BAB
II
PEMBAHASAN
1.
PENDAHULUAN
Dinasti Bani Abbassiyah terbentuk melalui proses perebutan
kekuasaan dari Bani Umayyah. Dengan dasar pemikiran bahwa kekuasaan harus
berasal dari keturunan yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW, maka Abu
al-Abbas al-Saffah yang didukung oleh seorang panglima yaitu, Abu Muslim
al-Khurasani serta berbagai kelompok pemberontak, seperti kaum Syiah, oposisi
pimpinan al-Mukhtar, dan lainnya, berhasil mengalahkan khalifah Bani Umayyah
terakhir, yaitu Khalifah Marwan II pada tahun 750 M/132 H.
Dinasti Abbasiyah tergolong yang paling lama berkuasa, yaitu mulai
dari Abu al-Abbas Assafah di tahun 750 M sampai dengn Al-Mu’tashim di tahun
1258 M. Dalam waktu selama lebih dari lima abad tersebut kepemimpinan dinasti
Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37 khalifah. Namun dari 37 orang khalifah
Bani Abbas tersebut ada lima khalifah yang paling terkenal, yitu Abu al-Abbas
al-Saffah, Abu Ja’far al-Mansur, al-Mahdi, Harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun.
Secara umum keadaan social, politik, dan keagamaan pada zaman
Abbasiyah telah mencapai perkembangan dan kemajuan dibandingkan dengan zaman
sebelumnya. Zaman Bani Abbas-lah dunia islam mencapai puncak kejayaan dan
keemasannya di dunia. Namun dari semua khalifah yang Bani Abbas, tentu tidak
semua khalifah memiliki karakter sebagai khalifah yang cerdas, berani,
bertanggung jawab, cinta ilmu, dan berkepribadian mulia. Diantara meraka ada
yang kemampuan akhlaknya yang kurang baik, bahkan dapat dikatakan lemah. Inilah
yang selanjutnya menyebabkan dinasti Abbasiyah mengalami kehancuran.
A.
Sejarah Berdirinya Daulah Abbasiyah
Berdirinya daulah Abbasiyah diawali dengan dua strategi, yaitu:
1.
System mencari pendukung dan penyebaran ide secara rahasia, hal ini
berlangsung sejak akhir abad pertama hijriah yang bermarkas di Syam dan
tempatnya di Alhamimah. System ini berakhir dengan bergabungnya Abu muslim al-
Khurasani pada jum’iyah yang sepakat atas terbentuk Daulah Abbasiyah
2.
Strategi kedua dilanjutkan dengan terang-terangan dan
himbauan-himbauan di forum-forum resmi untuk mendirikan daulah abbasiyah
berlanjut dengan peperangan melawan daulah umawiyah.
Berbagai teknis diterapkan oleh pengikut Muhammad Al-‘Abbasy,
seperti sambil berdagang dan melaksanakan haji. Di balik itu terpogram bahwa
mereka menyebarkan ide dan mencari pendukung terbentuknya daulah.
Faktor-faktor pendorong berdirinya daulah Abbasiyah dan penyebab
suksesnya, yaitu sebagai berikut :
a.
Banyak terjadi perselsihan
antara intern bani Umawiyah pada dekade akhir pemerintahannya hal ini diantara
penyebabnya memperebutkan kursi kekhalifahan dan harta
b.
Pendeknya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan bani
umawiyah, seperti khalifah Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6
bulan
c.
Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang
dikerjakan oleh Marwan bin Muhammad yang menjadikan anaknya Abdullah dan
Ubaidillah sebagai putra mahkota
d.
Bergabungnya sebagian afrad keluarga umawi kepada
madzhab-madzhab agama yang tidak benar menurut syariah, seperti Al Qadariyah
e.
Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan bani
umawiyah
f.
Kesombongan pembesar-pembesar bani Umawiyah pada akhir
pemerintahannya
g.
Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non-arab)[1]
B. Sejarah
Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasyiyah
Popularitas
daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun
Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M). Harun Al-Rasyid adalah figur khalifah shaleh ahli ibadah, senang bershadaqah, sangat mencintai
ilmu sekaligus mencintai para ‘ulama, senang dikritik serta sangat merindukan nasihat terutama dari para
‘ulama. Pada masa pemerintahannya dilakukan sebuah gerakan penerjemahan
berbagai buku Yunani dengan menggaji para penerjemah dari golongan Kristen dan
penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, yang salah
satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul Hikmah, sebagai pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang
besar. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan
berdiskusi.
Harun Al-Rasyid juga
menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi keperluan sosial.
Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya
sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat yang tak tertandingi.[2]
C.
Periodesasi Masa Abbasiyah
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam,
atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’[3].
Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang
ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai
cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku
dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan
cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di
berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Daulah Abbasiyah didirikan oleh keturunan Abbas
paman Rasulullah, yaitu : Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
al-Abbas[4].
Kekuasaan daulah abbasiyah dibagi dalam lima periode, yaitu[5]:
1.
Periode
I (132 H/750 M-232 H/847 M ), masa pengaruh Persia pertama
2.
Periode
II (232 H/847 M-334 H/945 M), masa pengaruh Turki pertama
3.
Periode
Iii (334 H/945 M-447 h/1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh Persia
kedua
4.
Periode
IV (447 H/1055 M-590 h/1194 M), masa Bani Saljuk, pengaruh Turki kedua
5.
Periode
V (590 H/1104 M-656 h/1250 M), masa kebebasan dari pengaruh Dinasti lain.
Daulah
Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya pada periode I. Para
khalifah pada masa periode I dikenal sebagai tokoh yang kuat, pusat kekuasaan
politik, dan agama sekaligus. Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya
pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833
M). Kekayaan yang dimiliki khalifah harun al-rasyid dan puteranya Al-Ma’mun
digunakan untuk kepentingan sosial seperti, lembaga pendidikan, kesehatan,
rumah sakit, pendidikan ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan
berada pada zaman keemasan. Al-Ma’mun khalifah yang cinta kepada ilmu, dan
banyak mendirikan sekolah.
Tidak
hanya mencakup kepentingan sosial saja, masa ini juga masa kejayaan umat islam
sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir
mencakup semua aspek kehidupan, seperti :
a.
Administratif pemerintahan dengan biro-bironya;
b.
Sistem organisasi militer;
c.
Administrasi wilayah pemerintahan;
d.
Pertanian, perdagangan, dan industri;
e.
Islamisasi pemerintahan;
f.
Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi,
matematika, geografi, historiografi, filsafat islam, teologi, hukum (fiqh), dan
etika islam, sastra, seni, dan penerjemahan;
g.
Pendidikan, kesenian, arsitektur, meliputi
pendidikan dasar (kuttab), menengah, dan perguruan tinggi; perpustakaan dan
toko buku, media tulis, seni rupa, seni musik, dan arsitek[6].
D. Tujuan Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Pada masa Nabi masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu
saja, yaitu keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap
keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu telah
bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Tujuan Keagamaan Dan Akhlak
Sebagaiman pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca
atau menghafal Al-Qur’an, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya
mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama.
2. Tujuan Kemasyarakatan
Para pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat
mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan
kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat
yang mundur menuju masyarakat yang maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan
tersebut maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan
Bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan
masyarakat.
3. Cinta Akan Ilmu
Pengetahuan
Masyarakat pada saat itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari
pada memperdalam ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri islam
untuk menuntut ilmu tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang
umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka
tidak lain untuk memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
4. Tujuan Kebendaan
Pada masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang
layak dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat
kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada
masa sekarang ini.[7]
E. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Yang Berpengaruh Pada Masa Bani
Abbasyiyah
Sejalan dengan perkembangan lembaga pendidikan, ilmu pengetahuan
dan tradisi serta atmosfer akademik., maka pada zaman Abbasiyah ini di tandai
pula dengan lahirnya para ilmuwan yang sekaligus bertindak sebagai para guru.
Mereka bukan hanya ahli dalam ilmu agam Islam melainkan juga ahli dalam bidang
ilmu pengetahuan umum, seni dan arsitektur. Di antara para ilmuwan dan guru
yang terkenal di zaman Abbasiyah adalah:
1. Al-Razi (guru Ibnu Sina)
Ia berkarya dibidang
kimia dan kedokteran, menghasilkan 224 judul buku, 140 buku tentang pengobatan,
diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Bukunya yang paling masyhur adalah Al-Hawi
Fi ‘Ilm At Tadawi (30 jilid, berisi tentang jenis-jenis penyakit dan upaya penyembuhannya).
Buku-bukunya menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa hingga
abad 17. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar
dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran
anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibnu Sina.
2.
Al-Battani (Al-Batenius)
Seorang astronom.
Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat tata surya dalam waktu 365
hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling terkenal
adalah Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De Scienta Stellerum u De Numeris
Stellerumet Motibus, dimana
terjemahan tertua dari karyanya masih ada di
Vatikan.
3.
Al Ya’qubi
Seorang
ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu
geografi berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan
judul Ibn Waddih qui dicitur al-Ya’qubi historiae.
4. Al Buzjani (Abul
Wafa)
Ia mengembangkan
beberapa teori penting di bidang matematika (geometri dan trigonometri).
5.
Ibn Sina
Ibn
Sina adalah seorang mahaguru dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat. Dengan
karya-karyanya seperti al-Qanun fi al-Thibb (Ensiklopedi Kedokteran) sebanyak
tiga jilid, al-Syifa dan Al-Najah.
6.
Ibn Miskawih
Ibn
Miskawih adalah seorang guru dalam ilmu akhlak. Salah satu karyanya adalah Tahdzib
al-Tahdzib.
7.
Ibn Jama’ah
Ibn
Jama’ah adalah seoarang guru dalam bidang ilmu fikih dan akhlak, Tadzkirat al-Sa’mi
lil ‘Alim wa al-Muta’allim.
8.
Imam al-Juwaini
Imam
al-Juwaini adalah seorang guru dalam bidamg teologi pada Madrasah Nidzamiyah
tempat Imam al-Ghazali menimba ilmu, karyanya berjudul al-Irsyad.
9.
Imam al-Ghazali
Imam
al Ghazali tel;ah tampil sebagai mahaguru di Madrasah Nidzamiah, istana, dan di
masyarakat pada umumnya. Melalui karyanya yaitu Ihya’ Ulum al-Din
sebanyak tiga jilid, ia telah tampil sebagai guru dalam bidang fikih dan
tasawuf.
Pencapaian kemajuan dunia Islam pada bidang ilmu
pengetahuan tidak terlepas dari adanya sikap terbuka dari pemerintahan Islam
pada saat itu terhadap berbagai budaya dari bangsa-bangsa sebelumnya seperti
Yunani, Persia, India dan yang lainnya. Gerakan penterjemahan yang dilakukan
sejak Khalifah Al-Mansur (745-775 M) hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia, farmasi, biologi, fisika dan sejarah.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim
ulama,
berhasil menemukan berbagai keahlian berupa
penemuan berbagai bidang-bidang ilmu
pengetahuan, antara lain :
a)
Ilmu Umum
1. Ilmu Filsafat
a. Al-Kindi (809-873 M)
buku karangannya sebanyak 236 judul.
b. Al Farabi (wafat
tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
c. Ibnu Bajah (wafat
tahun 523 H)
d. Ibnu Thufail (wafat
tahun 581 H)
e. Ibnu Shina (980-1037
M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan
lain-lain
f. Al
Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al Munqizh
Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah, Mizanul Amal, Ihya Ulumuddin dan lain-lain
g. Ibnu Rusd (1126-1198
M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain
2. Bidang Kedokteran
a. Jabir bin Hayyan
(wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
b. Hurain bin Ishaq
(810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai
penterjemah bahasa asing.
penterjemah bahasa asing.
c. Thabib bin Qurra
(836-901 M)
d. Ar Razi atau Razes
(809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak yang
diterjemahkan dalam bahasa latin.
3. Bidang Matematika
a. Umar Al Farukhan:
Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
b. Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al
Jabar), penemu angka (0).
4. Bidang
Astronomi
Berkembang
subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam perbintangan
ini seperti :
a. Al
Farazi : pencipta Astro lobe
b. Al
Gattani/Al Betagnius
c. Abul
wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
d. Al
Farghoni atau Al Fragenius
5. Bidang
Seni Ukir
Beberapa
seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni
tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
b) Ilmu
Naqli
1.
Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath
Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman
(wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain
2.
Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti:
Imam Bukhori (194-256 H), Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273
H),Abu Daud (wafat 275 H), At Tarmidzi, dan lain-lain
3.
Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar
dalam menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin
Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam
Ghazali
4.
Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al
Qusyairy (wafat 465 H) karangannya: ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin
(wafat 632 H) karangannya: Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : karangannya al
Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
5.
Para Imam Fuqaha, Lahirlah para
Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih mendapat tempat yang
luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan faham/mazhabnya
dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad
bin Hambal dan Para Imam Syi’ah (Hasjmy, 1995:276-278).[8]
F. Tingkat-Tingkat Pengajaran
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat,
yaitu:
1. Tingkat sekolah
rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab
ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di
pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca
Al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran islam, menulis, kisah
orang-orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa,
berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.[9]
2. Tingkat sekolah
menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai
sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri:
Al-Qur’an, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu
pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran, dan juga musik.
3. Tingkat perguruan
tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di
masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari
dua jurusan:
a. Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta
kesastraannya. Ibnu Khaldun menamainya
ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi:
Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
b. Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu
Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini
meliputi: Mantiq, ilmu alam dan kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur,
Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, dan juga kedokteran.[10]
G. Lembaga-Lembaga
Pendidikan
Sebagaimana banyak dicatat dalam berbagai sumber sejarah, bahwa
zaman dinasti Abbasiyah adalah zaman keemasan Islam (golden age) yang
ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban
yang mengagumkan, yang dapat dibuktikan keberadaannya, baik melalui berbagai
sumber informasi dalam buku-buku sejarah maupun melalui pengamatan empiris di
berbagai wilayah di belahan dunia yang pernah dikuasai Islam, seperti Irak,
Spanyol, Mesir dan sebagian dari Afrika Utara.
Berbagai kemajuan yang dicapai dunia Islam tersebut tidak mungkin
terjadi tanpa didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan, karena
pendidikanlah yang menyiapkan sumber daya insane yang menggerakkan kemajuan
tersebut. adapun gambaran keadaan pendidikan di zaman Bani Abbasiyah sebagai
berikut.
1.
Keadaan Lembaga Pendidikan
Selain masjid, kuttab,al-badiah, istana, perpustakaan dan
al-bimaristan, pada zaman Dinasti Abbasiyah ini telah berkembang pula lembaga
pendidikan, berupa toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar
kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
a.
Toko Buku (al-Hawanit al-Warraqien)
Kemajuan dalam ilmu pengetahuan tersebut mendorong lahirnya
indistri perbukuan, dan industry perbukuan mendorong lahirnya took-toko buku.
Di beberapa kota atau negara yang di dalamnya terdapat took-toko buku,
menggambarkan bahwa kota atau negara tersebut telah mengalami kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan.
b.
Rumah-rumah Para Ulama (Manazil al-Ulama)
Di antara rumah yang sering digunakan untuk kegiatan ilmiah adalah
rumah al-Rais Ibn Sina. Dalam hubungan ini al-Jauzajani berkata kepada
sahabatnya, bahwa pada setiap malam ia berkumpul di rumah Ibn Sina untuk
menimba ilmu, dan membaca kitab al-Syifa’ dan sebagian lain ada yang membaca
kitab al-Qanun. Abu Sulaiman al-Sijistani juga menggunakan rumahnya untuk
kegiatan orang-orang yang mau menimba ilmu, dan mia menggunakan rumahnya untuk
para ulama senior untuk memvalidasi bacaan-bacaannya.
Selanjutnya rumah yang sering digunakan sebagai majelis ilmu yang
didatangi para pelajar dan para guru untuk mematangkan ilmunya adalah rumah
Imam al-Ghazali (504 H) yang menerima para siswa di rumahnya, setelah ia
berhenti sebagai guru di Madrasah al-Nidzamiyah di Nisafur, serta menuntaskan
pejalanan spiritualnya, yaitu mengerjakan ibadah haji, beriktikaf di masjid
al-Amawiy di Damaskus serta menulis kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulum
al-Din. Demikian pula rumah Ya’kub bin Kalas wazir al-Aziz billah
al-Fathimy, rumah al-Sulfiy Ahmad bin Muhammad
Abu Thahir di Iskandariyah digunakan sebagai tempat untuk kegiatan
ilmiah.
c.
Sanggar Sastra (al-Sholun al-Adabiyah)
Sanggar sastra ini mulai tumbuh sederhana pada masa Bani Umayyah
kemudian berkembang pesat pada zaman Abbasiyah, dan merupakan perkembangan
lebih lanjut dari perkumpulan yang ada pada zaman Khulafa’ al-Rasyidin. Di
sanggar sastra ini terdapat ketentuan kode etik yang khusus. Dalam hubungan ini
Ibn Abd Rabbih, al-Muqri dan al-Maqrizi berkata berkata, bahwa sanggar sastra
tidak bisa menerima setiap orang yang menginginkannya, melainkan sanggar
tersebut hanya dibolehkan untuk kelompok orang tertentu.
d.
Madrasah
Dalam sejarah, madrasah ini mulai muncul di zaman khalifah Bani
Abbas, sebagai kelanjutan dari pendidikan yang dilaksanakan di masjid dan
tempat lainnya. Dalam kaitan ini, Ahmad Tsalabi berpendapat, bahwa ketika minat
masyarakat untuk mempelajari ilmu di Halaqah yang ada di masjid makin menibgkat
dari tahun ke tahun, dsan menimbulkan kegaduhan akibat dari suara para pengajar
dan siswa yang berdiskusi dan lainnya yang mengganggu kekhusukan shalat. Selain
itu, berdirinya madrasah ini juga karena ilmu pengetahuan dan berbagai
keterampilan semakin berkembang, dan untuk mengajarkannya diperlukan guru yamg
banyak, peralatan belajar mengajar yang lebih lengkap, serta pengaturan
administrasi yang lebih tertib. Selain itu, madrasah juga didirikan dengan
tujuan untuk memasyarakatkan ajaran atau paham keagamaan dan ideology tertentu.
e.
Perpustakaan dan Observatorium
Tempat-tempat ini juga digunakan sebagai tempat belajar mengajar
dalam arti luas, yaitu belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru
sebagaimana yang umumnya dipahami, melainkan kegiatan belajar yang bertumpu
pada aktivitas siswa (student centris), seperti belajar dengan cara
memecahkan masalah, eksperime, belajar sambil bekerja (learning be doing),
dan penemuan (inquiri). Kegiatan
belajar yang demikian itu dilakukan bukan hanya di kelas, melainkan di
lembaga-lembaga pusat kajian ilmiah.
f.
Al-Ribath
Secara harfiah al-ribath
berarti ikatan yang mudah di buka. Sedangkan dalam arti yang umum, al ribath
adalah tempat untuk melakukan latihan, bimbingan, dan pengajran bagi calon
sufi. Di dalam al-ribath tersebut terdapat beberapa ketentuan atau
komponen yang terkait dengan pendidikan tasawuf, misalnya komponen guru yang
terdiri dari syekh (guru besar), mursyid (guru utama), mu’id
(asisten guru), dan mufid (fasilitator). Murid pada al-ribath
dibagi sesuai dengan tingkatannya, mulai dari ibtidaiyah, tsanawiyah dan
aliyah. Adapun bagi yang lulus diberikan pengakuan berupa ijazah.[11]
H. Metode Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Dalam proses belajar mengajar, metode
pendidikan/pengajaran merupakan salah satu aspek pendidikan/pengajaran yang
sangat penting guna mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru
kepada para muridnya. Melalui metode pengajaran terjadi proses internalisasi
dan pemilikan pengetahuan oleh murid hingga murid dapat menyerap dan memahami
dengan baik apa yang telah disampaikan gurunya.
Pada masa Dinasti abbasiyah metode
pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam:
lisan, hafalan, dan tulisan.
1.
Metode Lisan
Metode lisan berupa dikte, ceramah, qira’ah dan
diskusi. Metode dikte (imla’) adalah metode penyampaian pengetahuan yang
dianggap baik dan aman karena dengan imla’ ini murid mempunyai catatan
yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting, karena
pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki.
2.
Metode ceramah
Metode ceramah disebut juga metode as-sama’,
sebab dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan
murid mendengarkannya.Metode qiro’ah biasanya digunakan untuk belajar
membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
3.
Metode Menghafal
Metode menghafal Merupakan ciri umum pendidikan
pada masa ini.Murid-murid harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya
sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Imam Hanafi, seorang murid harus membaca suatu pelajaran
berulang kali sampai dia menghafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya murid
akan mengeluarkan kembali dan mengkonstektualisasikan pelajaran yang dihafalnya
sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan,
atau memunculkan sesuatu yang baru.
4.
Metode Tulisan
Metode tulisan dianggap metode yang paling
penting pada masa ini.Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam
pengkajian buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat penguasaan
ilmu murid semakin meningkat. Metode ini disamping berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga sangat penting artinya
bagi penggandaan jumlah buku teks, karena pada masa ini belum ada mesin cetak,
dengan pengkopian buku-buku kebutuhan terhadap teks buku sedikit teratasi.[12]
I.
Materi Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah
terlihat ada unsur demokrasinya, disamping materi pelajaran yang bersifat wajib
(ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pillihan
(ikhtiari).Hal ini tampaknya sangat berbeda dengan materi pendidikan dasar pada
masa sekarang.Di saat sekarang ini materi pendidikan tingkat dasar dan menengah
semuanya adalah materi wajib, tidak ada materi pilihan.Materi pilihan baru ada
pada tingkat perguruan tinggi.
Menurut Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah
Pendidikan Islam”, yang dikutip oleh Suwito menjelaskan tentang materi
pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) yakni, Al-Qur’an,
Shalat, Do’a, Sedikit ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya yang dipelajari baru
pokok-pokok dari ilmu nahwu dan bahasa arab belum secara tuntas dan detail), Membaca
dan menulis
Sedangkan materi pelajaran ikhtiari (pilihan) ialah; Berhitung; Semua ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya
nahwu yang berhubungan dengan ilmu nahwu dipelajari secara tuntans dan detail); Syair-syair; Riwayat/ Tarikh Arab.[13]
J.
KURIKULUM
Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya
telah mengalami perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan. Namun dari segi susunan atau konsepnya belum seperti yang dijumpai
di masa sekarang. Kurikulum pada masa itu lebih merupakan susunan mata
pelajaran yang harus diajarkan pada peserta didik sesuai dengan sifat dan
tingkatannya. Kurikulum pendidikan ini misalnya terlihat dalam pembagian ilmu
yang dikemukakan para tokoh sebagai berikut.
1.
Kurikulum Menurut Al-Ghazali
Ia membagi ilmu dalam tiga pendekatan. Pertama, pembagian ilmu dari
segi sumbernya. Kedua, pembagian ilmu dilihat dari segi jauh dekatnya dengan
Tuhan. Dan yang ketiga, pembagian ilmu dari segi hukumnya.
Menurut al-Ghazali, bahwa dilihat dari segi sumbernya, ada ilmu
yang bersumber dari syariat (Al-Qur’an dan Al-Hadis), dan ilmu yang sumbernya
bukan dari syariat. Selanjutnya dilihat dari segi obyeknya:
1) ada ilmu pengetahuan yang
tercela secara mutlak , baik sedikit maupun banyak, seperti sihir, azimat,
nujum dan ilmu tentang ramalan nasib. Ilmu ini tercela, karena tidak memiliki
sifat manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. 2) ilmu pengetahuan yang
terpuji, baik sedikit maupun banyak. Seperti ilmu agama dan ilmu tentang
peribadatan. 3) ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu, terpuji, tetapi
jika mendalaminya tercela, seperti filsafat naturalisme.
Selanjutnya dilihat dari segi hukum mempelajarinya dalam kaitannya
dengan nilai gunanya, ilmu pengetahuan dapat digolongkan: 1) ilmu fardhu ‘ain
yang wajib dipelajari setiap individu, seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya.
2) ilmu fardhu kifayah, ilmu ini tidak wajib dipelajari oleh setiap muslim,
melainkan cukup jika di antara kaum muslimin ada yang mempelajarinya. Dan jika
seorang pun di antara kaum muslim tidak ada yang mempelajarinya, maka mereka
akan berdosa. Di antara yang tergolong fardhu kifayah adalah ilmu kedokteran,
ilmu hitung, pertanian, pertenunan, politik, pengobatan tradisional dan jahit menjahit.[14]
2.
Kurikulum Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun menyusun kurikulum sesuai dengan akal dan kejiwaan
peserta dididk, dengan tujuan agar pesrta didik menyukainya dan
bersungguh-sungguh mempelajarinya. Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi 3 macam.
a)
Kelompok ilmu lisan (bahasa), ilmu tentang bahasa (gramatika),
sastra dan bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b)
Kelompok ilmu naqli, yaitu ilmu yang di ambil dari kitab
suci dan sunnah Nabi.
c)
Kelompok ilmu aqli, yaitu ilmu yang diperoleh melalui
kemampuan berfikir. Proses perolehan tersebut dilakukan melalui pancaindra dan
akal.
K.
TRADISI ILMIAH DAN ATMOSFER AKADEMIK
Tradisi ilmiah dapat diartikan sebagai kebiasaan yang berkaitan
dengan pengembangan ilmu yang sudah memasyarakat dan digunakan secara merata di
kalangan ilmuwan. Tradisi ilmiah ini selanjutnya membentuk sebuah keadaan yang
khas yang selanjutnya disebut atmosfer akademik.
Di antara tradisi ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi pada
zaman Abbasiyah dan masa sebelumnya adalah sebagai berikut.
1.
Tukar Menukar Informasi ( Muzakarah )
Tradisi ini dilakukan oleh para pelajar dari berbagai daerah untuk
saling bertukar pikiran, pemahaman dan pengamalan sesuatu ajaran.
2.
Berdebat
Tradisi ini dilakukan oleh para pelajar dan pakar dalam bidang
tertentu untuk saling menguji kedalaman ilmu, ketajaman analisis, dan kekuatan
argumentasi yang dimiliki masing-masing ulama. Tradisi ini memiliki pengaruh
yang kuat kepada para ilmuwan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
keilmuannya masing-masing.
3.
Rihlah Ilmiah
Rihlah
ilmiah berarti melakukan perjalanan atau pengembaraan dari suatu daerah ke
daerah lain dalam rangka menuntut ilmu atau melakukan penelitian terhadap
sesuatu masalah. Tradisi ini terjadi seiring dengan semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam dan tersebarnya para ilmuwan pada berbagai wilayah tersebut.
4.
Penerjemahan
Tradisi penerjemahan ini terjadi karena didorong oleh keingintahuan
dan keperluan para ilmuwan dalam menjelaskan tentang sesuatu masalah. Khalifah
Bani Abbasiyah bernama Al-Makmun sangat memberikan perhatian terhadap kegiatan
penerjemahan. Ia mendirikan Bait al-Hikmah (rumah kegiatan ilmu ) untuk
melakukan kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani, India, dan Cina dan menyewa
penerjemah asing, seperti, Hunain Ibn Ishak.
5.
Mengoleksi Buku dan Mendirikan Perpustakaan
Tradisi mengoleksi buku ini tumbuh sejalan dengan adanya tradisi
penghormatan yang tinggi kepada para ilmuwan serta tradisi penghormatan yang
tinggi kepada para ilmuwan serta tradisi membaca dan menulis buku. Kegiatan
mengoleksi buku ini tidak hanya terjadi terjadi pada perorangan, malainkan juga
secara kelembagaan.
6.
Membangun Lembaga Pendidikan
Yang dimaksud dengan lembaga pendidikan disini adalah tempat atau
wadah yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, pengajaran, bimbingan,
dan pelatihan, baik yang bersifat formal, non formal maupun informal. Lembaga
pendidikan tersebut seperti, berupa toko buku, rumah para ulama, majelis
al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
7.
Melakukan Penelitian Ilmiah
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang secara garis besar
diarahkan kepada dua hal. Pertama, penelitian untuk mendapatkan temuan baru
dalam bidang ilmu pengetahuan atau teori. Penelitian jenis pertama ini disebut
sebagai penelitian ilmiah. Kedua, penelitian untuk menerapkan teori atau kosep
menjadi sebuah program atau kegiatan yang secara pragmatis mendatangkan manfaat
atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara lahir naupun batin.
Penelitian jenis kedua ini disebut sebagai penelitian terapan.
8.
Menulis Buku
Sejalan dengan adanya tradisi meneliti yang demikian kuat dan
bervariasi, maka pada zaman Abbasiyah juga muncul tradisi menulis buku. Di
antara penulis penulis tersebut adalah :
1) al- Jahidz, ia di kenal sebagai seorang sastrawan terkenal yang
hidup pada zaman al-Makmun dan berani menulis tanpa terikat pada tradisi lama.
2) Imam Bukhari, ia dikenal sebagai peneliti dan penulis Hadis yang
mahsyur. 3) Ibn sa’id, ia mengarang buku tentang kemenangan umat islam
dalam peperangan dengan judul Thabaqat al-Qubra sebanyak 8 jilid.
9.
Memberikan Wakaf
Tradisi memberikan wakaf ini terjadi antara lain ketika seseorang
yang memiliki banyak harta, sedangkan tidak ada keturunan untuk merawat dan
memanfaatkannya dengan baik, maka harta tersebut diserahkan kepada sebuah
lembaga untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum, seperti pendidikan,
kesehatan, dan keamanan dengan dasar ikhlas karena Allah SWT. Selain itu, wakaf
juga muncul sebagai jalan untuk menjalin kesalihan sosial dan pendekatan diri
kepada Allah SWT, serta bekal pahala di akhirat.[15]
L.
SARANA DAN PRASARANA
Sarana prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan, peralatan
kegiatan penelitian dan percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa
sebelumnya. Hal ini sejalan dengan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan
yang memerlukan peralatan khusus dalam mengajarkannya. Gedung sekolah,
perkantoran, alat-alat tulis, rumah tempat tinggal bagi para guru, asrama bagi
mahasiswa, ruang praktikum bagi para mahasiswa, dan berbagai sarana lainnya
yang dibutuhkan tersedia dengan memadai. Ketersediaan sarana prasarana dan
peralatan belajar mengajar terjadi berkat adanya perhatian yang besar dari
pemerintah serta masyarakat pada umumnya terhadap masalah pendidikan.
M.
PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Sumber pembiayaan pendidikan ini berasal dari anggaran belanja
pemerintah serta dari dan wakaf yang berhasil dihimpun. Dana tersebut digunakan
untuk biaya hidup para guru, para pelajar, pembangunan gedung sekolah, serta
pengadaan saran dan prasarana serta peralatan pendidikan lainnya. Biaya
pendidikan ini dikeluarkan karena pada umumnya lembaga pendidikan yang
diselenggarakan bersifat gratis, yakni dibiayai oleh pemerintah. Menurut
catatan para ahli sejarah, bahwa pada setiap tahunnya, pemerintah Abbasiyah
mengeluarkan dan tidak kurang dari 600.000 dinar atau setra dengan 6 miliat
rupiah untuk ukuran waktu itu, atau sebanyak 6 triliun untuk ukuran waktu
sekarang.[16]
N.
MANAJEMEN PENDIDIKAN
Terjadinya kemajuan dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas
dari adany manajemen pengelolaan pendidikan yang rapi dan tertib. Gedung-gedung
sekolah dibanmgun, diatur, dipelihara, digunakan dan dikelola dengan tertib.
Rumah-rumah bagi guru, dan asrama bagi para pelajar dibangun sesuai dengan
rapid an tertib. Demikian pula jadwal kegiatan belajar mengajar, tugas-tugas
bagi para guru dan lainnya diatur dengan baik. Hubungan antara lembaga
pendidikan yang berada di pusat pemerintahan dan yang ada di daerah diatur dan
dikelola dengan baik. Lembaga pendidikan tersebut dikelola oleh sebuah kementrian
pendidikan.
O.
PARA PELAJAR
Para pelajar yang menimba ilmu pada zaman Abbasiyah berasal dari
daerah sekitarnya serta mancanegara. Keadaan para pelajar yang demikian itu
menyebabkan kota Baghdad menjadi masyarakat multi etnis dan multikultural.
Interaksi antara para pelajar yang berasal dari latar belakang daerah yang
berbeda-beda. Hal itu menyebabkan timbulnya atmosfer akademik dan tradisi
ilmiah yang luar biasa. Keadaan ini semakin menambah suasana kegiatan
intelektual makin meningkat dan mendorong proses pematang keilmuan seseorang.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dinasti
Bani Abbassiyah terbentuk melalui proses perebutan kekuasaan dari Bani Umayyah.
Banyak sekali faktor pendorong yang memicu dalam terbentuknya dinasti bani
abbasiyah. Dinasti Abbasiyah tergolong yang paling lama berkuasa, yaitu mulai
dari Abu al-Abbas Assafah di tahun 750 M sampai dengn Al-Mu’tashim di tahun
1258 M. Dalam waktu selama lebih dari lima abad tersebut kepemimpinan dinasti
Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37 khalifah.
Masa
pemerintahan bani Abbasyiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam di
dunia. Popularitas
daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun
Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M).
Pada masa Nabi, masa khoilfah
rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata.
Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa
abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat
pada masa itu.
Selama
pemerintahan bani Abbasiyah, banyak bidang pendidikan Agama maupun bidang
pendidikan umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam
perkembangan pendidikan tersebut. Seperti Al-Razi, Al-Battani, Al Ya’qubi, Al
Buzjani, Ibn Sina, dan masih banyak yang lainnya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para
alim ulama,
berhasil menemukan berbagai keahlian berupa
penemuan berbagai bidang-bidang ilmu
pengetahuan, antara lain ilmu umum dan ilmu naqli.
Pada
masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu tingkat
sekolah rendah, Tingkat sekolah menengah, dan Tingkat perguruan tinggi.
Mengenai lembaga pendidikan pada masa Abbasiyah juga mengalami banyak kemajuan dalam lembaga pendidikannya seperti, toko
buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium,
dan madrasah.
Pada masa Dinasti abbasiyah dalam pengajarannya, metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan. Sedangkan materi Materi pendidikan dasar pada masa
daulat Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya, disamping materi pelajaran
yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat
pillihan (ikhtiari).
Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya
telah mengalami perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan. Namun dari segi susunan atau konsepnya belum seperti yang
dijumpai di masa sekarang. Kurikulum pendidikan ini terlihat dalam pembagian
ilmu yang dikemukakan para tokoh sebagai berikut.
1.
Kurikulum Menurut Al-Ghazali
Ia membagi ilmu dalam tiga
pendekatan. Pertama, pembagian ilmu dari segi sumbernya. Kedua, pembagian ilmu
dilihat dari segi jauh dekatnya dengan Tuhan. Dan yang ketiga, pembagian ilmu
dari segi hukumnya.
2.
Kurikulum Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun menyusun kurikulum sesuai dengan akal dan kejiwaan
peserta dididk, dengan tujuan agar pesrta didik menyukainya dan
bersungguh-sungguh mempelajarinya. Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi 3 macam,
yakni Kelompok ilmu lisan (bahasa), kelompok naqli dan kelompok aqli.
Tradisi ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi pada zaman
Abbasiyah dan masa sebelumnya adalah sebagai berikut, Tukar Menukar Informasi (
Muzakarah ), Berdebat, Rihlah Ilmiah, Penerjemahan, Mengoleksi Buku dan
Mendirikan Perpustakaan, Membangun Lembaga Pendidikan, Melakukan Penelitian
Ilmiah, Menulis Buku, Memberikan Wakaf.
Sarana prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan, peralatan
kegiatan penelitian dan percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa
sebelumnya. Hal ini sejalan dengan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan
yang memerlukan peralatan khusus dalam mengajarkannya.Terjadinya kemajuan dalam
sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari adanya manajemen pengelolaan
pendidikan yang rapi dan tertib.
DAFTAR PUSTAKA
Aen,Nurul.
2008. Sejarah Peradaban Islam.
Bandung: Pustaka Setia.
Sunanto, Musyrifah.
2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta:
Prenada Media.
Suwito, et l.
2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam.
Jakarta: Katalog Dalam Terbitan.
Suwito. 2008. Sejarah
Sosial Pendidikan. Jakarta : Kencana
Nizar, Syamsul.
2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana Media Group.
http://ratih-nurafriani.blogspot.com/2012/03/pendidikan-islam-pada-masa-bani.html
Yunus, Mahmud. 1990.
Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta
: PT. Hidakarya Agung.
Yatim, Badri. 2000.
Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II. Jakarta : PT. Raja
Grafindo.
Nata, Abuddin,
2011, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana Perdana Media Group
file:///F:/perkembangan-islam-periode-klasik.html
0 Komentar untuk "makalah pendidikan masa abasiyah"