MAKALAH RIBA, BANK, DAN ASURANSI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada dasarnya pengertian mengenai riba, bank dan asuransi sudah sangat familiar di mata masyarakat. Namun sebagian mereka tidak mengetahui pasti kedudukannya dalam hukum islam. Seperti halnya riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt. Sedangkan Bank menurut jumhur ulama’ merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nashnya. Dan ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Karena memang ketetuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw. Termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Oleh sebab itu, agar masyarakat lebih mengetahui dengan pasti mengenai riba, bank, dan asuransi. Maka kami akan menguraikan mengenai kedudukan riba , bank dan asuransi.
1.2 Rumusan masalah
1. Pengertian Riba.
2. Dasar hukum Riba.
3. Macam-macam Riba.
4. Hikmah dilarangnya Riba.
5. Pengertian Bank.
6. Dasar Hukum Bank.
7. Jenis- Jenis Bank.
8. Perbedaan Bank non islam (konvensional) dengan Bank islam.
9. Pengertian Asuransi.
10. Dasar Hukum Asuransi.
11. Jenis-Jenis Asuransi.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar seseorang dapat memahami pengertian Riba, Bank, dan Asuransi.
2. Agar dapat mengetahui apakah dalam transaksi Riba, Bank dan Asuransi, halal atau haram, menurut hukum islam.
3. Mengetahui hikmah dari Riba, Bank dan Asuransi dalam kehidupan sehari – hari.
BAB II
PENDAHULUAN
1. RIBA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Riba
Riba yang berasal dari bahasa arab, artinya tambahan (ziyadah/addition, Inggris), yang berarti: tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Pendapat Al-Jurjani riba adalah kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang di syaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad.
Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan, riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya atau uangnya karena janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
B. Dasar hukum riba
Dasar hukum Hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama. Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi melebihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
. . . إِنَمَا الْبَيْعُ مِثْلَ الرِّبَوا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا
“...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى الصَّدَقَتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ{276}
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. ”
b. Sunnah Rasulullah saw.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَ الرِّبَاوَمَوْ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءُ)متفق عليه)
. . . {275}
“Dari Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim
إِحْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ: قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ: الشِّرْكَ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ)متفق عليه)
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim(
c. Ijma’ para ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha mencari rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah SWT. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
C. Macam-macam Riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat macam, yaitu:
a. Riba Fadl
Riba fadl adalah tukar menukar atau jual beli antara dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak sama ukuranya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya, atau jual beli yang mengandung unsur riba pada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebut riba fadl. Supaya tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka harus ada tiga syarat yaitu:
a. Barang yang ditukarkan tersebut harus sama.
b. Timbangan atau takarannya harus sama.
c. Serah terima pada saat itu juga.
b. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun yang tidak sejenis atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual 1 kg beras dengan 1 ½ kg beras yang dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan inilah yang disebut riba nasi’ah.
عَنْ سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari Samurah bin Jundub, sesungguhnya Nabi saw telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan” (H.R Lima ahli hadist)
c. Riba Qardi
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp.10.000, kemudian Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000. inilah yang disebut riba qardi.
d. Riba yad
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Dasar hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا الرِّبَا فِى النَّسِيْئَةِ)رواه البحارى و مسلم )
“ Tidak ada riba kecuali pada riba nasi ”H.R. Bukhari Muslim
Ada syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
1. Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
a. Serupa timbangan dan banyaknya.
b. Tunai.
c. Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
2. Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
a. Tunai.
b. Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal ini disebabkan karena riba mempunyai bahaya yang sangat berat. Diantaranya adalah:
1. Dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat kerja sama atau saling tolong-menolong, membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, serta yang mengeksploitasi.
2. Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras, dan penimbunan harta di salah satu pihak. Islam menghargai kerja sama sebagai sarana pencarian nafkah.
3. Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.
D. Hikmah Dilarangnya Riba
Hikmah diharamkannya riba yaitu:
a. Menghindari tipu daya diantara sesama manusia.
b. Melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil.
c. Memotifasi orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum muslimin.
d. Menutup seluruh pintu bagi orang muslim.
e. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
f. Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhirat.
g. Rajin mensyukuri nikmat Allah swt dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak menyia-nyiakan nikmat tersebut.
h. Melakukan praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.
2. BANK
A. Pengertian Bank
Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin, bank adalah suatu perusahaan yang memperdayagunakan hutang-piutang, baik yang merupakan uangnya sendiri maupun orang lain. Fungsi bank adalah sebagai berikut:
a) Menyimpan dana masyarakat.
b) Menyalurkan dana masyarakat ke publik.
c) Memperdagangkan utang piutang.
d) Mengatur dan menjaga stabilitas peredaran uang.
e) Tempat menyimpan hata kekayaan (uang dan surat berharga) yang terbaik dan aman.
f) Menolong manusia dalam mengatasi kesulitan ekonomi keuangan.
Tujuan bank diantaranya yaitu :
1) Menolong manusia dalam banyak kesulitan, (peminjaman uang tunai atau kredit).
2) Meringankan hubungan antara para pedagang dan penguhasa dengan memperlancar pemindahan uang (money-transfer).
3) Bagi hartawan adalah untuk menjaga keamanan dan memberi perlindungan dari penjahat dan pencuri dengan menyimpan di tempat yang aman.
4) Untuk kepentingan dan perkembangan kepentingan, baik nasional maupun internasional dalam seluruh bidang kehidupan.
B. Dasar Hukum Islam
Karena bank adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam, maka para ulama masih memperdebatkan keabsahan sebuah bank. Berikut ini beberapa pandangan mengenai hukum perbankan, yaitu mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).
a. Kelompok yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra (guru besar Fakultas Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi (ulama Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.
b. Kelompok yang tidak mengharamkan
Ulama yang ridak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad Syaltut dan A. Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. Ali Imran ayat 130.
c. Kelompok yang menganggap syubhat (samar)
Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya. Hal-hal yang belum ada nas dan masih diragukan ini yang dimaksud dengan barang syubhat (samar).
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah (nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.
C. Jenis-jenis Bank
Berdasarkan jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a) Bank Konvensional (dengan sistem bunga)
Bank dengan sistem bunga (Konvensional) ada dua jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat.
b) Bank Syariah (Bank dengan prinsip Bagi Hasil)
Karena belum ada kata sepakat dari para ulama tetang hukum bank konvensional sementara umat Islam harus mengikuti perkembangan ekonomi sehingga perlu jalan keluar, maka lahirlah bank syariah dengan prinsip bagi hasil.
c) Operasional Bank Syariah
Prinsip operasional dan produk syariah dapat dilihat dari dua sisi, sisi pergerakan dana masyarakat dan sisi penyaluran dana kepada masyarakat.
D. Perbedaan Bank Konvesional dan Bank Islam
Bank konvensional :
1. Memakai perangkat bunga atau bagi hasil .
2. Profit Oriented.
3. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kreditur-kreditur.
4. Creator for money supply.
5. Melakukan investasi yang halal dan haram.
6. Tidak terdapat dewan sejenis Dewan Pengawas Syari’ah.
Bank islam :
1. Berdasarkan margin keuntungan bagi hasil.
2. Profit dan falah oriented.
3. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan .
4. Users of real founds.
5. Melakukan investasi yang halal saja.
6. Pengerahan dan penyaluran dana harus sesuai dengan pendapat Dewan Pengawas Syari’ah.
E. Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional Dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak bisa menghindari dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia.
Perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank :
1. Abu Zahrah : bunga bank itu riba nasi’ah, dilarang oleh islam. Karena itu islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga kecuali terpaksa.
2. A.Hasan : Bunga bank bukan riba yang diharamkan karena tidak bersifat ganda sebagaimana dalam surat Ali Imron: 130
3. Majelis Tarjih Muhammaddiyah di sidoarjo Jawa Timur 1968: Bunga bank termasuk subhat artinya belum jelas halal dan haramnya. Tapi jika dalam keadaan terpaksa kita di bolehkan bermuamalah dengan bank konvensional.
Kaidah Fiqih:
“Hajah (keperluan yang mendesak atau penting) itu menempati ditempat terpaksa, sedangkan keadaan darurot itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang dilarang.
-
C. ASURANSI
Sesuai dengan prinsip Islam yang menghindari bentuk-bentuk bunga, dalam akad asuransi tidak ada riba di dalamnya. Asuransi merupakan produk ekonomi Islam yang tergolong baru dalam khazanah hukum Islam. Berbagai perbedaan pendapat muncul di kalangan umat Islam terkait apakah akad asuransi ini dibenarkan dalam islam atau tidak
1. Pengertian Asuransi
Istilah asuransi seringkali disamakan dengan istilah pertanggungan (kafalah). Pengertian tersebut dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasurasian.
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak penanggung mengingatkan diri pada tertanggung dengan menerima premiasuransi, untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa asuransi pada dasarnya adalah pertanggungan dan ikhtiar seseorang dalam rangka menanggulangi resiko atau akibat-akibat dari terjadinya sebuah peristiwa yang tidak diinginkan (diharapkan) terjadi, namun terjadi.
Menurut pasal KUPD, asuransi adalah suatu perjanjian (akad) antara seseorang yang mempertanggungkan sesuatu dengan seorang penanggung atau asurahor. Menurut perjanjian ini, si penanggung menerima premi, yakni semacam pembayaran, baik sekaligus maupun berkala dari orang yang mempertanggungkan itu, dan dia berjanji akan mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh si mempertanggungkan karena kejadian kelak (kemudian hari) yang sebelumnya tidak dapat ditentukan dan diketahui oleh siapa pun, seperti kebakaran, kehilangan, dan kerusakan.
2. Dasar Hukum Asuransi
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena memang ketentuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw, termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Untuk mengeluarkan sebuah produk hukum ijtihad, dapat menggunakan berbagai cara, antara lain menggunakan konsep maslahah mursalah atau dengan cara kias (metode analgis). Berdasarkan hasil ijtihad para ulama dengan menggunakan metode ini maka dasar hukum asuransi di lingkungan ulama muncul beragam atau berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pendapat pertama, mengatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan hukum. Artinya, melakukan akad asuransi tidak dibolehkan. Ulama yang mengharamkan asuransi ini adalah Abdullah al-Qalqili dan Muhammad Yusuf al-Qardawi.
2. Pendapat kedua, menyatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dapat diterima dalam syariat Islam. Ulama yang mendukung pendapat ini adalah Abdul Wahab Khallaf dan Mustafa Ahmad Zarqa (Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Kairo).
3. Pendapat ketiga, mengatakan bahwa asuransi sosial diperbolehkan, sedangkan asuransi komersial tidak diperdolehkan, kaena bertentangan dengan syariat Islam. Pendapat ini didukung oleh ulama Abu Zahrah.
4. Pendapat keempat, mengatakan bahwa asuransi dengan segala bentk perwujudannya dipandang syubhat. Pendapat tersebut didukun oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir (Indonesia).
Dari berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asas gotong royong (ta’awun) dan perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat tolong-menolong, bukan untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang tidak benar.
Dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia yang ditulis oleh Vide Wirjono Prodjadikoro, dijelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek Van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan), bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari satu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
3. Tujuan Asuransi
Tujuan asuransi adalah menawarkan jaminan perlindungan untuk menghadapi kerugian akibat suatu bencana yang terjadi pada yang diasuransikan, tanpa ada unsur penambahan kekayaan seseorang.
Cara untuk menanggulangi bahaya yang mungkin terjadi biasanya dipraktikkan dengan bersama-sama menanggung kerugian itu untuk tujuan meringankan beban penderita yang diasuransikan. Hal ini berarti bahwa tujuan dari asuransi lebih dekat dengan arti iuran untuk perlindungan bersama.
4. Jenis Asuransi
Social insurance lebih dianjurkan daripada bentuk-bentuk asuransi lain yang tidak jelas status hukumnya. Di Indonesia terdapat dua asuransi, yaitu asuransi sosial dan takaful. Asuransi sosial adalah asuransi pemerintah yang merupakan tuntunan UU 1945, khususnya pasal kesejahteraan sosial. Asuransi takaful merupakan lembaga asuransi yang berbasis Islam. Pembahasan kedua modal asuransi (sosial dan takaful) dirasa lebih cocok dan diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia.Asuransi sosial memiliki kekhususan tersendiri, diantaranya:
1) Penyelenggara pertanggungan (asuransi) adalah pemerintah.
2) Sifat hukum pertanggungan itu adalah wajib bagi seluruh anggota masyarakat atau sebagai anggota tertentu masyarakat. Misalnya, bagi para penumpang kendaraan, baik laut, darat maupun udara.
3) Penentuan penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan peraturan khusus yang dibuat untuk itu.
4) Tujuan asuransi memberikan suatu jaminan sosial (social security), bukan untuk mencari keuntungan.
Secara operasional, asuransi yang sesuai dengan syariah memiliki sistem yang mengandung hal-hal sebagai berikut:
a) Mempunyai akad takafuli (tolong-menolong) untuk memberikan santunan atau perlindungan atas musibah yang akan datang.
b) Dana yang terkumpul menjadi amanah pengelola dana. Dana tersebut diinvestasikan sesuai dengan instrumen syariah seperti mudarabah, wakalah, wad’ah, dan murabahah.
c) Premi memiliki unsur tabaruq atau mortalita (harapan hidup).
d) Pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas pada kisaran 30% dari premi sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama yang memiliki nilai 70% dari premi.
e) Dari rekening tabarru’ (dana kebijakan seluruh peserta) sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah.
f) Mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk di mana apabila terjadi musibah, maka semua peserta ikut saling menanggung dan membantu.
g) Keuntungan (profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil (mudarabah), atau dalam akad tabarru’ dapat berbentuk dengan memberikan hadiah kepada peserta dan upah (fee) kepada pengelola.
h) Mempunyai misi aqidah, sosial serta mengangkat perekonomian umat Islam atau misi istiqadi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mayoritas ulama (jumhur) sepakat bahwa praktik bunga yang ada di perbankan konvensional adalah sama dengan riba dan karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan perbankan yang tidak mengandung unsur bunga dan karena itu halal. Namun demikian, ada sejumlah ulama yang menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dan karena itu halal hukumnya.
Bagi seorang muslim yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal dan berada dalam posisi yang dapat memilih, tentunya akan lebih baik kalau berusaha menjauhi praktik bank konvensional yang diharamkan. Namun, apabila terpaksa, Anda dapat memanfaatkan segala layanan bank konvensional karena ada sebagian ulama yang menghalalkannya.
B. Saran
Dalam menjalankan kegiatan pondok ramadhan sangatlah banyak hal yang diperoleh oleh siswa. Dan berikut ini beberapa saran sebagai langkah perbaikan :
1. Persiapan kualitas kegiatan pondok Ramadhan supaya lebih di tingkatkan.
2. Untuk suksesnya pelaksanaan/kegiatan pondok ramadhan, kami menyarankan kepada teman/adik kelas supaya bersungguh-sungguh dalam menjalankan kegiatan tersebut dan dapat menerapkan ilmu yang di terima di sekolah.
RANGKUMAN MAKALAH
RIBA, BANK, DAN ASURANSI
Kelompok XV
Riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan, menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak bisa menghindari dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia.
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah (nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.
Asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari satu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena memang ketentuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya. Dari berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asas gotong royong (ta’awun) dan perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat tolong-menolong, bukan untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang tidak benar.
DAFTAR PUSTAKA
• Zuhdi, Prof. Drs H. Masjfuk. MASAIL FIQHIYAH, PT Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997, Hal.102.
• Rokhman, M.Ag Roli Abdul. Fiqih 2 MA. Jawa Timur: PT Wahana Dinamika. 1999
• Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.1999
• Mujtaba, Saifuddin. AL – MASAILUL FIQHIYAH. Rausyan fikr. Jombang: 2007, Hal.345
• http://www.hadielislam.com/arabic/index.php?pg=fatawa%2Ffatwa&i Rausyd=470)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada dasarnya pengertian mengenai riba, bank dan asuransi sudah sangat familiar di mata masyarakat. Namun sebagian mereka tidak mengetahui pasti kedudukannya dalam hukum islam. Seperti halnya riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt. Sedangkan Bank menurut jumhur ulama’ merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nashnya. Dan ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Karena memang ketetuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw. Termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Oleh sebab itu, agar masyarakat lebih mengetahui dengan pasti mengenai riba, bank, dan asuransi. Maka kami akan menguraikan mengenai kedudukan riba , bank dan asuransi.
1.2 Rumusan masalah
1. Pengertian Riba.
2. Dasar hukum Riba.
3. Macam-macam Riba.
4. Hikmah dilarangnya Riba.
5. Pengertian Bank.
6. Dasar Hukum Bank.
7. Jenis- Jenis Bank.
8. Perbedaan Bank non islam (konvensional) dengan Bank islam.
9. Pengertian Asuransi.
10. Dasar Hukum Asuransi.
11. Jenis-Jenis Asuransi.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar seseorang dapat memahami pengertian Riba, Bank, dan Asuransi.
2. Agar dapat mengetahui apakah dalam transaksi Riba, Bank dan Asuransi, halal atau haram, menurut hukum islam.
3. Mengetahui hikmah dari Riba, Bank dan Asuransi dalam kehidupan sehari – hari.
BAB II
PENDAHULUAN
1. RIBA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Riba
Riba yang berasal dari bahasa arab, artinya tambahan (ziyadah/addition, Inggris), yang berarti: tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Pendapat Al-Jurjani riba adalah kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang di syaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad.
Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan, riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya atau uangnya karena janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
B. Dasar hukum riba
Dasar hukum Hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama. Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi melebihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
. . . إِنَمَا الْبَيْعُ مِثْلَ الرِّبَوا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا
“...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى الصَّدَقَتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ{276}
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. ”
b. Sunnah Rasulullah saw.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَ الرِّبَاوَمَوْ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءُ)متفق عليه)
. . . {275}
“Dari Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim
إِحْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ: قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ: الشِّرْكَ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ)متفق عليه)
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim(
c. Ijma’ para ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha mencari rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah SWT. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
C. Macam-macam Riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat macam, yaitu:
a. Riba Fadl
Riba fadl adalah tukar menukar atau jual beli antara dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak sama ukuranya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya, atau jual beli yang mengandung unsur riba pada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebut riba fadl. Supaya tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka harus ada tiga syarat yaitu:
a. Barang yang ditukarkan tersebut harus sama.
b. Timbangan atau takarannya harus sama.
c. Serah terima pada saat itu juga.
b. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun yang tidak sejenis atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual 1 kg beras dengan 1 ½ kg beras yang dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan inilah yang disebut riba nasi’ah.
عَنْ سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari Samurah bin Jundub, sesungguhnya Nabi saw telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan” (H.R Lima ahli hadist)
c. Riba Qardi
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp.10.000, kemudian Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000. inilah yang disebut riba qardi.
d. Riba yad
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Dasar hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا الرِّبَا فِى النَّسِيْئَةِ)رواه البحارى و مسلم )
“ Tidak ada riba kecuali pada riba nasi ”H.R. Bukhari Muslim
Ada syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
1. Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
a. Serupa timbangan dan banyaknya.
b. Tunai.
c. Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
2. Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
a. Tunai.
b. Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal ini disebabkan karena riba mempunyai bahaya yang sangat berat. Diantaranya adalah:
1. Dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat kerja sama atau saling tolong-menolong, membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, serta yang mengeksploitasi.
2. Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras, dan penimbunan harta di salah satu pihak. Islam menghargai kerja sama sebagai sarana pencarian nafkah.
3. Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.
D. Hikmah Dilarangnya Riba
Hikmah diharamkannya riba yaitu:
a. Menghindari tipu daya diantara sesama manusia.
b. Melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil.
c. Memotifasi orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum muslimin.
d. Menutup seluruh pintu bagi orang muslim.
e. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
f. Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhirat.
g. Rajin mensyukuri nikmat Allah swt dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak menyia-nyiakan nikmat tersebut.
h. Melakukan praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.
2. BANK
A. Pengertian Bank
Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin, bank adalah suatu perusahaan yang memperdayagunakan hutang-piutang, baik yang merupakan uangnya sendiri maupun orang lain. Fungsi bank adalah sebagai berikut:
a) Menyimpan dana masyarakat.
b) Menyalurkan dana masyarakat ke publik.
c) Memperdagangkan utang piutang.
d) Mengatur dan menjaga stabilitas peredaran uang.
e) Tempat menyimpan hata kekayaan (uang dan surat berharga) yang terbaik dan aman.
f) Menolong manusia dalam mengatasi kesulitan ekonomi keuangan.
Tujuan bank diantaranya yaitu :
1) Menolong manusia dalam banyak kesulitan, (peminjaman uang tunai atau kredit).
2) Meringankan hubungan antara para pedagang dan penguhasa dengan memperlancar pemindahan uang (money-transfer).
3) Bagi hartawan adalah untuk menjaga keamanan dan memberi perlindungan dari penjahat dan pencuri dengan menyimpan di tempat yang aman.
4) Untuk kepentingan dan perkembangan kepentingan, baik nasional maupun internasional dalam seluruh bidang kehidupan.
B. Dasar Hukum Islam
Karena bank adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam, maka para ulama masih memperdebatkan keabsahan sebuah bank. Berikut ini beberapa pandangan mengenai hukum perbankan, yaitu mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).
a. Kelompok yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra (guru besar Fakultas Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi (ulama Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.
b. Kelompok yang tidak mengharamkan
Ulama yang ridak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad Syaltut dan A. Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. Ali Imran ayat 130.
c. Kelompok yang menganggap syubhat (samar)
Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya. Hal-hal yang belum ada nas dan masih diragukan ini yang dimaksud dengan barang syubhat (samar).
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah (nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.
C. Jenis-jenis Bank
Berdasarkan jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a) Bank Konvensional (dengan sistem bunga)
Bank dengan sistem bunga (Konvensional) ada dua jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat.
b) Bank Syariah (Bank dengan prinsip Bagi Hasil)
Karena belum ada kata sepakat dari para ulama tetang hukum bank konvensional sementara umat Islam harus mengikuti perkembangan ekonomi sehingga perlu jalan keluar, maka lahirlah bank syariah dengan prinsip bagi hasil.
c) Operasional Bank Syariah
Prinsip operasional dan produk syariah dapat dilihat dari dua sisi, sisi pergerakan dana masyarakat dan sisi penyaluran dana kepada masyarakat.
D. Perbedaan Bank Konvesional dan Bank Islam
Bank konvensional :
1. Memakai perangkat bunga atau bagi hasil .
2. Profit Oriented.
3. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kreditur-kreditur.
4. Creator for money supply.
5. Melakukan investasi yang halal dan haram.
6. Tidak terdapat dewan sejenis Dewan Pengawas Syari’ah.
Bank islam :
1. Berdasarkan margin keuntungan bagi hasil.
2. Profit dan falah oriented.
3. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan .
4. Users of real founds.
5. Melakukan investasi yang halal saja.
6. Pengerahan dan penyaluran dana harus sesuai dengan pendapat Dewan Pengawas Syari’ah.
E. Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional Dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak bisa menghindari dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia.
Perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank :
1. Abu Zahrah : bunga bank itu riba nasi’ah, dilarang oleh islam. Karena itu islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga kecuali terpaksa.
2. A.Hasan : Bunga bank bukan riba yang diharamkan karena tidak bersifat ganda sebagaimana dalam surat Ali Imron: 130
3. Majelis Tarjih Muhammaddiyah di sidoarjo Jawa Timur 1968: Bunga bank termasuk subhat artinya belum jelas halal dan haramnya. Tapi jika dalam keadaan terpaksa kita di bolehkan bermuamalah dengan bank konvensional.
Kaidah Fiqih:
“Hajah (keperluan yang mendesak atau penting) itu menempati ditempat terpaksa, sedangkan keadaan darurot itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang dilarang.
-
C. ASURANSI
Sesuai dengan prinsip Islam yang menghindari bentuk-bentuk bunga, dalam akad asuransi tidak ada riba di dalamnya. Asuransi merupakan produk ekonomi Islam yang tergolong baru dalam khazanah hukum Islam. Berbagai perbedaan pendapat muncul di kalangan umat Islam terkait apakah akad asuransi ini dibenarkan dalam islam atau tidak
1. Pengertian Asuransi
Istilah asuransi seringkali disamakan dengan istilah pertanggungan (kafalah). Pengertian tersebut dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasurasian.
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak penanggung mengingatkan diri pada tertanggung dengan menerima premiasuransi, untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa asuransi pada dasarnya adalah pertanggungan dan ikhtiar seseorang dalam rangka menanggulangi resiko atau akibat-akibat dari terjadinya sebuah peristiwa yang tidak diinginkan (diharapkan) terjadi, namun terjadi.
Menurut pasal KUPD, asuransi adalah suatu perjanjian (akad) antara seseorang yang mempertanggungkan sesuatu dengan seorang penanggung atau asurahor. Menurut perjanjian ini, si penanggung menerima premi, yakni semacam pembayaran, baik sekaligus maupun berkala dari orang yang mempertanggungkan itu, dan dia berjanji akan mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh si mempertanggungkan karena kejadian kelak (kemudian hari) yang sebelumnya tidak dapat ditentukan dan diketahui oleh siapa pun, seperti kebakaran, kehilangan, dan kerusakan.
2. Dasar Hukum Asuransi
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena memang ketentuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw, termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Untuk mengeluarkan sebuah produk hukum ijtihad, dapat menggunakan berbagai cara, antara lain menggunakan konsep maslahah mursalah atau dengan cara kias (metode analgis). Berdasarkan hasil ijtihad para ulama dengan menggunakan metode ini maka dasar hukum asuransi di lingkungan ulama muncul beragam atau berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pendapat pertama, mengatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan hukum. Artinya, melakukan akad asuransi tidak dibolehkan. Ulama yang mengharamkan asuransi ini adalah Abdullah al-Qalqili dan Muhammad Yusuf al-Qardawi.
2. Pendapat kedua, menyatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dapat diterima dalam syariat Islam. Ulama yang mendukung pendapat ini adalah Abdul Wahab Khallaf dan Mustafa Ahmad Zarqa (Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Kairo).
3. Pendapat ketiga, mengatakan bahwa asuransi sosial diperbolehkan, sedangkan asuransi komersial tidak diperdolehkan, kaena bertentangan dengan syariat Islam. Pendapat ini didukung oleh ulama Abu Zahrah.
4. Pendapat keempat, mengatakan bahwa asuransi dengan segala bentk perwujudannya dipandang syubhat. Pendapat tersebut didukun oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir (Indonesia).
Dari berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asas gotong royong (ta’awun) dan perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat tolong-menolong, bukan untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang tidak benar.
Dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia yang ditulis oleh Vide Wirjono Prodjadikoro, dijelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek Van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan), bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari satu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
3. Tujuan Asuransi
Tujuan asuransi adalah menawarkan jaminan perlindungan untuk menghadapi kerugian akibat suatu bencana yang terjadi pada yang diasuransikan, tanpa ada unsur penambahan kekayaan seseorang.
Cara untuk menanggulangi bahaya yang mungkin terjadi biasanya dipraktikkan dengan bersama-sama menanggung kerugian itu untuk tujuan meringankan beban penderita yang diasuransikan. Hal ini berarti bahwa tujuan dari asuransi lebih dekat dengan arti iuran untuk perlindungan bersama.
4. Jenis Asuransi
Social insurance lebih dianjurkan daripada bentuk-bentuk asuransi lain yang tidak jelas status hukumnya. Di Indonesia terdapat dua asuransi, yaitu asuransi sosial dan takaful. Asuransi sosial adalah asuransi pemerintah yang merupakan tuntunan UU 1945, khususnya pasal kesejahteraan sosial. Asuransi takaful merupakan lembaga asuransi yang berbasis Islam. Pembahasan kedua modal asuransi (sosial dan takaful) dirasa lebih cocok dan diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia.Asuransi sosial memiliki kekhususan tersendiri, diantaranya:
1) Penyelenggara pertanggungan (asuransi) adalah pemerintah.
2) Sifat hukum pertanggungan itu adalah wajib bagi seluruh anggota masyarakat atau sebagai anggota tertentu masyarakat. Misalnya, bagi para penumpang kendaraan, baik laut, darat maupun udara.
3) Penentuan penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan peraturan khusus yang dibuat untuk itu.
4) Tujuan asuransi memberikan suatu jaminan sosial (social security), bukan untuk mencari keuntungan.
Secara operasional, asuransi yang sesuai dengan syariah memiliki sistem yang mengandung hal-hal sebagai berikut:
a) Mempunyai akad takafuli (tolong-menolong) untuk memberikan santunan atau perlindungan atas musibah yang akan datang.
b) Dana yang terkumpul menjadi amanah pengelola dana. Dana tersebut diinvestasikan sesuai dengan instrumen syariah seperti mudarabah, wakalah, wad’ah, dan murabahah.
c) Premi memiliki unsur tabaruq atau mortalita (harapan hidup).
d) Pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas pada kisaran 30% dari premi sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama yang memiliki nilai 70% dari premi.
e) Dari rekening tabarru’ (dana kebijakan seluruh peserta) sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah.
f) Mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk di mana apabila terjadi musibah, maka semua peserta ikut saling menanggung dan membantu.
g) Keuntungan (profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil (mudarabah), atau dalam akad tabarru’ dapat berbentuk dengan memberikan hadiah kepada peserta dan upah (fee) kepada pengelola.
h) Mempunyai misi aqidah, sosial serta mengangkat perekonomian umat Islam atau misi istiqadi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mayoritas ulama (jumhur) sepakat bahwa praktik bunga yang ada di perbankan konvensional adalah sama dengan riba dan karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan perbankan yang tidak mengandung unsur bunga dan karena itu halal. Namun demikian, ada sejumlah ulama yang menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dan karena itu halal hukumnya.
Bagi seorang muslim yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal dan berada dalam posisi yang dapat memilih, tentunya akan lebih baik kalau berusaha menjauhi praktik bank konvensional yang diharamkan. Namun, apabila terpaksa, Anda dapat memanfaatkan segala layanan bank konvensional karena ada sebagian ulama yang menghalalkannya.
B. Saran
Dalam menjalankan kegiatan pondok ramadhan sangatlah banyak hal yang diperoleh oleh siswa. Dan berikut ini beberapa saran sebagai langkah perbaikan :
1. Persiapan kualitas kegiatan pondok Ramadhan supaya lebih di tingkatkan.
2. Untuk suksesnya pelaksanaan/kegiatan pondok ramadhan, kami menyarankan kepada teman/adik kelas supaya bersungguh-sungguh dalam menjalankan kegiatan tersebut dan dapat menerapkan ilmu yang di terima di sekolah.
RANGKUMAN MAKALAH
RIBA, BANK, DAN ASURANSI
Kelompok XV
Riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan, menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak bisa menghindari dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia.
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah (nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.
Asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari satu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena memang ketentuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya. Dari berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asas gotong royong (ta’awun) dan perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat tolong-menolong, bukan untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang tidak benar.
DAFTAR PUSTAKA
• Zuhdi, Prof. Drs H. Masjfuk. MASAIL FIQHIYAH, PT Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997, Hal.102.
• Rokhman, M.Ag Roli Abdul. Fiqih 2 MA. Jawa Timur: PT Wahana Dinamika. 1999
• Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.1999
• Mujtaba, Saifuddin. AL – MASAILUL FIQHIYAH. Rausyan fikr. Jombang: 2007, Hal.345
• http://www.hadielislam.com/arabic/index.php?pg=fatawa%2Ffatwa&i Rausyd=470)
0 Komentar untuk "makalah riba"