BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Sistem politik
adalah suatu bagian yang pasti ada di setiap Negara sistem politik sendiri
berfungsi sebagai pengatur dan membuat peraturan untuk dipatuhi oleh seluruh
warga negaranya.
Ada beberapa sistem politik yaitu sistem politik
komunis, liberal dan demokrasi dari beberapa sistem politik tersebut masih ada
juga sistem politik Islam. Setiap Negara pasti memiliki sistem politiknya
masing-masing. Seperti misalnya Negara Indonesia yang menggunakan sistem
politik
demokrasi yang berarti sistem tersebut didasarkan
pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis.
Salah
satu tanggung jawab dan beban tugas yang harus dipikul dalam bidang politik hukum
Islam, adalah mengkaji tentang korupsi dan sanksinya, karena di satu sisi para
pelaku korupsi banyak yang beragama Islam dan di sisi lain dalam kitab-kitab
fiqh klasik sulit ditemukan term korupsi, baik mengenai konsep maupun
sanksinya, yang banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqh klasik berkenaan dengan
tindakan kriminal dalam masalah harta adalah pencurian (al sariqoh), dan
perampokan (al hirabah). Apakah tindakan korupsi dikategorian sebagai pencurian,
perampokan, atau sesuatu yang lain?. Berbagai pendapat mengenai korupsi ini
memang tidak menimbulkan perpecahan yang cukup besar dalam kalangan umat Islam
pada umumnya. Tetapi rumusan atau kesatuan pendapat mengenai apa sebenarnya
konsepsi korupsi menurut Hukum Islam sangatlah perlu dicari, Hal ini berguna
bagi ulil amri (penguasa/pemimpin) dalam merumuskan sanksi yang tepat bagi
korupsi. Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti
lebih jauh mengenai konsepsi korupsi dalam perspektif Hukum Islam.
1.2 BATASAN
MASALAH
Untuk menghidari
adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah
ini, maka penulis membatasi masalah-masalah yang
akan di bahas
diantaranya:
1. Pengertian
Politik
2. Pengertian
Politik Islam
3. Pengertian
korupsi
4. Hukum korupsi
dalam islam
1.3 RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah
yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa itu
Politik?
2. Apa itu
Politik Islam?
3. Apa itu
Korupsi?
4. Bagaimana hukum
korupsi dalam islam?
1.4 TUJUAN
PENULISAN
Dalam menyusun
makalah ini penulis mempunyai beberapa tujuan,
yaitu:
1. Penulis ingin
mengetahui arti dari Politik.
2. Penulis ingin
mengetahui seperti apa Politik Islam.
3. Penulis ingin
mengetahui arti korupsi.
4.Penulis ingin
mengetahui bagaimana hukum korupsi menurut islam.
1.5 SISTEMATIKA
PENULISAN
Dalam
penyelesaian penyusunan makalah ini penulis menggunakan
studi kepustakaan, yaitu penulis mencari buku-buku
dan browsing bacaan
yang berhubungan dengan hukum-hukum islam serta
korupsi dalam islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
POLITIK
Kata politik berasal dari bahasa latin
yaitu politicos atau politicus yang berarti relating to citizen polis yang
berarti kota. Dalam bahasa arab, politik biasanya diterjemahkan dengan kata
siyasah, kata ini diambil dari kata saasa-yasuusu yang diartikan mengemudi,
mengendalikan, dan mengatur. Jadi arti kata politik diartikan mengatur,
mengurus kepentingan seseorang.
Istilah
politik pertama kali dikenal melalui buku plato yang berjudul politeia yang
juga dikenal “republic”. Kemudian muncul karya aristoteles yang juga berjudul
politeia. Kedua karya tersebut menjadi pangkal pemikiran politik yang
berkembang kemudian.dari karya itu juga dapat diketahui sebagai pangkal
pemikiran poltik yang berkembang kemudian
Abdul
Qadir Zallum menyatakan bahwa politik atau siyasah mempunyai makna mengatur
urusan rakyat, baik dalam maupun luar negeri. Politik dilaksanakan oleh
pemerintah dan rakyat.
Definisi
diatas mengungkapkan bahwa politik merupakan pemikiran-pemikiran yang
berhubungan dengan mengurus kepentingan mayarakat. Pemikiran tersebut dapat
berupa pedoman, keyakinan, hokum.
Ada
5 kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk memahami politik :
1. Politik
dipahami sebagai usaha warga Negara dalam membicarakan dan mewujudkan kebaikan
bersama.
2. Politik
sebagai segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintah
3. Politik
sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan
dalam masyarakat.
4. Politik
sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum
5. Politik
sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang
dianggap penting (tobroni,1994)
Politik adalah
proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam
masyarakat yang antara lain berwujud proses
pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya
penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik
yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah
seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional
2.2 PENGERTIAN
POLITIK ISLAM
Politik dan
agama adalah sesuatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya pembentukan pemerintahan
dan kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar
sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern didasarkan pada
kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama.
Pemerintahan yang berlaku pada masa
Rasulullah dan khalifah bukanlah diturunkan Allah dari langit. Wahyu Allah
hanya mengarahkan Rasul dan kaum muslimin untuk menjamin kemaslahatan umum,
tanpa merenggut kebebasan mereka untuk memikirkan usaha-usaha menegakkan
kebenaran, kebajikan, dan keadilan. Alquran sendiri tidak mengatur urusan
politik secara khusus, tetapi hanya memerintahkan untuk menegakkan keadilan,
kebajikan, membantu kaum lemah, dan melarang perbuatan yang tidak senonoh,
tercela, serta durhaka. Alquran hanya meletakkan garis besar pada kaum
muslimin, kemudian memberikan kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang
diinginkan dengan ketentuan tidak sampai melanggar batas-batas yang telah
ditetapkan. Islam pada dasarnya adalah Siyasatullah fil Ardh. Maksudnya, dengan
Islam inilah Allah mengatur semesta alam, yang diperuntukan kepada manusia.
Islam itu secara substantif bersifat politis. Konteks pemberian amanah kepada
manusia yang dimaksud di atas adalah Istikhlaf sebagai konsep politik.
Istikhlaf berarti "menjadikan khalifah untuk mewakili dan melaksanakan
tugas yang diwakilkan kepadanya."
Untuk lebih
memahaminya, perlu kita ingat kembali bahwa Allah memberikan manusia dua amanah
:
1. Ubudiyah, yaitu untuk beribadah, penghambaan
kepada Allah.
2. Amanah Kekhalifahan, hal ini lebih dekat kepada
otoritas untuk mengendalikan kehidupan (di atas bumi).
Allah SWT
berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, ..." (QS. An Nur: 55)
Dengan demikian, Islam secara substantif adalah
siyasah, yaitu menghendaki agar ummat menjalankan kepemimpinan politik. Salah
satu tujuan Islam adalah bagaimana agar bisa menerapkan kehidupan secara Islami
dan agar sampai tidak ada lagi fitnah di muka bumi.
a. Pilar-pilar
dasar dalam pemerintahan Politik Islam antara lain
adalah :
_
Kedaulatan
di Tangan Syara’(hukum Islam)
_
Kekuasaan
di Tangan Umat
_
Hanya
Khalifah yang Berhak Mengadopdi Hukum
_
Wajib
Membai’at Satu Khalifah
Struktur Pemerintahan dan Administrasi dalam sistem
Khalifah Politik Islam :
_
Khalifah
_ Mu’awin
Tafwidh/Mentri tapi tidak berhak membuat UU (Pembantu Khalifah Bidang
Pemerintahan)
_
Mu’awin
Tanfidz (Pembantu Khalifah Bidang Administrasi)
_
Wali/Kepala
Daerah
_
Amir
Jihad – Mabes Angkatan Bersenjata
_
Departemen
Keamanan Dalam Negeri
_
Departemen
Luar Negeri
_
Departemen
Perindustrian
_
Departemen
Kehakiman
_
Departemen
Penerangan
_ Kemaslahatan
Publik
_ Baitul
Mal (rumah penyimpan harta)
_ Majelis
Ummah/Dewan Perwakilan Rakyat
b. Sistem
Politik dalam Negeri Khilafah
_
Menerapkan
syariat Islam kepada seluruh rakyat, Muslim maupun Non-Muslim;
_ Memberikan
kebebasan kepada rakyat Non-Muslim menjalankan ibadah, makan, minum, tatacara
berpakaian, dan menikah menurut agama dan keyakinan mereka;
_ Memberikan
hak dan kewajiban yang sama kepada setiap warga negara, Muslim dan Non-Muslim,
kecuali yang menjadi kekhususan masing-masing;
_ Menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa dan umat Islam dalam satu negara, dengan akidah
yang sama, yaitu akidah Islam;
c. Sistem
Politik luar Negeri Khilafah
_
Mengemban
Islam kepada seluruh bangsa, negara dan umat lain;
_ Menerapkan
syariat Islam kepada bangsa, negara dan umat lain yang berhubungan dengan
Khilafah;
_ Berjihad
dalam rangka membebaskan penghambaan manusia oleh manusia (‘ibadat al-’ibad)
untuk menyembah Rabb al-’Ibad;
d. Jaminan
Penerapan Syariat Islam, di Dalam dan Luar Negeri:
_
Ketakwaan
individu, rakyat dan aparatur negara;
_
Kontrol
masyarakat (umat dan partai politik) yang mempunyai kesadaran ideologis;
_ Penerapan
Islam secara kaffah, adil dan konsekuen oleh negara kepada seluruh rakyat;
e. Fungsi
Organisasi dan Partai Dalam Sistem Khilafah:
_
Edukasi:
Mendidik
umat dan masyarakat agar memahami Islam
dengan benar;
_
Agregasi:
Menghimpun
umat dan masyarakat berdasarkan ikatan Islam;
_ Artikulasi: Menyampaikan
aspirasi umat dan masyarakat yang sesuai dengan Islam, dan mengoreksi kebijakan
yang bertentangan dengannya.
2.3 PENGERTIAN
KORUPSI
Korupsi adalah suatu jenis penjambretan
dan perampasan, karena pada mulanya si pelaku berbuat secara sembunyi-sembunyi.
Korupsi tidak sama dengan pencurian, karena itu syari’at tidak menetapkan hukum
potong tangan bagi pelakunya. Dari Jabir bin Abdullah sesungguhnya Rasulullah
bersabda :
“Tidak
ada bagi khâin(=penghianat, org yang mengambil harta secara sembunyi dan
menampakkan kebaikan kepada pemilik barang), muntahib (org yang
mengambil barang dengan kekerasan, merampas) dan mukhtalis (=orang yg mengambil
barang dengan cara tipuan, sembunyi-sembunyi) hukuman potong tangan”.
Koruptor dimasukkan
ke dalam kategori mukhtalis, ia dihukum sesuai
dengan besar harta yang dikorupsi, berupa penjara tahunan hingga hukuman mati.
Korupsi
adalah perbuatan haram yang haramnya lebih berat jika kejahatan itu dilakukan
terhadap harta kekayaan milik umum. Rasulullah SAW bersabda :
“Hai
manusia, siapa saja diantara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami
(menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap
kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Dan kecurangannya
itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti. … Siapa yang kami beri tugas hendaknya
ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang kami beri padanya dari
hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah ia ambil”.
Syariat
Islam memberi petunjuk tentang bagaimana meminimalkan tindak korupsi, antara
lain:
Pertama, sistem penggajian yang layak. Kita bisa membayangkan bagaimana mungkin gaji 57
ribu tenaga kerja asing di Indonesia sama dengan gaji 4 juta tenaga kerja lokal
(1: 70) padahal para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan
hidup serta kewajiban menafkahi keluarga. Agar tenang bekerja dan tak mudah
tergoda, kepada mereka harus diberikan gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang
layak. Rasul bersabda: “Siapapun yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak
mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah;
jika tak memiliki pembantu hendaknya mengambil pelayan; jika tak memiliki
kendaraan hendaknya diberi… Siapapun mengambil selainnya, ia telah berbuat
curang atau pencuri”. (HR Abu Dawud).
Dalam
riwayat Al Hakim:
“Barang
siapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri gaji, maka
apa yang diambil selain gaji itu adalah kecurangan”. (hadits shahih menurut syarat
syaikhain (Bukhary dan Muslim) namun mereka tidak mengeluarkannya)
Kedua, larangan menerima hadiah. Hadiah–atau sering dinyatakan sebagai “hibah”–yang
diberikan kepada aparat pemerintah bisa membuat aparat pemerintah tersebut
terpengaruh dalam mengambil keputusan atau memberikan pelayanan.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Untuk menghindari tindakan curang, perhitungan
kekayaan para pejabat harus dilakukan di awal dan di akhir jabatannya. Jika ada
kenaikan yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu
benar-benar halal. Cara inilah yang kini dikenal sebagai pembuktian terbalik
yang sebenarnya efektif mencegah aparat berbuat curang. Akan tetapi, anehnya
cara ini justru ditentang untuk dimasukkan ke dalam perundang-undangan.
Keempat, penyederhanaan birokrasi. Birokrasi yang berbelit dan tidak rasional akan
membuat segala sesuatu kurang transparan, menurunkan akuntabilitas, dan membuka
peluang korupsi. Demikian juga dengan prosedur hukum yang diskriminatif,
misalnya memeriksa pejabat tinggi atau anggota DPR harus seizin kepala negara.
Akibatnya, tidak jarang jika korupsi menyentuh lapisan elit itu, penyidikan
biasanya terhenti. Dalam Islam, aturan yang membedakan pejabat tinggi dari
rakyat biasa ini tidak dikenal.
Kelima, hukuman setimpal. Secara naluriah, orang akan takut menerima risiko
yang tidak sebanding dengan apa yang diperolehnya. Risiko dalam bentuk hukuman
berfungsi sebagai pencegah. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zîr,
yaitu hakim bisa mencari bentuk hukuman yang diperkirakan paling efektif bagi
kasus tersebut, misalnya berupa tasyhîr (pewartaan), penyitaan harta,
pemecatan, kurungan, kerja paksa, sampai hukuman mati.
2.4 HUKUM
KORUPSI MENURUT ISLAM
Salah satu penyakit dan ancaman sosial
yang sangat laten adalah pencurian dalam berbagai manivestasi dan bentuknya,
baik milik pribadi, milik orang lain, maupun milik umum (publik), baik secara
langsung maupun melalui jabatan, otoritas dan fasilitas politik dan hukum yang
dimilikinya, sehingga seorang pakar menyebut bangsa yang teridap wabah hobi
bersama “mencuri rame-rame” dari yang kecil-kecilan sampai korupsi kelas kakap
sebagai bangsa cleptomania, seperti
bangsa Indonesia ini. Para koruptor lebih suka korupsi rame-rame, seolah
berprinsip meminjam slogan sebuah iklan “nikmatnya rame-rame” sehingga sulit
ditindak. Tindak kejahatan penyelewengan dan penilepan harta milik publik apa
yang dikenal sebagai tindakan korupsi (corruption)
sebenarnya dari bahasa latin (corruptio yang artinya ‘penyuapan’; dari corrumpere yang artinya ‘merusak’).
Korupsi merupakan perbuatan tercela berupa penyelewengan dana, wewenang,
amanat, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompoknya
yang dapat merugikan negara atau pihak lain.
Syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umat manusia apa yang disebut sebagai maqashidusy syari’ah. Diantara kemaslahatan yang hendak dituju
tersebut adalah terpeliharanya harta (hifdzul
maal) dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan. Hukum perbuatan
korupsi, menurut pendapat ulama fiqih, secara aklamasi dan konsensus (ijma’) adalah haram karena bertentangan
dengan prinsip maqashidusyi syari’ah.
Keharaman perbuatan korupsi tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi antara
lain sebagai berikut.
Pertama: korupsi adalah perbuatan curang
dan penipuan yang berpotensi merugikan keuangan negara dan kepentingan publik
(masyarakat) yang dikecam oleh Allah S.W.T. Dalam surah al-Imran: 161 dengan
hukuman setimpal di akhirat. Ayat ini turun berkaitan peristiwa yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Jarir yaitu hilangnya
sehelai kain wol merah yang diperoleh dari rampasan perang. Setelah dicari,
sehelai kain itu tidak ada dalam catatan inventaris harta rampasan perang
sehingga ada yang lancang berkata, “Mungkin
Rasulullah SAW sendiri yang mengambil kain itu untuk dirinya.” Agar tuduhan
tersebut tidak menimbulkan keresahan dikalangan umat islam dan membersihkan
citra beliau maka turunlah ayat tersebut diatas yang menegaskan bahwa Nabi
Muhammad SAW tidak mungkin berlaku korup dan curang dalam amanah harta publik
berupa rampasan perang. Bahkan Nabi mengancam siapapun yang mengkorup harta
milik negara (ghulul) akan menjadi
bara api nantinya di neraka dan demikian pula amalnya yang berasal dari hasil
khalifah Umar bin Abdul Aziz (63-102 H) yang memerintahkan kepada putrinya
untuk mengembalikan kalung emas yang dihibahkan oleh pengawas perbendaharaan
negara (baitulmal) sebagai tanda jasa
dan penghormatan kepada ayahnya.
Kedua: perbuatan korupsi berupa
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk memperkaya diri sendiri maupun
orang lain merupakan pengkhianatan terhadap amanat dan sumpah jabatan.
Mengkhianati amanat adalah perbuatan dosa dan salah satu karakter munafik yang
dibenci Allah S.W.T sehingga hukumannya haram (al-Anfaal: 27 dan an-Nisaa: 58).
Ketiga: perbuatan korupsi untuk
memperkaya diri dan orang lain dari harta negara adalah perbuatan zalim, karena
kekayaan negara adalah harta publik yang berasal dari jerih payah masyarakat
termasuk kaum miskin dan rakyat kecil. Perbuatan zalim ini patut mendapatkan
azab yang pedih (az-Zhukruf: 65).
Keempat: termasuk kategori korupsi
adalah tindakan kolusi dengan memberikan fasilitas negara seseorang yang tidak
berhak karena deal-deal tertentu,
seperti menerima suap (pemberian) dari pihak yang diuntungkannya tersebut.
Perbuatan ini sangat dikutuk Nabi SAW dalam sabdanya, “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap.” Dalam
riwayat lain disebutkan “ Dan
perantaranya” (HR. Ahmad). Dan, peringatan beliau dalam sabdanya, “barang siapa yang telah aku pekerjakan dalam
suatu jabatan, lalu kuberi gajinya, maka sesuatu yang dipungutnya tanpa sah
diluar gajinya adalah korupsi (ghulul).” (HR. Abu Dawud).
Adapun hukum memanfaatkan hasil korupsi,
termasuk memakainya untuk konsumsi atau belanja pribadi dan keluarga, sumbangan
sosial dan biaya ibadah, atau kepentingan lainnya, hukumnya sama dengan
memanfaatkan harta hasil usaha yang haram seperti judi, mencuri, menipu,
merampok, dan sebagainya. Dalam hal ini, ulama fiqih sepakat bahwa memanfaatkan
harta yang diperoleh secara ilegal, tidak sah dan haram adalah haram, juga
sebab pada prinsipnya harta tersebut bukan hak miliknya yang sah sehingga tidak
berhak untuk menggunakannya meskipun dijalan kebaikan (al-Baqarah: 188 dan Ali
Imran: 130). Sebagaimana ketentuan kaidah fiqih yang menyatakan, “setiap sesuatu yang haram mengambilnya maka
haram pula memberikan/memanfaatkannya.” Pendapat dan ketentuan ini juga
didukung oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan harta tersebut harus dikembalikan
kepada kepemilikan publik atau negara. Berdasarkan hadist tersebut diatas maka
menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tidak sah solat dan haji serta ibadah lainnya
yang menggunakan harta hasil korupsi. Disamping itu, dalil lain menguatkannya
seperti hadist Nabi SAW, “sesungguhnya
Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR ath-Thabrani) dan
sabdanya, “jika seseorang menunaikan haji
dengan biaya dari harta yang halal, maka ketika ia mulai melantunkan seruan
Talbiyah, datanglah seruan dari langit, Allah akan menyambut dan menerima
kedatanganmu dan semoga kamu bahagia. Pembekalanmu halal, kendaraanmu halal,
maka hajimu diterima dan tidak tercampur dosa. Sebaliknya, jika pergi haji
dengan harta yang haram, maka hajimu berdosa dan jauh dari pahala.” (HR
ath-Thabrani). Sebab, ibadah dan
kegiatan sosial bukan sebagai sarana penyucian uang haram (Money Laundring) dan
bukan sarana pencitraan diri yang korup sebagai manusia suci.
Dengan demikian, sangat logis bila
hukumannya sangat berat menimbang prinsip maslahat tersebut. Para ulama fiqih
telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga kelompok yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan dan
tindak pidana Takdzir yang hukumannya
diserahkan kepada hakim menurut kemaslahatan yang semestinya dan dapat lebih
ringan, sama maupun lebih berat dari hukuman
hudud bergantung kepada kasus dan kemudaratannya. Tindak pidana korupsi
termasuk dalam kategori tindak pidana Takdzir
meskipun secara umum ada kesamaan dengan pencurian yang hukuman hudud-nya berupa potong tangan dengan
memenuhi kriteria dan ketentuan tertentu. Oleh karena itu, penentuan sanksi
hukuman Takdzir korupsi, baik jenis,
untuk dan beratnya dipercayakan kepada hakim yang harus tetap mengacu kepada maqashidusy syariah sehingga dapat memberi pelajaran bagi orang
lain untuk tidak melakukannya. Sebagai ilustrasi hukuman korupsi, penerapan
hukuman takzir dalam sejarah peradilan Islam sebagaimana dikemukakan oleh Dr.
Abdul Qadir Audah (w. 1945) ahli pidana Islam Mesir dalam Tasyri Jina’-nya dibagi menjadi dua bentuk yaitu 1, takdzir’alal ma’ashi (terhadap perbuatan
maksiat) dan 2, takdzir ‘ala mashlahah
‘amah (terhadap pelanggaran kepentingan umum).
Bagi para pelaku
KKN di Indonesia bila memang terbukti bersalah dan dapat merugikan negara maka
hukumannya haruslah setimpal dengan besarnya korupsi yang dilakukannya, sesuai
amanah jabatan yang diembannya dan kadar kemudharatan yang ditimbulkannya serta
kesalahan lain yang didukungnya. Dan, tentunya ia dapat dihukum berat bahkan
sampai tingkat hukuman mati bila perlu dan bukan hanya sebatas hukuman potong
tangan untuk menjerakan masyarakat dari praktik korupsi dan menyehatkan
perekonomian sebagaimana telah dilaksanakan di negara-negara lain seperti Cina,
Jepang, dan Korea Utara. Namun masalahnya adalah para penegak dan aparat hukum
serta petinggi negara harus memberi contoh sebagai clean govenrment yang bebas dari KKN sehingga mampu memberantas
koruptor dan menghukum berat para koruptor tanpa pandang bulu, seperti yang
dicontohkan oleh Umar bin Abdul Aziz dan Khulafaur Rasyidin sebelumnya serta
maklumat Nabi SAW. yang menyatakan bahwa sekalipun putrinya sendiri mencuri
niscaya akan dilaksanakan hukuman potong tangan. Dengan demikian, terbuktilah
bahwa syariat Islam sebenarnya bernilai universal dan selalu rahmatan lil ‘alamin.
BAB
III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Dari uraian di
atas dapatdisimpulkan bahwa:
1. Hubungan Islam dan Politik itu sangat
berkaitan karena telah dijelaskan tentang aturan dan cara-cara dalam berpolitik
yang sesuai tuntunan Al Quran dan Hadits. Oleh karena itu sistem politik Islam
yang melihat dokumen-dokumen dari Al- Qur’an ini memuat prinsip-prinsip politik
berupa keadilan, musyawarah, toleransi, hak-hak dan kewajiban, amar ma’ruf dan
nahi mungkar, kejujuran, dan penegakan hukum. Jadi dengan sistem dan
peraturan-peraturan hukum yang sesuai dengan Al-Qur’an sudah pasti sistem
politik Islam lebih baik dibandingkan dengan sistem Politik yang lain.
2. Sistem
politik pada zaman Rasulullah merupakan sistem politik yang perlu di contoh
oleh pemerintahan di Indonesia agar teciptanya kesejahteraan di tanah tercinta
ini.
3.
Perlunya
hukuman yang berat bagi para pelaku korupsi karena dapat menyengsarakan
kehidupan raktyat, tidak hanya hukum potong tangan, tetapi perlu hukuman mati
bagi para
pelaku korupsi di Indonesia bila memang terbukti bersalah dan dapat merugikan
negara maka hukumannya haruslah setimpal dengan besarnya korupsi yang
dilakukannya, sesuai amanah jabatan yang diembannya dan kadar kemudharatan yang
ditimbulkannya serta kesalahan lain yang didukungnya.
1.2 SARAN
Bagi
para pemimpin bangsa seharusnya mempunyai bekal ilmu agama yang kuat agar tidak
mudah terjerumus kepada hal-hal yang
tidak baik, dan dapat menjadi
sosok yang benar-benar dapat
mensejahterakan rakyatnya bukan malah menyengsarakan dengan
perbuatan-perbuatan yang sangat dilarang
oleh agama, serta tidak hanya janji-janji palsu yang di lontarkan pada saat
pemilihan, namun lupa setelah apa yang diinginkan terwujud.
DAFTAR
PUSTAKA
http://luluvikar.wordpress.com/?Islam%20dan%20Politik
http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/politik-islam-danpolitik-
jahiliyyah.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah
http://www.hudzaifah.org/Article64.phtml
http://www.scribd.com/doc/17236048/Sejarah-Politik-Islam
http://fiducia.blog.perbanas.ac.id/2010/06/04/korupsi-di-mata-islam/
0 Komentar untuk "makalah hukum korupsi menurut islam"