BAB II
PEMBAHASAN
Kuantitas hadits disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadits atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad, disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadits mutawatir, hadits masyhur (hadis mustafidh) dan hadits ahad.
- Hadis Mutawatir
Mutawatir secara etimology berasal dari kata tawatara yang berarti beruntun, atau mutatabi, yakni beriring-iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak. Sedangkan secara terminology mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut akal dan kebiasaan mustahil sepakat untuk berdusta. Mulai dari perawi yang pertama hingga terakhir memiliki kesamaan sifat, artinya sama-sama tsiqoh. Sementara menurut Nur Ad-Din, hadist mutawatir adalah hadits yang di riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca. Sanad mereka adalah pancaindra.
Berdasarkan definisinya ada 4 kriteria hadits mutawatir, yaitu sebagai berikut:
- a. Diriwayatkan sejumlah orang banyak
- b. Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
- c. Mustahil bersepakat bohong
- d. Sandaran berita itu pada pancaindra
2) Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Para ulama’ berbeda pendapat dalam membicarakan hadits mutawatir. Menurut ulama’ mutaakhirin dan ahli’ usul suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawatir bila memenuhi syarat-ayarat sebagai berikut:
a) Hadits mutawatir harus di riwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak sepakat untuk berbohong. Mengenai masalah ini para ulama’ perbeda pendapat ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama’ yang tidak mensyaratkan jumlah tertententu mereka menegaskan bahwa yang penting dengan jumlah itu, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mestahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut ulama’ yang menetapkan jumlah tertentu mereka masih berselisih mengenai jumlahnya, ada yang mengatakan harus empat rawi, sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah.
Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua belas orang, ada yang dua puluh orang, ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang tujuh puluh orang, dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar. Kemudian menurut As-Syuyuti bahwa hadtis yang layak disebut mutawatir yaitu paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang. Dan pendapat inilah yang diikuti oleh banyak ahli hadits.
b) Bedasarkan tanggapan panca indra, yakni bahwa berita yang mereka sampaikan harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
c) Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H)
Para ulama sepakat bahwa hadits mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim, maka dari itu wajib hukumnya untuk mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadits mutawatir.
3) Pembagian Hadits Mutawatir
Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadits Mutawatir ada 3 yaitu:
- a. Hadits Mutawatir Lafdhi
“Rasulullah SAW, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari).
Hadits tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama.
- b. Hadits Mutawatir Maknawi
“Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan”. (Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi)
- c. Hadits Mutawatir ‘Amali
4) Kedudukan Hadits Mutawatir
Seperti telah disinggung, hadits-hadits yang termasuk kelompok hadits mutawatir adalah hadits-hadits yang pasti (qath’i atau maqth’u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu qath’i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadits itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah SAW.
Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad.
- Hadits Ahad
Ahad menurut bahasa adalah kata jamak dari wahid atau ahad. Bila wahid atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu. Hadits ahad menurut bahasa berarti hadits satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadits mutawatir, maka pengertian hadits ahad, menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadits ahad antara lain berbunyi, yaitu hadits yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir, atau dengan kata lain Hadits Ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
2) Pembagian hadits ahad
a) Hadits Masyhur (Hadits Mustafidah)
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadits masyhur dan hadits mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadits mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat hadits mutawatir. Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadits masyhur (hadits mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadits mutawatir. Contoh hadits masyhur (mustafidah) adalah hadits berikut ini, yang artinya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi)
Hadits di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadits (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
b) Hadits ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa, berarti yang mulia atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadits ‘aziz menurut bahasa berarti hadits yang mulia atau hadist yang kuat atau hadits yang jarang, karena memang hadits ‘aziz itu jarang adanya. Para ulama memberikan batasan yaitu hadist ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadits pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits ‘aziz. Contoh hadits aziz adalah hadits berikut ini, yang artinya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)
Hudzaifah dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadits tersebut adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadits itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits ‘aziz.
c) Hadits Gharib
Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadits gharib menurut bahasa berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadits gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadits yang berdiri sendiri seorang perawi di mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad.
Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadits hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.
Contoh hadits gharib itu antara lain adalah hadist berikut, yang artinya:
“Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain)
3) Kedudukan Hadits Ahad
Bila hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian hadits ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga ( zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadits ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.
Karena hadits ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau ghairu maqthu’), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadits ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadits mutawatir. Lain berarti bahwa bila suatu hadits, yang termasuk kelompok hadits ahad, bertentangan isinya dengan hadits mutawatir, maka hadits tersebut harus ditolak.
- Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas Rawi
- A. Hadits Shahih
- Pengertian hadits shahih
- Kriteria hadits shahih
a) Sanadnya bersambung ialah sanadnya bersambung sampai ke musnad, dalam sifat disebut hadits yang muttashil dan mausul (yang bersambung),
b) Seluruh periwayat dalam sanad hadits sahih bersifat adil adalah periwayat yang memenuhi syarat-syarat yaitu beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, memelihara kehormatan diri,
c) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith, ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dengan baik apa yang diriwayatkannya serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja di kehendaki,
d) Sanad dan matan hadits yang sahih itu terhindar dari syadz, dan
e) Sanad dan matan hadis terhindar dari i’llat. I’llat adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah hadits tersebar dari ‘illath.
Contoh hadits shahih: Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Setiap sendi tubuh badan manusia menjadi sedekah untuknya pada setiap hari matahari terbit, kamu melakukan keadilan diantara dua orang yang berselisih faham adalah sedekah kamu membantu orang yang menaiki kenderaan atau kamu mengangkat barang-barang untuknya kedalam kenderaan adalah sedekah, Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah kamu berjalan untuk menunaikan solat adalah sedekah dan kamu membuang perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah sedekah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Sumber-sumber hadits-hadits sahih adalah kitab-kitab yang memuat hadits sahih yaitu antara lain:
a) Al-Muawaththa ialah kitab hadis yang pertama yang disusun oleh Imam Malik (93- 179H/712- 798 M).
b) Al-Jami’ As-Shahih Al-Bukhari merupakan kitab hadits terbaik yang disususn oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Al-Mughirah Ibn Birdizbah (194-256H).
c) Sahih muslim adalah kitab hadits shahih yang menempati posisi ke dua setelah sahih bukhari kita yang disusun oleh Imam Muslim Ibn Al-Hajaj Al-Qusyairy An-Nasisabury (206-261H).
d) Sahih ibn Huzaimah adalah kitab hadits sahih yang disusun oleh abu abdullah ibn abu bakar Al-huzaimah yang wafat pada 313 didalam kitab ini memuatt kitab hadits yang belum tercover dalam kitab Al-Bukhari
e) Sahih Ibn-Hibban adalah kitab sahih yang di tulis oleh Abu hatim Muhammad Ibn-Hibban (354 H).
- Pembagian hadits shahih
a) Hadits sahih lidzatih
Hadits hadzatih adalah hadits yang karena kehadiran dirinya sendiri telah memenuhi kelima kriteria hadits sahih sebagaimana dikemukakan di atas, seperti hadis yang berbunyi, (orang islam adalah orang yang tidak mengganggu muslim-muslim lainnya, baik dengan lidah maupun tangannya, dan orang berhijrah itu adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah).
Hadits ini antara lain diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad antara lain oleh, adam Ibn Iyas, Syu’bah, Ismail Ibn Safar, Al-Sya’by, Abdullah Ibn Amir Ibn Ash. Rawi dan sanad Al-Bukhari memenuhi kriteri Hadits lidzatih.
b) Hadits sahih lighairih
Adalah hadits yang sahihnya lantaran di bantu oleh keterangan yang lain jadi disimpulkan belum sampai kepada kualitas sahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi hadits sahih lighairih.
- Kehujjahan
- B. Hadits Hasan
- Pengertian
- Kriteria hadits hasan
a) Sanadnya bersambung,
b) Para periwayat bersifat adil,
c) Diantara orang periwayat terdapat orang yang kurang dhabith,
d) Sanad dan matan hadits terhindar dari kejanggalan, dan
e) Tidak ber-illat (cacat).
- Pembagian hadits hasan
Adalah hadits yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya sedikitpun tidak ada dukungan dari hadits lain dan kalau ada hanya di sebut hadits hasan maka yang dimaksud adalah hadits lidzatih.
b) Hadits hasan lighairih adalah hadits yang pada asalnya adalah hadits dhaif yang kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan karena ada riwayat lain yang mengangkatnya.
Contoh hadits hasan: sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu kuperintahkan mereka bersiwak menjelang setiap sholat, matan hadits ini memiliki jalur sanad, Muhammad bin Amr, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. dan Muhammad bin Amr diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun banyak yang menganggapnya terpecaya hadits ini bersifat hasan lizatih dan sahih lighairih, karena diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari gurunya lagi hadits itu diriwayakan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak orang diantaranya al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’id al-Maqbari. At- Tarmizi ia adalah orang yang pertama kali mengeluarkan hadits hasan.
Meskipun ada hadits dahif yang meningkat menjadi hadis hasan tidak semua hadits dhaif bisa meningkat menjadi hadits hasan, hadits dhaif yang bisa meningkat menjadi hadits hasan adalah hadits-hadits yang tidak terlalu lemah seperti hadits maudhu, matruk, dan munkar derajatnya bisa lebih meningkat, jika hadits diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena banyaknya kesalahan atau karena mufsiq maka ia bukanlah hadits hasan lighairih. Sebaliknya hadits daif yang diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena fasiq atau di tuduh berdusta lalu ada hadits yang juga diriwayatkan oleh periwayat yang kualitasnya sama maka hadits itu bukan hanya tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan melainkan justru hadits itu bertambah dhaif.
- Kehujjahan
- C. Hadits Dhaif
- Pengertian
- Kriteria hadits dhaif
a) Periwatnya seorang pendusta atau tertuduh pendusta,
b) Banyak membuat kekeliruan,
c) Suka pelupa,
d) Suka maksiat atau fasik,
e) Banyak angan-angan,
f) Menyalahi periwayat kepercayaan,
g) Periwayatnya tidak di kenal,
h) Penganut bid’ah bidang aqidah, dan
i) Tidak baik hafalannya.
Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.
Contoh hadits dhaif adalah: “ Bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya”. Hadits ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi, seorang rawi yang masih dipersoalkan.
- Pembagian hadits dhaif
a) Hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan
b) Hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
- Kehujjahan
a) Level kedhaifannya tidak parah. Hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya, dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
b) Berada di bawah nash lain yang shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
c) Ketika mengamalkannya, tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya. Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
- D. Hadits Maudhu
- Pengertian
- Pembagian hadits maudhu
Hadis ini dimulai sejak tahun 41 H pada masa pemerintahan Khalifah keempat ketika muslim saling bersellisih antara kaum khawarij dengan kaum Syiah mereka banyak mengarang hadits untuk keperluannya sendiri inilah pendorong terjadinya pemalsuan hadits pada berbagai masa orang-orang suka menurutkan hawa nafsu terus menerus untuk berbohong.Hammad bin Zaid telah memalsukan tak kurang dari 14.000 hadits palsu dan telah beredar dan Abdul Karim bin Abi Al-Auja telah memalsukan 4000 hadits mengatakan adapun yang melatar belakangi munculnya hadits palsu ini adalah :
a) Untuk menimbulkan kerusuhan didalam agama yang dilakukan oleh orang –orang munafik,
b) Untuk mempertahankan pendapatnya sementara tidak ada dalil yang mengetengahkan yang dilakukan oleh abu al- khathtthab bin Dihyah dan Abdu al- Aziz bin Haris al- hanbali,
c) Untuk menarik perhatian dalam berpidato dan dalam pembicaraan dan simpatti orang yang menamakan dirinya Zuhud,
d) Untuk mempertahankan mahzabnya seperti yang dilakukaukan oleh golongan Khattabiyah dari Aliran Rafidhah,
e) Untuk mendekatkan diri kepada raja-raja atau pejabat dengan membuat hadis maudhu yang cocok dengan program dan tujuan mereka, dan
f) Untuk mencari rezeki dengan membuat haditts-hadits maudhu seperti yang dilakukan oleh pencerita-cerita seperti yang dilakukan oleh Abu Said al- madaini.
- Kriteria hadits maudhu
a) Susunan lafalnya kacau,
b) Maknanya rusak,
c) Bertentangan dengan nas Al-Qur’an yang tidak dapat dilakukan penakwilan,
d) Bertentangan dengan hadis mutawatir,
e) Bertentangan dengan aqidah umum baik dengan Al-Qur’an amupun sunnah, dan
f) Pembuatnya sendiri bahwa ia telah membuat hadis palsu.
BAB III
PENUTUP
- A. Simpulan
Hadits ahad masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat keadilan dan ke dhabithan, ketersambungan sanad dan ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadits mutawatir secara absolute dan pasti (qath’i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadits ahad bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari zhan dan itu sah-sah saja, misalnya menghadap ke kiblat ketika shalat, pemeraan air mandi janabah pada seluruh anggota badan, masuknya waktu imsak dan fajar bagi orang yang berpuasa, dan lain-lain.
Pengertian zhan tidak terpaut dengan syakk (ragu) dan juga tidak terpaut dengan waham. Zhan diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan, sedangkan Syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh).
- B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Khon, A. M. (2008). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.Mudzakir, M. (1998). Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rahman, F. (1974). Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif.
Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
As-Shalih, S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta.
Ismail, M. S. (1994). Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.
*jangan lupa komentarnya ya akh….”
0 Komentar untuk "makalah tentang hadis"