SEJARAH PEMBUKUAN AL-QUR'AN
Mushaf Al Quran yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Al Quran langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al Quran), dan kamilah yang akan menjaganya”..
Pada permulaan Islam, kebanyakan orang bangsa
Arab Islam adalah bangsa yang buta huruf, sangat sedikit di antara
mereka yang tahu menulis dan membaca. Mereka belum mengenal kertas
seperti kertas yang ada sekarang. Perkataan “al waraq” (daun) yang
digunakan dalam mengatakan kertas pada masa itu hanyalah pada daun kayu
saja. Kata “al qirthas” digunakan oleh mereka hanya merujuk kepada
benda-benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis seperti
kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah tamar/kurma, tulang
binatang dan sebagainya.
Setelah mereka menaklukkan negeri Persia, yaitu sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW barulah mereka mengenal kertas. Orang Persia menamakan kertas itu sebagai “kaqhid”. Maka digunakan kata itu untuk kertas oleh bangsa Arab Islam semenjak itu. Sebelum Nabi Muhammad atau semasa zaman Nabi Muhammad kata “kaqhid” itu tidak ada digunakan di dalam bahasa Arab, atau pun dalam hadis-hadis Nabi. Kemudian kata “al qirthas” digunakan pula oleh bangsa Arab Islam ini kepada apa yang dinamakan “kaqhid” dalam bahasa Persia itu. Kitab atau buku tentang apapun juga belum ada pada mereka. Kata-kata “kitab” di masa itu hanyalah bermaksud dalam bentuk seperti sepotong kulit, batu atau tulang dan sebagainya. Begitu juga dalam arti kata surat seperti pada ayat 28 dari surah An Naml di bawah.
“Pergilah dengan surat saya ini, maka jatuhkanlah dia kepada mereka..”
Begitu juga “kutub” (jama kitab) yang dikirimkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada raja-raja di masanya untuk menyeru mereka kepada Islam.
Walaupun kebanyakkan bangsa Arab Islam pada masa itu masih buta huruf, namun mereka mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, ansab (silsilah keturunan) mereka, peperangan-peperangan yang terjadi di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan lain-lain sebagainya, adalah kepada hafalan semata-mata. Demikianlah keadaan bangsa Arab di waktu kedatangan Islam itu. Maka dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW suatu cara yang amali (praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Al Quran dan memeliharanya. Tiap-tiap diturunkan ayat-ayat itu, Nabi Muhammad SAW menyuruh menghafalnya dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelepah tamar dan apa saja yang bisa disusun dalam sesuatu surat. Nabi Muhammad menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi Muhammad mengadakan peraturan, yaitu Al Quran sajalah yang boleh dituliskan. Selain daripada Al Quran, Hadis-hadis atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi Muhammad dilarang menuliskannya. Larangan ini bermaksud supaya Al Quran itu terpelihara, jangan campur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi Muhammad.
Nabi menganjurkan supaya Al Quran itu dihafal, selalu dibaca dan diwajibkannya membacanya dalam solat. Maka dengan itu banyaklah orang yang hafal Al Quran. Surah yang satu dihafal oleh ribuan manusia dan banyak yang hafal seluruh Al Quran. Dalam pada itu tidak ada satu ayatpun yang tidak dituliskan. Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai dan dianjurkan oleh Nabi Muhammad sehingga baginda bersabda, “Di akhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan ditimbang dengan darah syuhada (orang-orang yang mati syahid)” Hal ini menunjukkan bahwa beliau ridho akan penulisan selain Al-Qur’an setelah beliau wafat. Maka tidaklah mengapa penulisan Hadits, ilmu fiqih, dan penulisan ilmu-ilmu lainnya setelah beliau SAW wafat.
Dalam peperangan Badar, orang-orang musyrikin yang ditawan oleh orang-orang Islam, yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi mempunyai pengetahuan dalam menulis dan membaca, masing-masing diharuskan mengajar sepuluh orang Muslim agar dapat menulis dan membaca sebagai ganti tebusan. Di dalam Al Quran pun banyak ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena dan tulisan. Contohnya seperti ayat di bawah,
“Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan.” (QS. Al-Qalam: 1)
“Bacalah, dan Tuhanmu amat mulia. Yang telah mengajar dengan pena. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-’Alaq: 3, 4 dan 5)
Karena itu bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan membaca di kalangan orang-orang muslim, dan semakin bertambah banyaklah di antara mereka yang pandai menulis dan membaca dan semakin banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah diturunkan itu. Nabi Muhammad sendiri mempunyai beberapa orang penulis yang bertugas menuliskan Al Quran untuk baginda. Penulis-penulis beliau yang terkenal ialah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Mu’awiyah. Shahabat yang terbanyak menuliskannya ialah Zaid bin Tsabit.
Dengan demikian, di zaman Nabi Muhammad, terdapat 3 unsur yang tolong-menolong memelihara Al Quran yang telah diturunkan itu:
1. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Quran.
2. Naskah-naskah Al-Qur’an yang ditulis atas perintah Nabi Muhammad.
3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Dalam pada itu, oleh Jibril diadakan ulangan bacaan sekali setahun. Di dalam ulangan bacaan itu, Nabi Muhammad disuruh mengulang memperdengarkan Al Quran yang telah diturunkan itu. Di tahun baginda wafat, ulangan bacaan itu diadakan oleh Jibril dua kali. Nabi Muhammad sendiri pun sering pula mengadakan ulangan bacaan itu terhadap sahabat-sahabatnya. Maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh Nabi Muhammad membacakan atau memperdengarkan Al Quran itu di hadapannya. Ini untuk menetapkan atau memperbetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi Muhammad wafat, Al Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dan surah-surahnya telah disusun menurut tertib urut yang dipertunjukkan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka telah mendengar Al Quran itu dari mulut Nabi Muhammad berkali-kali, dalam solat, dalam pidato-pidato baginda, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi Muhammad SAW sendiri telah mendengar pula dari mereka. Dalam makna lain, Al Quran adalah dijaga dan terpelihara dengan baik, dan Nabi Muhammad telah mengadakan satu kaidah yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Quran itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab Islam ketika itu.
Al-Quran pada jaman Rasulullah SAW.Setelah mereka menaklukkan negeri Persia, yaitu sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW barulah mereka mengenal kertas. Orang Persia menamakan kertas itu sebagai “kaqhid”. Maka digunakan kata itu untuk kertas oleh bangsa Arab Islam semenjak itu. Sebelum Nabi Muhammad atau semasa zaman Nabi Muhammad kata “kaqhid” itu tidak ada digunakan di dalam bahasa Arab, atau pun dalam hadis-hadis Nabi. Kemudian kata “al qirthas” digunakan pula oleh bangsa Arab Islam ini kepada apa yang dinamakan “kaqhid” dalam bahasa Persia itu. Kitab atau buku tentang apapun juga belum ada pada mereka. Kata-kata “kitab” di masa itu hanyalah bermaksud dalam bentuk seperti sepotong kulit, batu atau tulang dan sebagainya. Begitu juga dalam arti kata surat seperti pada ayat 28 dari surah An Naml di bawah.
“Pergilah dengan surat saya ini, maka jatuhkanlah dia kepada mereka..”
Begitu juga “kutub” (jama kitab) yang dikirimkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada raja-raja di masanya untuk menyeru mereka kepada Islam.
Walaupun kebanyakkan bangsa Arab Islam pada masa itu masih buta huruf, namun mereka mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, ansab (silsilah keturunan) mereka, peperangan-peperangan yang terjadi di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan lain-lain sebagainya, adalah kepada hafalan semata-mata. Demikianlah keadaan bangsa Arab di waktu kedatangan Islam itu. Maka dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW suatu cara yang amali (praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Al Quran dan memeliharanya. Tiap-tiap diturunkan ayat-ayat itu, Nabi Muhammad SAW menyuruh menghafalnya dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelepah tamar dan apa saja yang bisa disusun dalam sesuatu surat. Nabi Muhammad menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi Muhammad mengadakan peraturan, yaitu Al Quran sajalah yang boleh dituliskan. Selain daripada Al Quran, Hadis-hadis atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi Muhammad dilarang menuliskannya. Larangan ini bermaksud supaya Al Quran itu terpelihara, jangan campur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi Muhammad.
Nabi menganjurkan supaya Al Quran itu dihafal, selalu dibaca dan diwajibkannya membacanya dalam solat. Maka dengan itu banyaklah orang yang hafal Al Quran. Surah yang satu dihafal oleh ribuan manusia dan banyak yang hafal seluruh Al Quran. Dalam pada itu tidak ada satu ayatpun yang tidak dituliskan. Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai dan dianjurkan oleh Nabi Muhammad sehingga baginda bersabda, “Di akhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan ditimbang dengan darah syuhada (orang-orang yang mati syahid)” Hal ini menunjukkan bahwa beliau ridho akan penulisan selain Al-Qur’an setelah beliau wafat. Maka tidaklah mengapa penulisan Hadits, ilmu fiqih, dan penulisan ilmu-ilmu lainnya setelah beliau SAW wafat.
Dalam peperangan Badar, orang-orang musyrikin yang ditawan oleh orang-orang Islam, yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi mempunyai pengetahuan dalam menulis dan membaca, masing-masing diharuskan mengajar sepuluh orang Muslim agar dapat menulis dan membaca sebagai ganti tebusan. Di dalam Al Quran pun banyak ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena dan tulisan. Contohnya seperti ayat di bawah,
“Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan.” (QS. Al-Qalam: 1)
“Bacalah, dan Tuhanmu amat mulia. Yang telah mengajar dengan pena. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-’Alaq: 3, 4 dan 5)
Karena itu bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan membaca di kalangan orang-orang muslim, dan semakin bertambah banyaklah di antara mereka yang pandai menulis dan membaca dan semakin banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah diturunkan itu. Nabi Muhammad sendiri mempunyai beberapa orang penulis yang bertugas menuliskan Al Quran untuk baginda. Penulis-penulis beliau yang terkenal ialah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Mu’awiyah. Shahabat yang terbanyak menuliskannya ialah Zaid bin Tsabit.
Dengan demikian, di zaman Nabi Muhammad, terdapat 3 unsur yang tolong-menolong memelihara Al Quran yang telah diturunkan itu:
1. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Quran.
2. Naskah-naskah Al-Qur’an yang ditulis atas perintah Nabi Muhammad.
3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Dalam pada itu, oleh Jibril diadakan ulangan bacaan sekali setahun. Di dalam ulangan bacaan itu, Nabi Muhammad disuruh mengulang memperdengarkan Al Quran yang telah diturunkan itu. Di tahun baginda wafat, ulangan bacaan itu diadakan oleh Jibril dua kali. Nabi Muhammad sendiri pun sering pula mengadakan ulangan bacaan itu terhadap sahabat-sahabatnya. Maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh Nabi Muhammad membacakan atau memperdengarkan Al Quran itu di hadapannya. Ini untuk menetapkan atau memperbetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi Muhammad wafat, Al Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dan surah-surahnya telah disusun menurut tertib urut yang dipertunjukkan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka telah mendengar Al Quran itu dari mulut Nabi Muhammad berkali-kali, dalam solat, dalam pidato-pidato baginda, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi Muhammad SAW sendiri telah mendengar pula dari mereka. Dalam makna lain, Al Quran adalah dijaga dan terpelihara dengan baik, dan Nabi Muhammad telah mengadakan satu kaidah yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Quran itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab Islam ketika itu.
Pengumpulan Al Quran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama : al Jam’u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al Jam’u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al Quran. Rasul SAW bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al Quran, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al Quran maka hendaklah ia menghapusnya ” (Hadist dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal dan Ahmad (hal 1).
Biasanya sahabat menuliskan Al Quran pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al Quran waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al Quran telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: “Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al Quran (mengumpulkan) pada kulit binatang “.
Dari kebiasaan menulis Al Quran ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma’qal.
Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al Quran pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al Quran ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian membawa catatan Al Quran ke wilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al Quran tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Kisah masuk islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al Quran kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam.
Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w Al Quran selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Al Quran diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
Al-Quran pada zaman Khalifah Abu Bakar as Sidq
SEPENINGGAL Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al Quran yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah Al Quran yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi: “Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :” Umar menghadap kepadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al Quran, aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al Quran di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al Quran, menurutku sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al Quran, lalu aku berkata kepada Umar : ” bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s. a. w. ?” Umar menjawab: “Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan”. Selanjutnya Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Al Quran.
Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : “engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al Quran) untuk Rasulullah s. a. w., maka sekarang periksa dan telitilah Al Quran lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf”.
Zaid berkata : “Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al Quran. Kemudian aku teliti Al Quran dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain).
Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.
Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al Quran menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al Quran dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : ” Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Al Quran, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al Quran sebagai Mushaf).
Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Al Quran sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma’qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : “Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al Quran yang dikumpulkan dan di bundel sebagai MUSHAF” dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al Quran yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Al Quran sendiri kata Suhuf (naskah ; jama’nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 ” Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al Quran)”
Al-Quran pada jaman khalifah Umar bin Khatab
Tidak ada perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Al Quran yang dilakukan oleh khalifah kedua ini selain melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah pertama yaitu mengemban misi untuk menyebarkan islam dan mensosialisasikan sumber utama ajarannya yaitu Al Quran pada wilayah-wilayah daulah islamiyah baru yang berhasil dikuasai dengan mengirim para sahabat yang kredibilitas serta kapasitas ke-Al-Quranan-nya bisa dipertanggungjawabkan Diantaranya adalah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda’.
Al-Quran pada jaman khalifah Usman bin `Affan
Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (’Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al Quran yang mengarah kepada perselisihan.
Ia berkata : “wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al Quran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani “.
Lalu Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al’Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain.
Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al Quran ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al Quran diturunkan dengan
gaya bahasa mereka.
Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al Quran selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.
Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al Quran. Adapun Tulisan yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).
Tanda Yang Mempermudah Membaca Al-Quran[/b]
Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di
kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan umat islam dilarang untuk melihatnya.
Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara di bagian asia tengah).
Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di
kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di
kota Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang asli apa adanya.
Sampai suatu saat ketika umat islam sudah terdapat hampir di semua belahan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda sehingga memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca (Nuqathu I’rab) yang berupa tanda titik.
Atas persetujuan dari khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy membuat tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad adDualy menjumpai seseorang yang bukan orang arab dan baru masuk islam membaca kasrah pada kata “Warasuulihi” yang seharusnya dibaca “Warasuuluhu” yang terdapat pada QS. At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak makna.
Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk menandai fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk menandai Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang berawalan huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal seperti “adzabun alim” dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai Idgham seperti “ghafurrur rahim”.
Adapun yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah (40-95 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy (W.170 H) pada abad ke II H.
Kemudian pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Al Quran khususnya bagi orang selain arab dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan Mad.
Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat dan mencamtumkan nomor ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al Quran adalah Tajzi’ yaitu tanda pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz dan diikuti dengan penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz dan Juz itu sendiri.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Al Quran disalin dan diperbanyak dari mushaf utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah Al-Qur’an untuk pertama kali di
Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M.
Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini semakin mempermudah umat islam memperbanyak mushaf Al Quran. Mushaf Al Quran yang pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri adalah mushaf edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg Rusia.
Kemudian diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di
Kazan pada tahun 1828, Persia Iran tahun 1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman , Fluegel, menerbitkan Al Quran yang dilengkapi dengan pedoman yang amat bermanfaat.
Sayangnya, terbitan Al Quran yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan sistem yang digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Al Quran dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.
Cetakan Al Quran yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al Quran dicetak dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan memakai
huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.
0 Komentar untuk "SEJARAH PEMBUKUAN AL-QUR'AN"