Pengertian Kreativitas
Kreativitas merupakan suatu bidang kajian yang kompleks sehingga menimbulkan perbedaan pandangan. Sebagai kajian yang kompleks, kreativitas dikaji mulai dari sisi pemroduksinya, prosesnya, dan produknya. Kajian terhadap ketiga sisi ini menghasilkan rumusan konsep kreativitas yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terutama tampak dalam pemberian pengertian terhadap istilah kreativitas. Misalnya, Guilford (dalam Supriadi,1994:7) menyatakan creativity refers to the abilities that are charachterictics of creative people. Pengertian tersebut berdimensi “orang” karena kreativitas diartikan sebagai kemampuan yang menandai orang kreatif. Lain halnya dengan Csikszentmihalyi (1996:8) yang memandang kreativitas dari dimensi “proses”, yakni creativity is a process by which a symbolic domain in the culture is changed dan Amabile (dalam Supriadi,1994:7) yang memandang kreativitas dari dimensi “produk”, yakni creativity can be regarded as the quality of product or respons judged to be creative by appropriate observes (lihat juga Hassoubah,2004: 50).
Harris (1998) memandang kreativitas dari dua segi, yakni dari segi kemampuan (an ability) dan dari segi sikap (an attitude). Menurutnya kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru, baik melalui penggabungan, perubahan, maupun penerapan kembali gagasan-gagasan yang ada dan kemampuan menerima perubahan dan kebaruan, kemauan untuk bermain dengan gagasan yang memungkinkan, kelenturan dalam berpandangan, kebiasaan menikmati dengan baik selagi mencari cara-cara untuk memperbaikinya.
Selain berbagai pandangan tersebut, Piaw (2004:23-24) menjelaskan mengenai tiga perspektif tentang berpikir kreatif, yakni perspektif supernatural, rasionalisme, dan perkembangan. Dalam perspektif supernatural, kreativitas merupakan kemampuan alami bukan diciptakan melalui pelatihan. Salah satu prinsip dalam perspektif rasional adalah semua kegiatan dapat dijelaskan. Dengan demikian, berpikir kreatif dapat dijelaskan secara genetis, yakni sebagai suatu faktor biologis. Perspektif perkembangan diajukan melalui penelitian Gowan dalam hal tahap-tahap perkembangan menurut teori Piaget dan Frued. Menurut Gowan kreativitas berkembang melalui tiga tahap, yaitu (1) dunia, (2) ego, dan (3) yang lainnya. Perkembangan kreativitas merupakan suatu transformasi energi dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya hingga menuju dewasa.
Keragaman pengertian istilah kreativitas tersebut pada dasarnya memiliki persamaan, yakni kreativitas dipandang sebagai sesuatu yang dimiliki seseorang untuk menunjukkan kemampuannya. Sesuatu tersebut dapat berupa gagasan atau karya nyata yang baru atau merupakan kombinasi dari yang sudah ada. Sternberg dan Lubart (1995:11) menyatakan bahwa unsur “baru” itu merupakan unsur yang penting untuk mendeskripsikan produk kreativitas di samping memiliki unsur “cocok”. Lebih lanjut Sternberg dan Lubart menyatakan bahwa sesuatu yang baru itu merupakan sesuatu yang tidak biasanya; produk yang baru itu bersifat asli, tidak dapat diprediksi, dan dapat memberikan kejutan bagi pengamatnya. Selain itu produk kreativitas memiliki kelayakan atau kebergunaan. Pandangan Sternberg dan Lubart ini sejalan dengan pendapat Baron (dalam Supriadi,1994:7) yang menyatakan creativity is the ability to bring something new into existence atau juga Stein (dalam Supriadi,1994: 10) yang menyatakan the creative work is a novel work that is accepted as tenable or useful or satisfying by a group in some point in time.
Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan individu untuk meraih aktualisasi diri melalui gagasan atau karya nyata, baik yang bersifat baru maupun kombinasi dari yang sudah ada.
3. Kreativitas dan Penggunaan Bahasa
Perbincangan tentang bahasa tidak pernah berakhir. Berbagai hipotesis telah banyak dibuktikan sehingga lahir berbagai kajian tentang bahasa. Namun, pertanyaan-pertanyaan hipotesis lain muncul untuk menjadi bahan kajian para pemerhati bahasa. Sekaitan dengan topik ini, ada beberapa pertanyaan yang patut mendapat perhatian, di antaranya (1) adakah keterkaitan antara bahasa dan kreativitas, (2) apakah kreativitas dapat muncul tanpa bahasa, dan (3) apakah kegiatan berbahasa merupakan kegiatan kreatif.
Sebagai sebuah entitas, bahasa dikaji dari berbagai disiplin ilmu sesuai dengan keterkaitannya. Dalam kajian sosiologi bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi suatu komunitas yang berbudaya tertentu. Melalui bahasa antarindividu dapat menyampaikan pikiran dan perasaannya untuk membangun kehidupan dalam komunitas tersebut. Saussure (1965:15) mengatakan bahwa language is a social institutions ‘bahasa merupakan lembaga sosial’. Untuk memberikan gambaran tentang bahasa, Saussure menggunakan tiga istilah, yaitu langage ‘bahasa secara umum’, langue ‘sistem bahasa tertentu’, dan parole ‘ujaran’. Sebagai fakta sosial, bahasa digunakan oleh manusia untuk melakukan kegiatan antarsesama dalam rangka membentuk satu komunitas sesuai dengan budayanya. Dengan demikian, bahasa berperan sebagai alat komunikasi. Agar komunikasi dapat terjalin, sistem bahasa (sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) yang digunakan harus berada dalam keadaan homogen. Karena sistem bahasa berada dalam keadaan homogen, individu dalam komunitas tertentu dapat memiliki langue bahasa tertentu. Adapun parole setiap individu dalam keadaan heterogen bergantung pada penguasannya terhadap langue. Selain ketiga istilah tersebut, Saussure memberikan dua istilah lain untuk menyatakan hakikat bahasa, yakni signifie dan signifiant. Signifie mengacu pada gambaran psikologis yang abstrak dari suatu bagian alam sekitar kita dan signifiant mengacu pada gambaran psikologis abstrak dari aspek bunyi suatu unsur bahasa (Kridalaksana, 2001:197). Dengan demikian, bahasa sebagai alat komunikasi memungkinkan setiap individu dalam komunitas tertentu dapat bekerja sama.
Kreativitas merupakan proses yang digunakan seseorang untuk mengekspresikan sifat dasarnya melalui suatu bentuk atau medium sedemikian rupa sehingga menghasilkan rasa puas pada dirinya; menghasilkan suatu produk yang mengomunikasikan sesuatu tentang diri orang tersebut kepada orang lain (Bean, 1995:3). Batasan tersebut menyiratkan kedudukan bahasa sebagai alat dan sekaligus salah satu media pengejawantahan daya kreatif seseorang. Tanpa bahasa manusia tidak dapat melakukan kegiatan berpikir sebab alat yang memungkinkan untuk melahirkan gagasan adalah bahasa di samping organ tubuh. Dengan bahasa setiap orang dapat memproses segala peristiwa yang dialaminya atau yang ditangkapnya melalui pancaindera. Semakin tajam daya berpikir seseorang, semakin cermat penggunaan bahasanya. Dengan demikian, peran bahasa tidak bisa dilepaskan dari kegiatan kreatif seseorang. Dengan kata lain, bahasa dan kreativitas merupakan dua sisi yang berbeda, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan.
Berdasarkan batasan tersebut terlihat bahwa kreativitas dapat dipandang sebagai proses dan hasil. Artinya, kreativitas tidak hanya dipandang sebagai proses untuk melahirkan produk tertentu, tetapi juga produk yang dihasilkan. Ketika seseorang melakukan kegiatan kreatif, orang lain tidak bisa melihat bagaimana semua potensi yang dimiliki orang tersebut diberdayakan. Orang lain hanya melihat bahwa seseorang sedang berpikir. Ketika hasil akhir dipajankan, barulah orang lain mengagumi sesuatu yang dihasilkannya. Rasa kagum itu biasanya diungkapkan melalui bahasa “Wah, karya yang luar biasa!”, “Sungguh bagus karya Anda!”, “Kreatif sekali Anda!”. Ungkapan-ungkapan tersebut disampaikan sebagai penghargaan atas munculnya kreativitas pada diri seseorang. Dari ungkapan tersebut, kita dapat menilai bahwa proses kreatif dapat menghasilkan sesuatu yang baik sehingga Armstrong (1994:13) memasukkan kreativitas sebagai salah satu kecerdasan selain delapan kecerdasan yang telah diungkap Gardner. Namun, hasil kreatif seseorang mungkin juga akan ditanggapi dengan bahasa “Sayang, hasilnya masih harus ditingkatkan lagi!”, “Waduh, hasilnya belum memuaskan!”, atau “Kreasi Anda masih jauh dari yang kami harapkan!”. Penilaian negatif terhadap kegiatan kreatif tersebut membuktikan bahwa kreativitas bersifat pribadi (Bean, 1995:5). Maksudnya, kreativitas dapat bernilai positif dan dapat pula negatif bergantung pada faktor kepekaan, kecermatan, dan keluasan wawasan seseorang. Meskipun demikian, batasan kreativitas yang dipahami orang sampai saat ini hanyalah yang berkait erat dengan sesuatu yang bernilai positif.
Kreativitas sebagai hasil pemberdayaan kegiatan berpikir tersebut pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Untuk karya-karya hasil kreatif seseorang yang bukan dalam bentuk bahasa, misalnya, lukisan, patung, dan barang-barang elektronik sangat sulit dilihat bahwa kreativitas berhubungan dengan bahasa. Padahal, untuk memunculkan daya kreatif tersebut diperlukan media berupa bahasa. Tanpa bahasa, potensi biologis yang dimiliki seseorang tidak akan mampu melahirkan gagasan-gagasan kreatif. Dengan demikian, kreativitas tidak dapat dipisahkan dengan bahasa karena bahasa sangat berperan sebagai media untuk melakukan dan melahirkan pikiran kreatif.
Pertanyaan ketiga berkenaan dengan apakah berbahasa merupakan sebuah kreativitas. Bahasa merupakan sebuah entitas yang hanya dimiliki dan dikuasai manusia. Meskipun demikian, bahasa tidak begitu saja muncul dalam kehidupan manusia. Untuk dapat digunakan sebagai alat komunikasi atau media menciptakan kreativitas, bahasa perlu dikuasai terlebih dahulu. Potensi untuk dapat berbahasa itu sudah dimiliki manusia sejak lahir sebagaimana yang disebut Chomsky sebagai Language Acquisition Device (LAD). Namun, untuk dapat berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis peranti ini harus dikembangkan melalui pemerolehan alami atau pembelajaran. Dengan pengembangan peranti ini pada akhirnya manusia dapat menggunakan bahasa secara sempurna untuk menyimak, membaca, berbicara, atau menulis.
Pada saat aspek keterampilan berbahasa tersebut diaktifkan, berbagai perangkat yang terkait pun aktif untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaannya. Dengan kata lain, kegiatan berbahasa melibatkan dua unsur, yakni perencanaan dan pelaksanaan. Perencanaan dan pelaksanaan untuk keterampilan menyimak dan membaca (membaca pemahaman) berada dalam kondisi menerima (bersifat reseptif) sehingga tidak bisa diamati secara langsung karena hasilnya berupa pemahaman. Sebaliknya, keterampilan berbicara dan menulis merupakan keterampilan yang pelaksanaannya bersifat produktif atau dapat diamati secara langsung karena hasilnya berupa tuturan dan tulisan. Perencanaan dan pelaksanaan dalam kegiatan berbahasa ini dijelaskan panjang lebar oleh Clark and Clark (1977:223-258). Clark and Clark menjelaskan bahwa untuk melahirkan tuturan, misalnya, penutur harus melakukan perencanaan wacana, kalimat, konstituen, program artikulasi, dan artikulasi. Di samping itu ada lima unsur yang harus dipertimbangkan, yakni pengetahuan pendengar, prinsip kerja sama, prinsip realitas, konteks sosial, dan alat bahasa.
Untuk mendapat gambaran bahwa kegiatan berbahasa merupakan kegiatan kreatif, dapat disajikan dua contoh kalimat berikut ini.
(1) Permasalahan itu dapat diselesaikan melalui dua cara.
(2) Penyelesaian masalah itu dapat ditempuh melalui dua cara.
Kedua kalimat tersebut memiliki makna yang sama. Namun, kalau kita cermati, keduanya memiliki kadar kreativitas yang berbeda. Kalimat (2) merupakan kalimat hasil perubahan struktur leksikal dari kalimat (1). Verba selesai pada kalimat (1) berposisi sebagai predikat, sedangkan pada kalimat (2) berposisi sebagai nomina. Proses perubahan ini memerlukan daya kreativitas yang kompleks karena tidak hanya melibatkan perubahan verba menjadi nomina, tetapi juga peran semantis yang dimiliki kata penyelesaian sehingga muncul verba ditempuh.
4. Wacana sebagai Produk Kreativitas Berbahasa
Wacana sebagai satuan bahasa tertinggi mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1970-an (Djajasudarma, 1994:1). Menurut Djajasudarma (1994:2) wacana adalah unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh dengan amanat lengkap dan dengan koherensi serta kohesi tinggi. Batasan ini tidak jauh berbeda dengan Kridalaksana (2001:231) yang memberikan batasan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Edmondson (1981:4) menyatakan wacana adalah peristiwa terstruktur yang direalisasikan dalam perilaku linguistik (bahasa) atau yang lainnya. Dari pernyataan Edmondson tersebut dapat dikatakan bahwa wacana dapat berupa tuturan lisan dan tuturan tulis.
Berbagai batasan di atas tampaknya tidak ada yang berbeda bahwa wacana merupakan struktur kebahasaan tertinggi. Melalui wacana, penulis (pembicara) berusaha menyampaikan apa yang dipikirkan dan dirasakan kepada pembaca (pendengar). Dengan demikian, wacana merupakan alat penyalur pesan dari penulis (pembicara) kepada pembaca (pendengar). Sebagai alat penyalur pesan, unsur kesatuan dan kepaduan sangat diperlukan di dalam wacana (Marahimin, 2001:39). Untuk itu, kegiatan berbahasa akan mudah diamati melalui wacana sebab di dalam wacana terkandung pikiran-pikiran penulisnya. Shi-xu (1998) menyatakan bahwa discourse is dynamic and creative with respect to reality. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa wacana merefleksikan pola-pola berpikir dan bertindak secara kultural. Pernyataan Shi-xu ini menunjukkan bahwa di dalam wacana terkandung pikiran-pikiran yang berkaitan dengan realitas kehidupan.
Di dalam kajian linguistik terdapat satuan-satuan bahasa yang satu dengan yang lainnya berhubungan untuk membentuk makna tertentu atau mengungkapkan maksud tertentu. Satuan yang dimaksud adalah kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Satuan-satuan tersebut dalam kegiatan berbahasa tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling terkait. Dengan demikian, kata sebagai kata, frasa sebagai frasa, klausa sebagai klausa, dan kalimat sebagai kalimat belum mampu mewadahi kegiatan berbahasa yang sebenarnya. Dengan kata lain, kegiatan berbahasa memerlukan kesatuan dan kepaduan satuan-satuan bahasa tersebut yang secara hierarkis tersusun mulai dari kata hingga wacana.
5. Hakikat Pembelajaran Bahasa
Di dalam KTSP dinyatakan bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Pernyataan tersebut berimplikasi bahwa siapa pun yang mempelajari suatu bahasa pada hakikatnya sedang belajar berkomunikasi. Thompson (2003:1) menyatakan bahwa komunikasi merupakan fitur mendasar dari kehidupan sosial dan bahasa merupakan komponen utamanya. Pernyataan tersebut menyuratkan bahwa kegiatan berkomunikasi tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan berbahasa. Oleh sebab itu, para linguis terapan (khususnya dalam bidang pengajaran dan pembelajaran bahasa) selalu berupaya untuk melahirkan pikiran-pikiran barunya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa sehingga para siswa mampu menunjukkan kinerjanya dalam berbahasa.
Dalam dunia pembelajaran bahasa, pendekatan komunikatif telah berkembang sejak tahun 1970-an di berbagai belahan dunia (Periksa Burns and Joyce, 1999:49). Pelahiran pendekatan tersebut dipicu kurang berhasilnya metode Tatabahasa dan Terjamahan (Grammar and Translation Method) meningkatkan prestasi belajar. Pikiran baru tersebut menghasilkan metode Langsung (Direct Method) untuk digunakan para guru dalam pembelajaran bahasa.
Selain untuk berkomunikasi, pembelajaran bahasa juga ditujukan untuk menumbuhkan kebanggaan dalam berbahasa. Menurut pengamatan saya (masih dalam bentuk hipotesis), para siswa kurang memiliki motivasi untuk menggunakan bahasa Indonesia. Karena kurang (tidak) memiliki motivasi, kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia menjadi menurun, bahkan implikasinya terasa dalam pencapaian prestasi belajar yang kurang membanggakan. Kondisi seperti itu memerlukan pikiran-pikiran baru (kreatif) dalam pembelajaran bahasa sehingga kebanggaan berbahasa Indonesia menjadi tumpuan bangsa Indonesia (khususnya).
6. Kreativitas dalam Pembelajaran Berbicara
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa. Keterampilan berbicara merupakan keterampilan produktif karena dalam perwujudannya keterampilan berbicara menghasilkan berbagai gagasan yang dapat digunakan untuk kegiatan berbahasa (berkomunikasi) selain keterampilan menulis. Dua keterampilan lainnya (menyimak dan membaca) merupakan keterampilan reseptif atau keterampilan yang tertuju pada pemahaman. Dalam kaitan kreativitas, keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan yang perlu mendapat perhatian karena gagasan-gagasan kreatif dalam dihasilkan melalui keterampilan tersebut.
Ketika kita mendengar kata ”berbicara”, pikiran kita tertuju pada kegiatan ”berpidato”. Padahal, berpidato hanya merupakan salah satu bagian dari keterampilan berbicara. Tampaknya, dalam menghadapi era globalisasi saat ini keterampilan berbicara perlu terus ditingkatkan sehingga pengguna bahasa mampu menerapkan keterampilan tersebut untuk berbagai bidang kehidupan, misalnya, berwawancara, berdiskusi, bermain peran, bernegosiasi, berpendapat, dan bertanya. Untuk itu, dalam dunia pembelajaran para guru bahasa dituntut untuk dapat melakukan ”terobosan” sehingga pembelajaran bahasa yang dilaksanakannya dapat memenuhi tuntutan zaman, terutama dalam hal pembelajaran berbicara.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia guru diharapkan mampu memberikan pembelajaran untuk berbagai aspek keterampilan berbahasa. Kompetensi memberikan pembelajaran terkait dengan berbagai faktor, di antaranya merumuskan indikator dan tujuan, mengorganisasikan bahan, mengonstruk alat evalusi, mengemas kegiatan, meracik metode dan teknik, dan mendedah sumber dan media pembelajaran. Ketujuh faktor tersebut memerlukan keterampilan guru sehingga pembelajaran bahasa berlangsung dengan mengikuti kaidah PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
Untuk mengejawantahkan ketujuh faktor tersebut, berikut ini saya sajikan beberapa masukan untuk merancang kreativitas dalam pembelajaran berbicara. Pikiran saya tentang kreativitas dalam pembelajaran berbicara saya tuangkan dalam ”Nawa sila basa” sebagai berikut.
1. Guru bahasa harus siap untuk berpikir kritis dan kreatif.
2. Rumuskanlah indikator yang tepat sesuai dengan rumusan komptensi dasar yang hendak dicapai.
3. Rancanglah tujuan pembelajaran yang dapat dicapai untuk waktu yang tersedia.
4. Konstruklah alat evaluasi yang tepat sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
5. Carilah topik kegiatan berbicara yang tengah menjadi sorotan publik.
6. Organisasikan bahan secara sistematis dengan mengikuti prinsip-prinsip pembelajaran (dari yang mudah ke yang sukar, dari yang dekat ke yang jauh, dari yang dikenal ke yang tidak dikenal, dari yang sederhana ke yang kompleks).
7. Kemaslah kegiatan pembelajaran yang menarik (pembelajaran tidak selalu dibatasi empat dinding kelas).
8. Raciklah metode dan teknik yang dapat menumbuhkan minat siswa belajar dan tertarik dengan pembelajaran bahasa.
9. Dedahlah sumber dan media pembelajaran yang dapat menumbuhkan pikiran-pikiran kritis dan kreatif.
Kreativitas merupakan suatu bidang kajian yang kompleks sehingga menimbulkan perbedaan pandangan. Sebagai kajian yang kompleks, kreativitas dikaji mulai dari sisi pemroduksinya, prosesnya, dan produknya. Kajian terhadap ketiga sisi ini menghasilkan rumusan konsep kreativitas yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terutama tampak dalam pemberian pengertian terhadap istilah kreativitas. Misalnya, Guilford (dalam Supriadi,1994:7) menyatakan creativity refers to the abilities that are charachterictics of creative people. Pengertian tersebut berdimensi “orang” karena kreativitas diartikan sebagai kemampuan yang menandai orang kreatif. Lain halnya dengan Csikszentmihalyi (1996:8) yang memandang kreativitas dari dimensi “proses”, yakni creativity is a process by which a symbolic domain in the culture is changed dan Amabile (dalam Supriadi,1994:7) yang memandang kreativitas dari dimensi “produk”, yakni creativity can be regarded as the quality of product or respons judged to be creative by appropriate observes (lihat juga Hassoubah,2004: 50).
Harris (1998) memandang kreativitas dari dua segi, yakni dari segi kemampuan (an ability) dan dari segi sikap (an attitude). Menurutnya kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru, baik melalui penggabungan, perubahan, maupun penerapan kembali gagasan-gagasan yang ada dan kemampuan menerima perubahan dan kebaruan, kemauan untuk bermain dengan gagasan yang memungkinkan, kelenturan dalam berpandangan, kebiasaan menikmati dengan baik selagi mencari cara-cara untuk memperbaikinya.
Selain berbagai pandangan tersebut, Piaw (2004:23-24) menjelaskan mengenai tiga perspektif tentang berpikir kreatif, yakni perspektif supernatural, rasionalisme, dan perkembangan. Dalam perspektif supernatural, kreativitas merupakan kemampuan alami bukan diciptakan melalui pelatihan. Salah satu prinsip dalam perspektif rasional adalah semua kegiatan dapat dijelaskan. Dengan demikian, berpikir kreatif dapat dijelaskan secara genetis, yakni sebagai suatu faktor biologis. Perspektif perkembangan diajukan melalui penelitian Gowan dalam hal tahap-tahap perkembangan menurut teori Piaget dan Frued. Menurut Gowan kreativitas berkembang melalui tiga tahap, yaitu (1) dunia, (2) ego, dan (3) yang lainnya. Perkembangan kreativitas merupakan suatu transformasi energi dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya hingga menuju dewasa.
Keragaman pengertian istilah kreativitas tersebut pada dasarnya memiliki persamaan, yakni kreativitas dipandang sebagai sesuatu yang dimiliki seseorang untuk menunjukkan kemampuannya. Sesuatu tersebut dapat berupa gagasan atau karya nyata yang baru atau merupakan kombinasi dari yang sudah ada. Sternberg dan Lubart (1995:11) menyatakan bahwa unsur “baru” itu merupakan unsur yang penting untuk mendeskripsikan produk kreativitas di samping memiliki unsur “cocok”. Lebih lanjut Sternberg dan Lubart menyatakan bahwa sesuatu yang baru itu merupakan sesuatu yang tidak biasanya; produk yang baru itu bersifat asli, tidak dapat diprediksi, dan dapat memberikan kejutan bagi pengamatnya. Selain itu produk kreativitas memiliki kelayakan atau kebergunaan. Pandangan Sternberg dan Lubart ini sejalan dengan pendapat Baron (dalam Supriadi,1994:7) yang menyatakan creativity is the ability to bring something new into existence atau juga Stein (dalam Supriadi,1994: 10) yang menyatakan the creative work is a novel work that is accepted as tenable or useful or satisfying by a group in some point in time.
Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan individu untuk meraih aktualisasi diri melalui gagasan atau karya nyata, baik yang bersifat baru maupun kombinasi dari yang sudah ada.
3. Kreativitas dan Penggunaan Bahasa
Perbincangan tentang bahasa tidak pernah berakhir. Berbagai hipotesis telah banyak dibuktikan sehingga lahir berbagai kajian tentang bahasa. Namun, pertanyaan-pertanyaan hipotesis lain muncul untuk menjadi bahan kajian para pemerhati bahasa. Sekaitan dengan topik ini, ada beberapa pertanyaan yang patut mendapat perhatian, di antaranya (1) adakah keterkaitan antara bahasa dan kreativitas, (2) apakah kreativitas dapat muncul tanpa bahasa, dan (3) apakah kegiatan berbahasa merupakan kegiatan kreatif.
Sebagai sebuah entitas, bahasa dikaji dari berbagai disiplin ilmu sesuai dengan keterkaitannya. Dalam kajian sosiologi bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi suatu komunitas yang berbudaya tertentu. Melalui bahasa antarindividu dapat menyampaikan pikiran dan perasaannya untuk membangun kehidupan dalam komunitas tersebut. Saussure (1965:15) mengatakan bahwa language is a social institutions ‘bahasa merupakan lembaga sosial’. Untuk memberikan gambaran tentang bahasa, Saussure menggunakan tiga istilah, yaitu langage ‘bahasa secara umum’, langue ‘sistem bahasa tertentu’, dan parole ‘ujaran’. Sebagai fakta sosial, bahasa digunakan oleh manusia untuk melakukan kegiatan antarsesama dalam rangka membentuk satu komunitas sesuai dengan budayanya. Dengan demikian, bahasa berperan sebagai alat komunikasi. Agar komunikasi dapat terjalin, sistem bahasa (sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) yang digunakan harus berada dalam keadaan homogen. Karena sistem bahasa berada dalam keadaan homogen, individu dalam komunitas tertentu dapat memiliki langue bahasa tertentu. Adapun parole setiap individu dalam keadaan heterogen bergantung pada penguasannya terhadap langue. Selain ketiga istilah tersebut, Saussure memberikan dua istilah lain untuk menyatakan hakikat bahasa, yakni signifie dan signifiant. Signifie mengacu pada gambaran psikologis yang abstrak dari suatu bagian alam sekitar kita dan signifiant mengacu pada gambaran psikologis abstrak dari aspek bunyi suatu unsur bahasa (Kridalaksana, 2001:197). Dengan demikian, bahasa sebagai alat komunikasi memungkinkan setiap individu dalam komunitas tertentu dapat bekerja sama.
Kreativitas merupakan proses yang digunakan seseorang untuk mengekspresikan sifat dasarnya melalui suatu bentuk atau medium sedemikian rupa sehingga menghasilkan rasa puas pada dirinya; menghasilkan suatu produk yang mengomunikasikan sesuatu tentang diri orang tersebut kepada orang lain (Bean, 1995:3). Batasan tersebut menyiratkan kedudukan bahasa sebagai alat dan sekaligus salah satu media pengejawantahan daya kreatif seseorang. Tanpa bahasa manusia tidak dapat melakukan kegiatan berpikir sebab alat yang memungkinkan untuk melahirkan gagasan adalah bahasa di samping organ tubuh. Dengan bahasa setiap orang dapat memproses segala peristiwa yang dialaminya atau yang ditangkapnya melalui pancaindera. Semakin tajam daya berpikir seseorang, semakin cermat penggunaan bahasanya. Dengan demikian, peran bahasa tidak bisa dilepaskan dari kegiatan kreatif seseorang. Dengan kata lain, bahasa dan kreativitas merupakan dua sisi yang berbeda, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan.
Berdasarkan batasan tersebut terlihat bahwa kreativitas dapat dipandang sebagai proses dan hasil. Artinya, kreativitas tidak hanya dipandang sebagai proses untuk melahirkan produk tertentu, tetapi juga produk yang dihasilkan. Ketika seseorang melakukan kegiatan kreatif, orang lain tidak bisa melihat bagaimana semua potensi yang dimiliki orang tersebut diberdayakan. Orang lain hanya melihat bahwa seseorang sedang berpikir. Ketika hasil akhir dipajankan, barulah orang lain mengagumi sesuatu yang dihasilkannya. Rasa kagum itu biasanya diungkapkan melalui bahasa “Wah, karya yang luar biasa!”, “Sungguh bagus karya Anda!”, “Kreatif sekali Anda!”. Ungkapan-ungkapan tersebut disampaikan sebagai penghargaan atas munculnya kreativitas pada diri seseorang. Dari ungkapan tersebut, kita dapat menilai bahwa proses kreatif dapat menghasilkan sesuatu yang baik sehingga Armstrong (1994:13) memasukkan kreativitas sebagai salah satu kecerdasan selain delapan kecerdasan yang telah diungkap Gardner. Namun, hasil kreatif seseorang mungkin juga akan ditanggapi dengan bahasa “Sayang, hasilnya masih harus ditingkatkan lagi!”, “Waduh, hasilnya belum memuaskan!”, atau “Kreasi Anda masih jauh dari yang kami harapkan!”. Penilaian negatif terhadap kegiatan kreatif tersebut membuktikan bahwa kreativitas bersifat pribadi (Bean, 1995:5). Maksudnya, kreativitas dapat bernilai positif dan dapat pula negatif bergantung pada faktor kepekaan, kecermatan, dan keluasan wawasan seseorang. Meskipun demikian, batasan kreativitas yang dipahami orang sampai saat ini hanyalah yang berkait erat dengan sesuatu yang bernilai positif.
Kreativitas sebagai hasil pemberdayaan kegiatan berpikir tersebut pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Untuk karya-karya hasil kreatif seseorang yang bukan dalam bentuk bahasa, misalnya, lukisan, patung, dan barang-barang elektronik sangat sulit dilihat bahwa kreativitas berhubungan dengan bahasa. Padahal, untuk memunculkan daya kreatif tersebut diperlukan media berupa bahasa. Tanpa bahasa, potensi biologis yang dimiliki seseorang tidak akan mampu melahirkan gagasan-gagasan kreatif. Dengan demikian, kreativitas tidak dapat dipisahkan dengan bahasa karena bahasa sangat berperan sebagai media untuk melakukan dan melahirkan pikiran kreatif.
Pertanyaan ketiga berkenaan dengan apakah berbahasa merupakan sebuah kreativitas. Bahasa merupakan sebuah entitas yang hanya dimiliki dan dikuasai manusia. Meskipun demikian, bahasa tidak begitu saja muncul dalam kehidupan manusia. Untuk dapat digunakan sebagai alat komunikasi atau media menciptakan kreativitas, bahasa perlu dikuasai terlebih dahulu. Potensi untuk dapat berbahasa itu sudah dimiliki manusia sejak lahir sebagaimana yang disebut Chomsky sebagai Language Acquisition Device (LAD). Namun, untuk dapat berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis peranti ini harus dikembangkan melalui pemerolehan alami atau pembelajaran. Dengan pengembangan peranti ini pada akhirnya manusia dapat menggunakan bahasa secara sempurna untuk menyimak, membaca, berbicara, atau menulis.
Pada saat aspek keterampilan berbahasa tersebut diaktifkan, berbagai perangkat yang terkait pun aktif untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaannya. Dengan kata lain, kegiatan berbahasa melibatkan dua unsur, yakni perencanaan dan pelaksanaan. Perencanaan dan pelaksanaan untuk keterampilan menyimak dan membaca (membaca pemahaman) berada dalam kondisi menerima (bersifat reseptif) sehingga tidak bisa diamati secara langsung karena hasilnya berupa pemahaman. Sebaliknya, keterampilan berbicara dan menulis merupakan keterampilan yang pelaksanaannya bersifat produktif atau dapat diamati secara langsung karena hasilnya berupa tuturan dan tulisan. Perencanaan dan pelaksanaan dalam kegiatan berbahasa ini dijelaskan panjang lebar oleh Clark and Clark (1977:223-258). Clark and Clark menjelaskan bahwa untuk melahirkan tuturan, misalnya, penutur harus melakukan perencanaan wacana, kalimat, konstituen, program artikulasi, dan artikulasi. Di samping itu ada lima unsur yang harus dipertimbangkan, yakni pengetahuan pendengar, prinsip kerja sama, prinsip realitas, konteks sosial, dan alat bahasa.
Untuk mendapat gambaran bahwa kegiatan berbahasa merupakan kegiatan kreatif, dapat disajikan dua contoh kalimat berikut ini.
(1) Permasalahan itu dapat diselesaikan melalui dua cara.
(2) Penyelesaian masalah itu dapat ditempuh melalui dua cara.
Kedua kalimat tersebut memiliki makna yang sama. Namun, kalau kita cermati, keduanya memiliki kadar kreativitas yang berbeda. Kalimat (2) merupakan kalimat hasil perubahan struktur leksikal dari kalimat (1). Verba selesai pada kalimat (1) berposisi sebagai predikat, sedangkan pada kalimat (2) berposisi sebagai nomina. Proses perubahan ini memerlukan daya kreativitas yang kompleks karena tidak hanya melibatkan perubahan verba menjadi nomina, tetapi juga peran semantis yang dimiliki kata penyelesaian sehingga muncul verba ditempuh.
4. Wacana sebagai Produk Kreativitas Berbahasa
Wacana sebagai satuan bahasa tertinggi mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1970-an (Djajasudarma, 1994:1). Menurut Djajasudarma (1994:2) wacana adalah unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh dengan amanat lengkap dan dengan koherensi serta kohesi tinggi. Batasan ini tidak jauh berbeda dengan Kridalaksana (2001:231) yang memberikan batasan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Edmondson (1981:4) menyatakan wacana adalah peristiwa terstruktur yang direalisasikan dalam perilaku linguistik (bahasa) atau yang lainnya. Dari pernyataan Edmondson tersebut dapat dikatakan bahwa wacana dapat berupa tuturan lisan dan tuturan tulis.
Berbagai batasan di atas tampaknya tidak ada yang berbeda bahwa wacana merupakan struktur kebahasaan tertinggi. Melalui wacana, penulis (pembicara) berusaha menyampaikan apa yang dipikirkan dan dirasakan kepada pembaca (pendengar). Dengan demikian, wacana merupakan alat penyalur pesan dari penulis (pembicara) kepada pembaca (pendengar). Sebagai alat penyalur pesan, unsur kesatuan dan kepaduan sangat diperlukan di dalam wacana (Marahimin, 2001:39). Untuk itu, kegiatan berbahasa akan mudah diamati melalui wacana sebab di dalam wacana terkandung pikiran-pikiran penulisnya. Shi-xu (1998) menyatakan bahwa discourse is dynamic and creative with respect to reality. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa wacana merefleksikan pola-pola berpikir dan bertindak secara kultural. Pernyataan Shi-xu ini menunjukkan bahwa di dalam wacana terkandung pikiran-pikiran yang berkaitan dengan realitas kehidupan.
Di dalam kajian linguistik terdapat satuan-satuan bahasa yang satu dengan yang lainnya berhubungan untuk membentuk makna tertentu atau mengungkapkan maksud tertentu. Satuan yang dimaksud adalah kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Satuan-satuan tersebut dalam kegiatan berbahasa tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling terkait. Dengan demikian, kata sebagai kata, frasa sebagai frasa, klausa sebagai klausa, dan kalimat sebagai kalimat belum mampu mewadahi kegiatan berbahasa yang sebenarnya. Dengan kata lain, kegiatan berbahasa memerlukan kesatuan dan kepaduan satuan-satuan bahasa tersebut yang secara hierarkis tersusun mulai dari kata hingga wacana.
5. Hakikat Pembelajaran Bahasa
Di dalam KTSP dinyatakan bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Pernyataan tersebut berimplikasi bahwa siapa pun yang mempelajari suatu bahasa pada hakikatnya sedang belajar berkomunikasi. Thompson (2003:1) menyatakan bahwa komunikasi merupakan fitur mendasar dari kehidupan sosial dan bahasa merupakan komponen utamanya. Pernyataan tersebut menyuratkan bahwa kegiatan berkomunikasi tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan berbahasa. Oleh sebab itu, para linguis terapan (khususnya dalam bidang pengajaran dan pembelajaran bahasa) selalu berupaya untuk melahirkan pikiran-pikiran barunya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa sehingga para siswa mampu menunjukkan kinerjanya dalam berbahasa.
Dalam dunia pembelajaran bahasa, pendekatan komunikatif telah berkembang sejak tahun 1970-an di berbagai belahan dunia (Periksa Burns and Joyce, 1999:49). Pelahiran pendekatan tersebut dipicu kurang berhasilnya metode Tatabahasa dan Terjamahan (Grammar and Translation Method) meningkatkan prestasi belajar. Pikiran baru tersebut menghasilkan metode Langsung (Direct Method) untuk digunakan para guru dalam pembelajaran bahasa.
Selain untuk berkomunikasi, pembelajaran bahasa juga ditujukan untuk menumbuhkan kebanggaan dalam berbahasa. Menurut pengamatan saya (masih dalam bentuk hipotesis), para siswa kurang memiliki motivasi untuk menggunakan bahasa Indonesia. Karena kurang (tidak) memiliki motivasi, kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia menjadi menurun, bahkan implikasinya terasa dalam pencapaian prestasi belajar yang kurang membanggakan. Kondisi seperti itu memerlukan pikiran-pikiran baru (kreatif) dalam pembelajaran bahasa sehingga kebanggaan berbahasa Indonesia menjadi tumpuan bangsa Indonesia (khususnya).
6. Kreativitas dalam Pembelajaran Berbicara
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa. Keterampilan berbicara merupakan keterampilan produktif karena dalam perwujudannya keterampilan berbicara menghasilkan berbagai gagasan yang dapat digunakan untuk kegiatan berbahasa (berkomunikasi) selain keterampilan menulis. Dua keterampilan lainnya (menyimak dan membaca) merupakan keterampilan reseptif atau keterampilan yang tertuju pada pemahaman. Dalam kaitan kreativitas, keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan yang perlu mendapat perhatian karena gagasan-gagasan kreatif dalam dihasilkan melalui keterampilan tersebut.
Ketika kita mendengar kata ”berbicara”, pikiran kita tertuju pada kegiatan ”berpidato”. Padahal, berpidato hanya merupakan salah satu bagian dari keterampilan berbicara. Tampaknya, dalam menghadapi era globalisasi saat ini keterampilan berbicara perlu terus ditingkatkan sehingga pengguna bahasa mampu menerapkan keterampilan tersebut untuk berbagai bidang kehidupan, misalnya, berwawancara, berdiskusi, bermain peran, bernegosiasi, berpendapat, dan bertanya. Untuk itu, dalam dunia pembelajaran para guru bahasa dituntut untuk dapat melakukan ”terobosan” sehingga pembelajaran bahasa yang dilaksanakannya dapat memenuhi tuntutan zaman, terutama dalam hal pembelajaran berbicara.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia guru diharapkan mampu memberikan pembelajaran untuk berbagai aspek keterampilan berbahasa. Kompetensi memberikan pembelajaran terkait dengan berbagai faktor, di antaranya merumuskan indikator dan tujuan, mengorganisasikan bahan, mengonstruk alat evalusi, mengemas kegiatan, meracik metode dan teknik, dan mendedah sumber dan media pembelajaran. Ketujuh faktor tersebut memerlukan keterampilan guru sehingga pembelajaran bahasa berlangsung dengan mengikuti kaidah PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
Untuk mengejawantahkan ketujuh faktor tersebut, berikut ini saya sajikan beberapa masukan untuk merancang kreativitas dalam pembelajaran berbicara. Pikiran saya tentang kreativitas dalam pembelajaran berbicara saya tuangkan dalam ”Nawa sila basa” sebagai berikut.
1. Guru bahasa harus siap untuk berpikir kritis dan kreatif.
2. Rumuskanlah indikator yang tepat sesuai dengan rumusan komptensi dasar yang hendak dicapai.
3. Rancanglah tujuan pembelajaran yang dapat dicapai untuk waktu yang tersedia.
4. Konstruklah alat evaluasi yang tepat sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
5. Carilah topik kegiatan berbicara yang tengah menjadi sorotan publik.
6. Organisasikan bahan secara sistematis dengan mengikuti prinsip-prinsip pembelajaran (dari yang mudah ke yang sukar, dari yang dekat ke yang jauh, dari yang dikenal ke yang tidak dikenal, dari yang sederhana ke yang kompleks).
7. Kemaslah kegiatan pembelajaran yang menarik (pembelajaran tidak selalu dibatasi empat dinding kelas).
8. Raciklah metode dan teknik yang dapat menumbuhkan minat siswa belajar dan tertarik dengan pembelajaran bahasa.
9. Dedahlah sumber dan media pembelajaran yang dapat menumbuhkan pikiran-pikiran kritis dan kreatif.
0 Komentar untuk "makalah kreatifitas"