KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI MADRASAH MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejarah
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dapat ditelusuri ke belakang
beberapa abad lalu ketika Islam diperkenalkan oleh pedagang-pedagang
Muslim dari Gujarat pada abad ke-13 (Depag RI,
2005:iii). Sejak saat itu pengajaran Al Qur’an dan pesantren didirikan
di berbagai penjuru tanah air sebagai tempat penyebaran agama Islam.
Dengan latar belakang tersebut, eksistensi Lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia sangat penting bagi system pendidikan nasional
Dalam
Sistem Pendidikan Nasional yang tertera pada Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tercantum bahwa tujuan pendidikan Nasional
adalah meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Salah satu upaya untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan adalah
melalui pendidikan Agama Islam.
Peran
strategis lembaga pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan telah menjadi
perhatian. Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui Kementerian
Agama untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam. Di bawah pengawasan
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, pengembangan lembaga
pendidikan Islam diarahkan pada kontribusi lembaga tersebut terhadap
pembangunan nasional, salah satunya dengan mengintegrasikan pendidikan
agama dalam pendidikan umum kedalam satu system pendidikan nasional.
Madrasah
sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam memiliki peran besar pula
dalam perubahan social. Misi pendidikan pada Madrasah yang mengacu pada
norma keislaman dan ketentuan nilai harus mampu menjadi sebuah
rekonstruksi social yang mengacu pada kaidah al muhafadzah alal qadim as shahih, wal akhdu bil jaded al ashlah.
B. TOPIK PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa permasalahan diantaranya:
1. Bagaimanakah pendidikan Islam madarasah pada masa orde lama?
2. Bagaimanakah pendidikan Islam di madarasah pada masa orde baru?
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DI MADRASAH
MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
A. MASA ORDE LAMA
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia disebabkan oleh dua hal, yaitu karena adanya gerakan pembaruan di Indonesia
dan sebagai respons pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan
Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pada
tanggal 3 Januari 1946 berdasarkan Ketetapan Pemerintah Nomor I s/d
tahun 1946 dalam Kabinet Syahrir (Rahim, 2001:49) dibentuklah Departemen
Agama (sekarang Kementerian Agama) yang bertugas mengurus masalah
keberagaman di Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan, khususnya
madrasah. Dalam tahun-tahun pertama, Departemen Agama membuat divisi
khusus yang menangani pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan
agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren) (Maksum dalam Nizar,
2007:293). Departemen Agama bertugas membina, membantu, dan memajukan
kehidupan beragama di Indonesia (Rahim, 2001:49).
Indonesia
memiliki Undang-undang yang mengatur pendidikan setelah lima tahun
pasca kemerdekaan, yaitu UU nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang diumumkan 5 April 1950 di
Yogyakarta dan dinyatakan berlaku nasional empat tahun berikutnya
setelah UU nomor 12 tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya UU nomor 4
tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan
dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh Indonesia. Undang-undang inilah
yang kemudian dijadikan dasar penyelenggaan pendidikan Islam di
Indonesia selama 39 tahun berikutnya (Soebahar, 2005:11). Bersamaan
dengan perkembangan pendidikan agama di sekolah umum, perhatian terhadap
madrasah atau pendidikan Islam umumnya terjadi sejak Badan Pekerja
komite Nasional Indonesia Pusat (BPKIP) di masa setelah kemerdekaan
mengeluarkan maklumatnya tertanggal 22 Desember 1945. Isinya
menganjurkan bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran agar
pengajaran di langgar, surau, masjid, dan madrasah berjalan terus dan
ditingkatkan (Depag RI, 2005:62)
Madrasah
disini kemudian memiliki konotasi spesifik dimana anak memperoleh
pendidikan agama. Perhatian pemerintah terhadap Madrasah terbukti sejak
Departemen Agama dalam struktur organisasinya memperuntukkan bagian C
bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurus masalah pendidikan
agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah
dan pesantren). Namun perhatian pemerintah yang begitu besar di awal
kemerdekaan yang dilandasi dengan tugas Departemen Agama dan beberapa
keputusan BP KNIP tampaknya tidak berlanjut. hal ini tampak ketika
Undang-undang Pendidikan Nasional pertama, yaitu UU nomor 4 tahun 1950
jo UU nomor 12 tahun 1954 diundangkan, masalah madrasah dan pesantren
tidak dimasukkan sama sekali, yang ada hanyalah masalah pendidikan agama
di sekolah umum dan pengakuan belajar di sekolah agama yang telah
mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban
belajar, yang berdampak, madrasah dan pesantren dianggap diluar system,
padahal, pada tanggal 27 Desember 1945 BP KNIP dalam rapatnya
merekomendasikan agar madrasah dan pesantren mendapat perhatian,
tuntunan, dan bantuan material dari pemerintah karena madrasah dan
pesantren pada hakikatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan
dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalam masyarakat
Indonesia. BP KNIP juga memutuskan untuk membentuk komisi khusus dengan
tugas merumuskan lebih terperinci mengenai garis besar pendidikan di Indonesia.
komisi ini dikenal dengan nama Panitia Penyelidik Pengajaran Republik
Indnesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Dalam laporan yang
disusun oleh Panitia tanggal 2 juli 1946 diusulkan:
1. Pelajaran Agama dalam semua sekolah diberikan pada jam pelajaran sekolah
2. Para guru dibayar oleh pemerintah
3. Pada Seklah Dasar, pendidikan agama diberikan mulai kelas IV
4. Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu
5. Para guru diangkat oleh Departemen Agama
6. Para guru agama diharuskanjuga cakap dalam pendidikan umum
7. Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama
8. Diadakan latihan bagi para guru agama
9. Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki
10. Pengajaran Bahasa Arab tidak dibutuhkan
(Rahim, 2001:53)
Bentuk
pertama pembinaan terhadap madrasah dan pesantren setelah Indnesia
merdeka adalah sebagaimana ditentukan dalam Permenag Nomor I tahun 1946
tanggal 19 Desember 1946 tentang pemberian bantuan madrasah. Peraturan
tersebut menjelaskan bahwa madrasah adalah tiap-tiap tempat pendidikan
yang mengajarkan ilmu pengetahuan Agama Islam sebagai pokok
pengajarannya. Bantuan tersebut diberikan setiap tahun berupa uang dan
terbatas untuk beberapa karesidenan di DIY, Jakarta dan Surakarta.
Bantuan tersebut berupa uang yang hanya boleh digunakan untuk memberi
tunjangan guru,membeli alat pelajaran, menyewa atau memelihara gedung
madrasah dan membiayai administrasi. Peraturan tersebut juga
mencantumkan bahwa dalam madrasah hendaknya diajarkan umum,setidaknya
Bahasa Indonesia, berhitung dan membaca serta menulis huruf latin pada
madrasah tingkat rendah, ditambah ilmu bumi, sejarah, kesehatan tumbuhan
dan alam pada madrasah lanjutan. Jumlah jam pelajaran untuk pengetahuan
umum sekurang-kurangnya sepertiga jumlah jam seluruhnya. Ketentuan ini
dilatarbelakangi saran Panitia Penyidik Pengajaran. Selain itu,
peraturan ini juga menyebutkan bahwa jemjang pendidikan dalam Madrasah
tersusun dalam:
1. Madrasah Tingkat Rendah dengan lama belajar sekurang-kurangnya 4 tahun dan berumur 6 sampai 15 tahun
2. Madrasah
Lanjutan dengan masa belajar sekurang-kurangnya 3 tahun setelah taman
Madrasah Tingkat Rendah dan berumur 11 tahun keatas.
Peraturan
ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama nomor 7 tahun
1952 yang berlaku untuk seluruh wilayah RI. Dalam peraturan tersebut
disebutkan bahwa jenjang pendidikan madrasah adalah:
1. Madrasah Rendah (sekarang Madrasah Ibtidaiyah) dengan masa 6 tahun
2. Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama Osekarang Madrasah Tsanawiyah) lama belajar 3 tahun setelah tamat MI
3. Madrasah Lanjutan Atas (sekarang Madrasah Aliyah) lama belajar 3 tahun setelah tamat MTs (Rahim, 2001:54)
Lebih lanjut Rahim menjelaskan:
”Prestasi
besar yang pernah dilaksanakan Departemen Agama dalam penyelenggaraan
madrasah adalam mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB). Madrasah ini
mencoba menjabarkan ide dalam UU nomor 4 tahun 1950 pasal 10 ayat 2 yang
berbunyi "belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari
Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar...". MWB mulai
diperkenalkan pada tahun ajaran 1958/1959. Dalam MWB siswa tidak hanya
dididik pengetahuan umum dan agama,tetapi juga keterampilan untuk
mendukung kesiapan anak didik untuk berproduksi atau bertransmigrasi
dengan swadaya dan keterampilan yang diperoleh di MWB. Lama belajar MWB 8
tahun. Namun sayang,pada tahun 1970 MWB terhenti terutama setelah
bantuan untuk madrasah berangsur-angsur berkurang (2001:58).
Selain
madrasah, di lingkungan Departemen Agama juga didirikan Sekolah Dinas
untuk memenuhi dan merealisasikan rekomendasi BP KNIP dan Panitia
Penyelidik Pengajaran mengenai pendidikan agama di sekolah umum.
Dorongan itu makin mendesak setelaah ditetapkannya Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan nomor
1142/bhg. A (pengajaran) tanggal 2 Desember 1946 dan nomor 12857/KJ
(agama) tanggal 12 Desember 1946 yang menetapkan adanya pengajaran agama
di sekolah Rakyat Negeri yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1947.
Kewajiban
menyiapkan guru agama untuk sekolah negeri inilah yang mendorong
Departemen Agama mengambil langkah penyiapan, diantaranya:
1. Jangka
pendek, yaitu menyelenggarakan kursus singkat calon guru agama selama 2
minggu, dan menyelenggarakan ujian calon guru agama untuk sekolah
rakyat berdasarkan Peraturan Menteri Agama nomor 3 tahun 1951.
2. Jangka
panjang, yaitu membuka pendidikan khusus untuk menyiapkan calon guru
agama. Pada tanggal 16 Mei 1948 di Solo didirikan Sekolah Guru dan Hakim
Agama Islam (SGHAI)
Dalam penyiapan calon guru agama dan hakim agama, Drs. Sigit, Kepala Jawatan Agama RI (1950-1952) merencanakan program:
1. Pembukaan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) SGAI pada tahun 1950 diubah menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA)
2. Pembukaan Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI)
(Rahim,2001:63)
B. MASA ORDE BARU
Terminologi
“modernisasi madrasah” mulai menguat saat orde baru melancarkan
manuver-manuver politik pendidikannya, baik melalui jalan frmalisasi
yaitu usaha penegerian madrasah, maupun melalui jalan strukturisasi,
yaitu perjenjangan madrasah dengan mengacu pada aturan Departemen
pendidikan (Depag RI, 2005:5).
Pendidikan
Islam kala itu masih tersisih dari system Pendidikan Nasional. Keadaan
ini berlangsung sampai dikeluarkannya SKB 3 menteri tanggal 24 Maret
1975 yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk
memasuki mainstream pendidikan Nasional. SKB ini mencoba meregulasi
madrasah secara integral komprehensip. Era ini dikenal dengan era baru
madrasah yang ditandai dengan efektifnya pembenahan madrasah di
tahun-tahun berikutnya dengan porsi kurikulum pendidikan umum 70% dan
pendidikan agama 30% (Depag RI, 2005:6). Terbitnya SKB ini bertujuan
antara lain untuk meningkatkan mutu pendidikan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam khususnya untuk bidang non agama. Kebijakan ini membawa
pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena ijazahnya dapat
mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan sederajat; lulusan
madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi;
dan siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat, serta
membuka peluang siswanya memasuki peluang wilayah pekerjaan modern
(Nizar, 2007:294).
Lebih
lanjut Nizar menjelaskan, dengan adanya SKB tersebut, madrasah
memperoleh definisi yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang
setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada di bawah
naungan Departemen Agama. Pada perkembangan selanjutnya, di akhir dekade
1980-an, dunia pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan lahirnya
UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang makin
menempatkan eksistensi madrasah sebagai lembaga yang bercirikan Islam,
dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam
dan kurikulum Madrasah sama persis dengan sekolah, plus pelajaran Agama
Islam sebanyak 7 mata pelajaran. Secara perasional, integrasi Madrasah
ke dalam system Pendidikan Nasional ini dikuatkan dengan PP Nomor 28
tahun 1990 dan SK Meteri Pendidikan Nasional Nomor 0478/U/1992 dan nomor
054/U/1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan
bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD/SMP. Keputusan-keputusan
ini ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama nomor 368 dan 369 tahun 1993
tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sedangkan tentang MA diperkuat
dengan PP nomor 29 tahun 1990, SK Mendiknas nomor 0489/U/1992 (MA
sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menteri Agama nmor 370
tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada lagi perbedaan antara
MI, MTs, MA dengan SD, SMP, dan SMA selain cirri khas agama Islamnya (Depag RI, 2005:65).
Berikut
ini beberapa pengembangan madrasah yang dilakukan oleh Departemen Agama
dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, untuk meningkatkan mutu
lulusan agar memiliki kompetensi yang dapat diterima oleh masyarakat
(Depag RI, 2005:8-10)
1. Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK)
Prof.
Munawir Sadzali ketika menjadi Menteri Agama periode tahun 1983-1993
mengintrodusir_sebagai solusi terhadap apa yang disebutnya sebagai
‘krisis ulama’ mendirikan Madrasah Aliyah Program Keagamaan. Lahirnya
Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 371 tahun 1984 tentang Pengembangan
Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK) dari Madrasah Aliyah regular
pada hakikatnya adalah merupakan substansi kembalinya Madrasah Aliyah
pada jati dirinya dalam membekali dan memperkuat para siswa untuk
mempelajari bahasa terutama Bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama secara lebih
komprehensip dengan system boarding school. Penyederhanaan
terhadap MAPK menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) tertuang dalam
Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 371 tahun 1993. Program Keagamaan
ini menjadi salah satu jurusan yang ada pada Madrasah Aliyah tertentu.
2. Madrasah Aliyah Program Keterampilan
Madrasah
Aliyah Program Keterampilan bukan suatu lembaga pendidikan yang berdiri
sendiri melainkan dikembangkan oleh Madrasah Aliyah tertentu. Madrasah
Aliyah Program Keterampilan mulai dicanangkan pada tahun 1988/1989 berdasar Piagam Kerja Sama Departemen Agama dengan United Nation Development Program (UNDP) Nomor INS/85/036/A/01/13, tanggal 14 Desember 1987. Keterampilan yang diujicobakan adalah keterampilan
otomotif, keterampilan elektronika, dan keterampilan tata busana.
Madrasah Aliyah Program Keterampilan ini pertama kali diadakan di empat
tempat, yaitu pada MAN Garut, MAN Kendal, MAN Jember dan MAN
Bukittinggi.
3. Madrasah Model
Pada
tahun 1993, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Model mulai dipopulerkan dengan
mendirikan sebanyak 54 MTs. Pada tahun 1997, Madrasah Model dikembangkan
pula pada Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Aliyah dengan jumlah MI
Model sebanyak 44 madrasah, MTs Model 69 Madrasah, dan MA Model sebanyak
35 madrasah.
4. Madrasah Tsanawiyah Terbuka
Madrasah
Tsanawiyah Terbuka dimulai pada tahun ajaran 1996/1997 sebagai respons
kebijakan pemerintah tentang penuntasan percepatan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun (wajar
dikdas 9 tahun). Operasionalisasi Madrasah Tsanawiyah Terbuka dilakukan
oleh Departemen Agama bekerjasama dengan Pusat Teknologi Komunikasi
Departemen Pendidikan Nasional. Madrasah Tsanawiyah Terbuka
diselenggarakan di Pondok-pondok Pesantren Salafiyah. Tujuan
diselenggarakannya MTs Terbuka adalah untuk memberikan kesempatan
belajar seluas-luasnya terhadap masyarakat khususnya para kaum santri
yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena
factor ekonomi, geografis atau faktor lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pertumbuhan pendidikan keagamaan di Indonesia
pasca kemerdekaan didorong oleh berkembangnya lembaga keagamaan yang
tumbuh dari gerakan-gerakan pembaruan yang peduli terhadap pendidikan
Islam. Pada tanggal 3 Januari 1946, dibentuklah Departemen Agama yang menangani masalah keagamaan khususnya madrasah.
Departemen
Agama banyak meregulasi madrasah khusunya dengan memberikan bantuan
dana dan menetapkan perjenjangan madrasah serta menyelenggarakan
Madrasah Wajib Belajar dan Sekolah Dinas untuk guru agama.
Pada
masa orde baru, sejak dikeluarkannya SKB 3 menteri tanggal 24 Maret
1975, madrasah semakin menemukan eksistensinya yang ditandai dengan
efektifnya pembenahan madrasah di tahun-tahun berikutnya dengan porsi
kurikulum pendidikan umum 70% dan pendidikan agama 30%. pada akhir
decade 1980-an, dunia pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan
lahirnya UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
makin menempatkan eksistensi madrasah sebagai lembaga yang bercirikan
Islam
B. SARAN
Sebagai
pihak-pihak yang peduli terhadap perkembangan madrasah, hendaknya kita
senantiasa memberikan perhatian besar terhadap pendidikan Islam terutama
perkembangan Madrasah, baik itu dengan menyumbangkan ide-ide yang
konstruktif untuk kemajuan Madrasah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2004. Madrasah Aliyah Kejuruan, Arah dan Prospek Pengembangan. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
__________________. 2005. Desain Pengembangan Madrasah.. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
__________________. 2005. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Paradigma Baru). Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
__________________. 2005. Profil Madrasah Aliyah. Jakarta: Bagian Data dan Informasi Pendiikan Dirjen Bagais
__________________. 2005. Profil Madrasah Tsanawiyah.. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
__________________. 2005. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
__________________. 2006. Undang-undang Republik Indnesia tentang Guru dan Dosen, serta Undang-undang Republik Indnesia tentang SISDIKNAS. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
Nata, Abuddin. 2003. Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nizar, Samsul.2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos
Soebahar, Abdul Halim. 2005. Matriks Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Marwa
0 Komentar untuk " "