( 74-148 H)
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila Al-Anshari seorang Hakim dan Faqih
di Kufah pada masa Umayyah sampai Abbasiyah beliau adalah orang yang berfatwa
dengan ra’yu sebelum Abu Hanifah
Ibnu Qudamah meriwayatkan bahwasanya Abu Laila berkata tidak ada zakat
untuk madu dengan alasan tidak ada dalil yang kuat yang menjelaskan wajibnya
zakat madu. Dari sana kita mengetahuai metode
pendekatan yang dilakukan oleh Abu Laila adalah dengan cara ishtishhab yaitu
al-Bara`ah al-Ashliyah (pada asalnya tidak ada hukum) dalam menetapkan
menentukan suatu hukum maka selama tidak ada dalil shahih yang menerangkan
wajibnya zakat maka pada madu itu tetap tidak ada wajib zakat.
v
Abu Hanifah ( 81-150 H )
Imam al-Kurkhi dan al-Sarkhosy mengatakan bahwa Abu Hanifah dan pengikutnya
( hanafiyah ) menjadikan sebuah qo’idah sebagai rujukan yaitu ” ma Tsabata bi
al-Yaqin la Yazulu bi asy-Syak “ suatu yang ditetapkan
dengan yakin tidak bisa hilang dengan suatu yang diragukan.
Seperti yang diriwayatkan dari al-Kurdi : dikisahkan salah seorang datang
kepada Abu Hanifah kemudian dia bertanya kepada Abu Hanifah : aku tidak tahu
apakah aku sudah menolak istriku atau tidak ? maka Abu Hanifah menjawab : kamu
tidak men-talaq istri kamu sehingga, kamu benar-benar yakin telah men-talaqnya.
Dan imam As-Sarkhosy meriwayatkan bahwa imam Abu Hanifah berkata : barang
siapa yang ragu apakah dia berhadats maka dia memiliki wudhunya dan apabila
ragu apakah punya wudlu atau tidak maka dia adalah berhadats.
Dari kedua contoh diatas menunjukan bahwa imam Abu Hanifah mengamalkan kaidah al-Yakin
la Yu’aridlu bi as-Syak yang merupakan salah satu kaidah yang selaras
dengan methode istishhab.
v Imam Malik ( 93-179 H )
Dalam kitab al-Mudawwanah dituliskan : imam Malik berkata ” tidak boleh dibagikan
harta warisan orang yang hilang sehingga ada kabar tentang kematiannya atau
setelah mencapai masa yang tidak mungkin dia masih hidup, maka harta warisan
itu dibagikan hari itu yang jadi ditetapkannya bahwa dia sudah meninggal.
Dan imam Malik meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw. : barang siapa
ragu dalam jumlah raka’at shalat maka dia harus menetapkan dengan yakin yaitu
mengambil yang sedikit.
Akan tetapi kita mendapatkan bahwa imam Malik dalam beberapa masalah beliau
berfatwa berbeda dari apa yang telah di tetapkannya dengan methode istishhab
yaitu mengambil yang lebih kecil (sedikit ) Imam Sahnun meriwayatkan : aku
bertanya ” kalau ada suami yang men-talaq istrinya kemudian dia tidak tahu
apakah dia men-talaqnya yang pertama, kedua atau ketiga.Bagaimanakah pendapat
malik ? imam Malik menjawab : tidak halal baginya sehingga ada orang lain yang
menikahinya terlebih dahulu. Dan pendapat
ini bertentangan dengan pendapat jumhur yang mengambil yang lebih kecil.
v Imam
Asy-Syafi’i ( 150-204 H )
Imam asy-Syafi’I
pernah mengamalkan ishtishhab yaitu beliau pernah berkata : apabila seseorang
melakukan perjalanan dan dia membawa air maka dia ragu apakah sudah ada najis
yang tercambur dengan air tersebut dengan tidak yakin, maka air itu tetap dalam
kesuciannya. Dia boleh berwudhu dan minum dari air
tersebut sehingga dia yakin ada najis yang sudah bercampur dengan air tersebut.
Dan imam
asy-Syafi’I pernah berkata : kalau seseorang ragu apakah keluar mani atau
tidak? Maka dia tidak wajib mandi
sehingga dia yakin, akan tetapi dalam menjaga kehati-hatian dianjurkan mandi.
4. MASLAHAH MURSALAH
a. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut bahasa berarti prinsip
kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga
dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Menurut istilah ulama ushul ada
bermacam-macam ta’rif yang diberikan diantaranya :
ü Imam Ar-Razi mena’rifkan bahwa
maslahah mursalah ialah perbuatan yang
bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada
hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta
bendanya.
ü Imam Al-ghazali mena’rifkan bahwa
maslahah mursalah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak mudarat.
ü Menurut Imam Muhammad Hasbih
As-Siddiqi, maslahah mursalah ialah memelihara tujuan dengan jalan menolak
segala sesuatu yang merusak makhluk.
Ketiga ta’rif diatas mempunyai
tujuan yang sama yaitu, maslahah mursalah memelihara tercapainya tujuan-tujuan
syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih maslahah.
b.
Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Syarat-syarat itu adalah sebagai
berikut :
v Maslahah itu harus hakikat, bukan
dugaan.
v Maslahah harus bersifat umum dan
menyeluruh.
v Maslahah itu harus sejalan dengan
tujuan hukum-hukum yang dituju oleh Syar’i.
v Maslahah itu bukan maslahah yang
tidak benar.
c.
Macam-Macam Maslahah
a
Maslahah Dharuriah
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara
yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka
rusaklah kehidupan, merajalelah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran
yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang
merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
b
Maslahah Hajjiyah
Maslahah hajjiyah adalah semua
bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang
ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga
terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan.
Hajjiyah ini tidak rusak dan
terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini
berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalah dan bidang jinayat.
c
Maslahah Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah ialah
mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan
yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak. Tahsiniyah ini juga masuk
dalam lapangan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat.
Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa
termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu melarang wanita-wanita muslimat keluar ke
jalan-jalan umum memakai pakaian-pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan
yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat
banyak pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga
dan terutama oleh agama.
d.
Kehujjahan dan Objek Maslahah
Mursalah
Kehujjahan Maslahah Mursalah
v Dalam kehujjahan maslahah mursalah,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul diantaranya :
·
Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut
ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama-ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Malikiyah,
seperti Ibnu Hajib dan ahli zahir.
·
Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut
sebagian ulama Malik dan sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.
·
Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah,
sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab,
karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan yang
lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.
Diantara ulama yang paling banyak
melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan
Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan.
Sebagaimana Allah berfirman :
“Tidaklah semata-mata Aku mengutusmu
(Muhammad) kecuali untuk kebaikan seluruh alam”. (Al-Anbiya 107)
v Objek Maslahah Mursalah
Dengan memperhatikan penjelasan
macam-macam maslahah diatas dapat diketahui bahwa lapangan maslahah mursalah
selain berlandaskan pada hukum syara’ secara umum, juga harus diperhatikan adat
dan hubungan antara satu manusia dengan yang lain. Lapangan tersebut merupakan
pilihan utama untuk mencapai kemaslahatan. Dengan demikian, segi ibadah tidak
termasuk dalam lapangan tersebut.
Yang dimaksud dengan segi peribadatan adalah segala sesuatu yang
tidak memberi kesempatan kepada akal untuk mencari kemaslahatan juznya dari
setiap hukum yang ada di dalamnya. Di antaranya, ketentuan syari’at tentang
ukuran had kifarat, ketentuan waris, ketentuan jumlah bulan dalam iddah wanita
yang ditinggal mati suaminya atau diceraikan.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa
maslahah mursalah itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam
nash, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang
ada penguatnya melalui suatu I’tibar.
e.
Contoh-Contoh Maslahah Mursalah
ü Tindakan Abu Bakar terhadap orang-orang
yang ingkar membayar zakat, itu adalah demi kemaslahatan.
ü Mensyaratkan adanya surat kawin,
untuk syahnya gugatan dalam soal perkawinan.
ü Menulis huruf Al-Qur’an kepada huruf
latin.
ü Membuang barang yang ada di atas
kapal laut tanpa izin yang punya barang, karena ada gelombang besar yang
menjadikan kapal oleng. Demi kemaslahatan penumpang dan menolak bahaya.
ü Dalam Al-Qur’an tidak ada perintah
untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari hafalan dan tulisan, tetapi para sahabat
melakukannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan kata lain ijtihad atau jihad
intelektual adalah upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan
di masa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk mengubah aturan tersebut
dengan memperluas atau membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang
sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya
dengan suatu solusi yang baru pula.
v
Untuk
menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran
intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk
beluk masalah ijtihad.
v
Adapun
syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para ulama
ushul ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu :
a.
Menguasai
bahasa arab
b.
Mengetahui
nash-nash Alquran
c.
Mengetahui
tentang sunnah
d.
Mengetahui
segi-segi qiyas
Maslahah
mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat) dan
memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih
maslahah.
Obyek maslahah mursalah berlanddaskan
pada hukum syara’ secara umum juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara
satu manusia dengan yang lain. Secara ringkas maslahah mursalah itu juga
difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya
melalui suatu I’tibar.
B. Saran
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih
dalam proses pembelajaran, serta masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan
kami, makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat khususnya bagi
penulis dan umumnya pagi para pembaca.
0 Komentar untuk "makalah ijtihad"